BOGOR, KOMPAS --Jumlah barang bukti narkoba jenis sabu yang disita Badan Narkotika Nasional (BNN) selama 2018 meningkat dibandingkan tahun 2017. Pada bulan Januari-Juni 2018, BNN menyita barang bukti narkoba berupa sabu 1,3 ton; ganja 31 kilogram, dan 217.526 butir ekstasi.
Sedangkan pada 2017 selama setahun BNN menyita sabu seberat 1,1 ton; ganja 858,6 kilogram; dan ekstasi 218.212 butir. Data tersebut disampaikan Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko dalam acara peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2018 di Balai Besar Rehabilitasi BNN, Lido, Bogor, Kamis (12/7/2018).
Heru mengemukakan, survei BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI tahun 2017 menunjukkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba mencapai 1,77 persen atau 3.376.115 orang dari total penduduk Indonesia usia produktif 10-59 tahun. Namun, angka prevalensi 2017 menurun dibandingkan angka prevalensi tahun 2014 yang mencapai 2,12 persen atau turun 0,35 persen.
Menurut Heru, data tersebut menunjukkan peredaran narkoba di Indonesia masih terjadi secara masif. Faktor yang menyebabkan maraknya peredaran narkoba di Indonesia adalah kondisi geografis yang terbuka sehingga banyak jalur ilegal. Selain itu, permintaan narkoba yang tinggi dan harga yang mahal.
“Harga sabu di tempat produksinya hanya Rp 40 ribu per gram. Sampai di Jakarta bisa mencapai Rp 1,5 juta per gram. Untuk membawa sabu ke Indonesia mendapat upah Rp 25 juta per kilogram. Kalau bawa 10 kilogram sudah dapat upah Rp 250 juta,” katanya.
Heru mengungkapkan, ada tiga jenis penyalahgunaan narkoba yaitu orang yang hanya mencoba sekali memakai narkoba sebanyak 57 persen, orang yang sering memakai sebanyak 27 persen, dan orang yang kecanduan berat sebanyak 16 persen. Sayangnya, orang yang hanya mencoba sekali itu justru yang jumlahnya terbanyak dan paling banyak di dalam lapas. Akibatnya, lapas menjadi penuh dan orang yang baru memakai satu kali bukannya sembuh.
Jumlah narkoba jenis baru atau new psychoactive substances (NPS) juga terus bertambah. Menurut Heru, sejak 2009-2016 berdasar data Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) terdapat 739 jenis NPS yang beredar di 106 negara. Sedangkan di Indonesia baru 65 jenis NPS yang terdata dalam Peraturan Menteri Kesehatan, sementara enam jenis lainnya belum terdata.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam kesempatan tersebut mengatakan, banyaknya kasus narkoba dan jumlah tangkapan yang mencapai berton-ton menunjukkan kondisi saat ini benar-benar darurat narkoba.
Wiranto menuturkan, narkoba harus ditangani secara serius karena narkoba merupakan kejahatan luar biasa. Narkoba adalah ancaman bagi bonus demografi karena dapat menghancurkan generasi muda.
“Kalau kita lihat tangkapan (narkoba) luar biasa, sudah berton-ton. Artinya yang belum tertangkap juga masih berton-ton. Oleh sebab itu seluruh komponen bangsa secara total melawan narkoba,” ujar Wiranto.
Wiranto mengungkapkan, apabila narkoba tidak dilawan bersama maka Indonesia ibarat tempat sampah karena semua jenis narkoba dibuang ke Indonesia. Pintu masuk narkoba ada banyak sekali lewat laut maupun darat karena perbatasan Indonesia luas sekali.
“Kalau kita tidak bisa mengawasi setiap jengkal, kita akan kewalahan. Maka kita harus total melawan narkoba baik pencegahan, penangkapan pengedar, maupun rehabilitasinya. Orang yang sudah kena narkoba direhabilitasi, jangan sampai balik lagi,” lanjutnya.
Dalam acara tersebut, BNN menyerahkan penghargaan kepada sejumlah instansi pemerintah, BUMN, dan swasta yang berperan aktif dalam program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Penghargaan itu diserahkan antara lain kepada Kementerian Dalam Negeri yang diterima langsung oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.