Perlindungan Konsumen Disikapi Asosiasi Teknologi Finansial
JAKARTA, KOMPAS — Industri teknologi finansial berpotensi menjadi alternatif pembiayaan di Indonesia. Di samping kemudahan yang ditawarkan, terkandung risiko dalam industri ini, termasuk isu perlindungan konsumen. Asosiasi Fintech Indonesia membentuk Komite Etik untuk menyikapi isu perlindungan konsumen.
Teknologi finansial (tekfin) menggabungkan akses keuangan dengan bantuan teknologi. Industri ini memberikan alternatif pilihan pembiayaan nonbank bagi masyarakat.
Namun, industri ini masih memiliki sejumlah permasalahan. Mulai dari tingkat literasi masyarakat yang masih rendah, risiko pinjaman macet, hingga perlindungan konsumen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio non-performing loan atau pinjaman macet di bisnis teknologi finansial per Juni 2018 sebesar 0,58 persen. Angka tersebut turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 0,64 persen.
Berdasarkan catatan OJK, jumlah konsumen fintek di Indonesia per Juni 2018 mencapai 2 juta orang. Penyalurannya hingga pertengahan 2018 sudah mencapai Rp 7 triliun.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi optimistis, hingga akhir tahun penyaluran fintek bisa menembus Rp 20 triliun.
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman, Jumat (13/7/2018), mengatakan, Aftech tengah mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi persoalan perlindungan konsumen.
Bisnis tekfin sempat mendapat citra negatif beberapa minggu lalu, menyusul adanya kasus pelanggaran standar operasional prosedur penagihan utang satu perusahaan tekfin kepada peminjam. Kejadian tersebut tersiar luas di internet.
Aji menjelaskan, Aftech telah memiliki pedoman dan tata cara internal untuk menyelesaikan persoalan dalam menjalankan bisnis pembiayaan. Hanya, implementasinya masih informal.
Untuk itu, Aftech saat ini akan membuatnya menjadi lebih formal. Dokumen-dokumen pendukung telah disiapkan. Selain itu, persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan telah diperoleh.
Selain itu, Aftech berencana membentuk Komite Etik. Di dalamnya akan terdapat tiga advokat. Selain itu, ada kelompok kerja khusus untuk memonitor pinjaman harian.
"Mereka akan membuat standar operasional prosedur penagihan," ucapnya.
Menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintek OJK Hendrikus Passagi, prinsip perlindungan konsumen dalam bisnis tekfin tidak hanya dari sisi bebas mendapat ancaman fisik saat ditagih pembayaran utang. Namun, juga mencakup perlindungan itu kerahasiaan dan keamanan data pribadi.
Hendrikus menjelaskan, konsumen atau peminjam pada industri tekfin juga semestinya berhati-hati dalam memberikan data-data pribadi saat mengajukan pinjaman uang.
"Konsumen harus waspada dalam menyetujui tawaran akses data pribadi di gadget," katanya.
Jalan tengah
OJK menganjurkan jalan tengah dalam penyelenggaraan bisnis fintek. Perusahaan tekfin diminta tidak bertindak melampaui batas dalam menagih utang dari konsumen. Namun, cukup memberikan data konsumen bermasalah dan menginformasikannya kepada OJK. Hal itu akan membatasi ruang gerak konsumen bermasalah. Jika sudah dilaporkan bermasalah, konsumen itu tidak akan bisa mengajukan pinjaman di lembaga keuangan manapun.
Sementara itu, Aji menyampaikan, delapan perusahaan tekfin sedang mengerjakan proyek percontohan untuk berbagi data konsumen. Mereka akan berbagi informasi seandainya terdapat konsumen bermasalah. Diharapkan, jika mekanismenya berhasil akan lebih banyak lagi perusahaan teknologi finansial yang bergabung.
"Ini berbagi data konsumen yang masuk daftar hitam. Jangan sampai jika dia bermasalah di satu perusahaan pembiayaan lantas bisa mengulanginya di perusahaan lain. Saat ini sistemnya sedang dibuat," tuturnya.
Hendrikus menambahkan, OJK menyiapkan sanksi bagi perusahaan teknologi finansial yang bertindak melampaui standar operasional prosedur penagihan utang. Untuk itu ia menekankan pengendalian internal perusahaan di dalam penyelenggaraan peminjaman.
"Pasti ada sanksi bagi penyelenggara fintek yang melampaui batas," katanya.
Ia menambahkan, perusahaan tekfin tidak boleh menggunakan data pribadi nasabah untuk tujuan lain selain kepentingan analisis kelayakan pemberian pinjaman.
"Data yang bisa mereka gunakan adalah data referensi telepon yang secara sadar diberikan calon peminjam dalam bentuk catatan," ujarnya.
Di sisi lain, perusahaan tekfin, Akseleran, memilih memfokuskan segmentasi konsumen pada usaha kecil menengah (UKM).
Chief Marketing Officer Akseleran, Andri Caesartama Madian mengatakan, alasan memfokuskan segmen pada UKM berkaitan dengan upaya perusahaan meminimalisir risiko pinjaman macet.
Menurut Andri, risiko pinjaman macet pada UKM lebih rendah dibandingkan personal.
"Kalau memberikan pinjaman kepada personal itu lebih berisiko. Akan lebih baik jika kami main di segmen UKM," katanya.
Selain itu, Akeseleran memberlakukan agunan bagi UKM yang membutuhkan pembiayaan. Satu UKM, kata Andri, rata-rata mengajukan pembiayaan Rp 400 juta hingga Rp 500 juta.
Selama sembilan bulan terakhir, Akseleran telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 70 miliar. Andri menargetkan, perusahaan bisa menyalurkan pinjaman hingga Rp 200 miliar pada akhir tahun.