KEDIRI, KOMPAS — Sejumlah peternak ayam petelur di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur, menyatakan turunnya produksi menjadi penyebab naiknya harga telur ayam dalam dua pekan terakhir. Produksi telur turun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain populasi ayam di kandang berkurang, cuaca tidak kondusif, dan hilangnya antibiotik (antibiotic growth promoters) dari pasaran akibat kebijakan pemerintah.
Widodo Setyohadi, salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Kamis (12/7/2018), mengatakan, saat ini dirinya hanya memiliki 1.000 ayam. Padahal, setahun lalu jumlah ayam miliknya mencapai 3.000 ekor. Dari 1.000 ayam tersebut, saat ini Widodo hanya memanen sekitar 30 kilogram telur per hari. Padahal, beberapa pekan sebelumnya dia bisa panen 50 kg per hari.
”Produksi telur turun karena ayam saya banyak yang pilek. Tadinya ayam yang produksi mencapai 90 persen, tetapi saat ini tinggal 60 persen. Di sini anginnya juga kencang dan udara dingin. Ini berpengaruh terhadap kesehatan ayam. Apalagi kini ayam tidak memperoleh suplemen cukup, tidak ada antibiotik,” katanya.
Tahun 2017 Widodo memiliki ayam sekitar 3.000 ekor. Namun, karena harga telur ayam saat itu rendah selama berbulan-bulan (Rp 13.700-Rp 14.000 per kg), akhirnya ia menjual atau terpaksa mengafkirkan semua ayam yang masih produktif. Kandang milik Widodo kosong dan baru diisi kembali sekitar 1.000 ayam saat memasuki tahun 2018. Harga telur ayam terbaru di Pohgajih Rp 22.000 per kg di tingkat peternak.
Pendapat senada dikatakan Atik Kumairo, salah satu peternak di Desa Susuhbango, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri. Menurut Atik, sekitar 800 ayamnya sempat terserang virus pada 2017. Ayam itu kemudian dijual semua sehingga populasi ayam milik Atik yang semula sekitar 2.500 ekor tinggal 1.700 ekor. Namun, Atik segera mengganti ayamnya yang telah dijual dengan ayam muda baru.
”Populasi ayam saya sudah pulih. Namun, masih banyak peternak di daerah sini yang belum mengganti ayamnya yang terkena penyakit (recovery) sehingga populasi ayam berkurang. Akibatnya, produksi juga berkurang,” katanya. Di Ringinrejo, harga telur ayam terbaru mencapai Rp 23.000 per kg di kandang.
Menurut Atik, larangan pemerintah agar peternak tidak memakai obat-obatan kimia dan menggantikannya dengan bahan herbal juga dikeluhkan peternak. Tanpa obat-obatan, kondisi ternak menjadi rentan. ”Apalagi jika cuacanya buruk, ayam mudah ngedrop,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Sukarman, salah satu peternak asal Desa Dadaplangu, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, mengaku kenaikan harga pakan (konsentrat) akibat penggaruh dollar AS, juga ikut andil dalam kenaikan harga telur. Selama 2018 terjadi dua kali kenaikan harga pakan hingga mencapai Rp 700 per kg dari sebelumnya Rp 4.700 menjadi Rp 5.500 per kg.
”Setiap harga pakan naik Rp 100, dampaknya harga telur naik Rp 300 per kg,” kata Sukarman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional Kabupaten Blitar.
Sukarman juga membantah anggapan yang menyatakan bahwa peternak menahan untuk tidak menjual telur pada saat Lebaran lalu, termasuk telur yang digunakan untuk anakan ayam (DOC). Berbeda dengan komoditas lain, telur tidak bisa disimpan dalam waktu lama. ”Peternak juga tidak pernah menyimpan telur untuk DOC. Selama ini peternak justru membeli DOC dari pabrik,” ujarnya.
Senada dengan ketiga peternak di atas, Ahmad Sihabudin, salah satu peternak dari Desa Susuhbango, Kecamatan Ringinrejo, mengatakan, penyebab naiknya harga telur kali ini cukup kompleks. Salah satu hal yang disoroti Sihabudin terkait dengan antibiotik yang dihilangkan oleh pemerintah. Akibatnya, peternak harus mencari tambahan pangan sendiri.
”Saya membuat makanan tambahan berupa kedelai. Akibatnya, ongkos produksi meningkat Rp 250 per kilogram. Cara seperti ini terpaksa saya lakukan agar produksi telur bisa maksimal. Memelihara ayam sekarang beda dengan dulu. Dulu asal dikasih makan, maka ayam bertelur. Saat ini tidak. Ayam sudah mengalami rekayasa genetika sehingga perlu penanganan lebih dari sekadar dikasih makan,” katanya.
Sihabudin juga membantah anggapan peternak menyimpan telur. Telur tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Sedikitnya ada tiga risiko bila ayam disimpan lama, yakni bobot telur turun, kualitas turun, dan peternah harus menyiapkan biaya lebih untuk menyimpan.