Sri Mulyani dan Jebakan APBN Perubahan
Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali membuat gebrakan dalam kebijakan anggaran pemerintah.
Saat awal bergabung dalam Kabinet Kerja pada Juli 2016, Sri Mulyani langsung membuat kejutan dengan memangkas belanja negara tahun anggaran 2016 secara besar-besaran.
Target belanja negara sebesar Rp 2.095,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dipotong Rp 137,61 triliun. Tujuannya, untuk membuat anggaran lebih kredibel.
Kini, Sri Mulyani membuat gebrakan lain dengan meniadakan APBN Perubahan (APBN-P) 2018. Padahal, pembahasan dan pembuatan APBN-P merupakan tradisi yang telah dilakukan pemerintah dan DPR selama bertahun-tahun. Inilah untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, tidak ada APBN-P.
APBN merupakan target pendapatan dan belanja negara dalam setahun. APBN biasanya disusun dan ditetapkan sebelum memasuki tahun bersangkutan.
Misalnya, untuk APBN 2018, pemerintah dan DPR sudah mulai melakukan pembahasan sejak Juni 2017. Adapun APBN-P merupakan revisi atas APBN.
APBN-P dibuat bila target-target dalam APBN dinilai sudah tidak realistis dan sulit dicapai akibat perubahan kondisi perekonomian global dan domestik selama tahun berjalan.
Menurut Sri Mulyani, usai rapat kerja dengan DPR, Rabu (11/7/2018), APBN-P 2018 tidak diajukan ke DPR karena pemerintah menilai, hingga pertengahan tahun, postur APBN tidak mengalami deviasi yang besar, baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara.
Selain itu, pos-pos penerimaan, seperti perpajakan juga terus tumbuh selama semester I-2018. Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas, misalnya, tumbuh 14,9 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Adapun penerimaan bea dan cukai tumbuh 16,7 persen dalam periode yang sama.
Sementara, defisit APBN pada semester I-2018 tercatat hanya Rp 110 triliun, turun 36,8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 175 triliun.
Dengan kondisi ini, defisit fiskal pada akhir 2018 diperkirakan hanya 2,12 persen atau Rp 314,2 triliun. Angka itu di bawah target APBN 2018 sebesar 2,19 persen atau Rp 325,9 triliun.
”Postur dari keseluruhan APBN masih bisa dipertahankan. Seluruh kebutuhan belanja pemerintah yang sudah direncanakan pada 2018 juga tetap berjalan. Pemerintah sudah mengakomodasi beberapa tambahan belanja, seperti untuk Asian Games dan kebutuhan lain, yang sifatnya mendesak,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Sri Mulyani mengatakan, anggaran negara yang terkelola dengan baik pada tahun ini diharapkan dapat menjaga ekspektasi dan meningkatkan rasa percaya diri pelaku usaha serta investor untuk terus mengembangkan usahanya di Indonesia.
Andreas Hugo Pareira, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, mendukung langkah pemerintah untuk meniadakan APBN-P. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tertib dan disiplin dalam mengelola anggaran negara sehingga hasilnya sesuai dengan yang direncanakan.
Pro-kontra
Namun, sejumlah kalangan menilai langkah meniadakan APBN-P ini justru akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata pelaku pasar dan investor. Pasalnya, sejumlah asumsi makro ekonomi yang menjadi dasar penyusunan APBN sudah jauh berubah.
Dalam APBN 2018, rata-rata nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 13.400 per dollar AS. Sementara nilai Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia rata-rata 48 dollar AS per barrel.
Namun, faktanya, rata-rata nilai tukar rupiah sejak 2 Januari 2018-10 Juli 2018 mencapai Rp 13.782 per dollar AS. Bahkan, dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah terdepresiasi cukup signifikan hingga mencapai 14.400 per dollar AS.
Sementara itu, rata-rata harga ICP dari bulan Januari 2018-Juni 2018 juga sudah mencapai 66,55 dollar AS per barrel.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra, Wilgo Zainar, mengatakan, pemerintah seharusnya lebih realistis dalam melihat kondisi perekonomian saat ini.
Menurut Wilgo, target pertumbuhan pun sulit dicapai. Pertumbuhan ekonomi Indonesia per triwulan I-2018 hanya 5,06 persen, jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,4 persen. ”Target 5,4 persen itu tidak realistis,” katanya.
Wilgo memperkirakan, hingga akhir tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan lebih dari 5,2 persen.
Selalu meleset
Terlepas dari pro-kontra soal kredibilitas pemerintah dalam menyusun anggaran, sebenarnya ada sisi positif dari langkah pemerintah meniadakan APBN-P.
Sebab, bisa dibilang, APBN-P, sebagai revisi dari APBN, tidak membuat penyusunan anggaran menjadi lebih kredibel. Indikatornya, realisasi anggaran di akhir tahun selalu melenceng dari target-target yang ditetapkan dalam APBN-P.
Pada APBN-P 2013, misalnya, target belanja pemerintah ditetapkan Rp 1.722,03 triliun. Namun, realisasinya ternyata hanya Rp 1.650,56 triliun. Bahkan, angka realisasi tersebut juga di bawah angka yang ditetapkan dalam APBN 2013, yakni Rp 1.683 triliun.
Di era pemerintahan Jokowi, realisasi juga selalu meleset dari target APBN-P. Pada APBN-P 2016, misalnya, anggaran belanja ditetapkan Rp 2.082 triliun. Namun, realisasinya di akhir tahun ternyata hanya Rp 1.860 triliun.
Pada 2017 juga begitu. Dari target belanja Rp 2.070 triliun, realisasinya tercatat hanya Rp 2.001 triliun.
Pertanyaannya, untuk apa APBN-P dibuat jika target-target yang dicanangkan tak bisa tercapai?
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, idealnya APBN memang tidak perlu diubah di pertengahan tahun. ”Jadi, tidak ada dua kali pembahasan anggaran, cukup hanya sekali,” katanya.
Lagi pula, banyak anggaran yang ditambahkan dalam APBN-P terbukti tidak efektif. ”Karena baru muncul di tengah tahun, banyak anggaran belanja akhirnya tidak terserap secara optimal,” kata Bambang.
Menjadi budaya
Keberadaan APBN-P sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membuat perencanaan yang presisi dan dapat diimplementasikan dalam setahun ke depan.
Dalam era reformasi, perencanaan anggaran yang tertuang dalam APBN selalu meleset sehingga pada pertengahan tahun berjalan perlu direvisi dalam bentuk APBN-P. APBN-P akhirnya menjadi budaya.
Padahal, berdasarkan aturan, revisi anggaran hanya bisa dilakukan saat kondisi ekonomi mengalami perubahan yang luar biasa dan berada di luar kendali pemerintah atau force majeure.
Karena menjadi kebiasaan, pemerintah dan DPR pun makin tidak serius menyusun APBN secara presisi. ”Tidak apa-apa salah, toh nanti bisa direvisi dalam APBN-P,” begitu mungkin pikir pemerintah dan DPR saat menyusun APBN.
Dalam perkembangannya, keberadaan APBN-P ternyata membawa mudarat baru. APBN-P, dalam beberapa tahun ke belakang, justru dimanfaatkan oknum-oknum anggota DPR sebagai ajang transaksional untuk korupsi.
Bagi-bagi proyek dan kongkalikong proyek biasanya dilakukan dalam pembahasan APBN-P. Maklum saja, pembahasan APBN-P biasanya berlangsung cepat sehingga luput dari pengawasan publik dan media.
Tak heran, banyak kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif bermula dari pembahasan APBN-P. Salah satu contohnya kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) dalam APBN-P 2011 yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati.
Selain kasus DPID, kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional Hambalang, kasus proyek wisma atlet, kasus pengadaan kitab suci Al Quran di Kementerian Agama, juga terkait APBN-P.
Jadi, sebenarnya, langkah Jokowi dan Sri Mulyani meniadakan APBN-P bisa jadi merupakan ikhtiar untuk keluar dari jebakan sisi-sisi negatif APBN-P. Masyarakat tentu berharap langkah pemerintah ini bisa konsisten dilakukan di masa-masa mendatang.