Provinsi yang meningkat skornya rata-rata dipimpin pemerintah daerah yang cepat menanggapi permasalahan di wilayah. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menjadi contoh.
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia 2017 menunjukkan perkembangan positif dalam meningkatnya kualitas pemuda. Akan tetapi, permasalahan seperti terbatasnya lapangan pekerjaan dan perkawinan dini masih menjadi momok.
Indeks tersebut dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Data disarikan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Survei Angkatan Kerja Nasional," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto pada peluncuran IPPI 2017 di Jakarta, Jumat (13/7/2018).
IPPI 2017 mengandung data pembangunan pemuda (penduduk usia 16-30 tahun) pada tahun 2015 dan 2016. Terdapat lima domain yang diukur, yaitu pendidikan; kesehatan dan kesejahteraan; lapangan dan kesempatan kerja; partisipasi dan kepemimpinan; serta jender dan diskriminasi. Skor nasional tahun 2015 adalah 47,33. Pada tahun 2016 naik menjadi 50,17.
Lapangan pekerjaan dan jender
IPPI 2017 menunjukkan, dari skala 1 hingga 100, tingkat pendidikan pemuda sudah cukup baik, yaitu 63,3. Akan tetapi, tingkat lapangan dan kesempatan kerja masih relatif rendah, yaitu 40.
"Hal ini menunjukkan adanya permasalahan ilmu yang dipelajari pemuda di sekolah dan perguruan tinggi kemungkinan belum relevan dengan kebutuhan dunia industri dan usaha," papar Kecuk.
Sementara itu, dari sisi pembangunan jender secara umum ada peningkatan dari 36,67 pada tahun 2015 menjadi 43,33. Meskipun begitu, belum ada perubahan signifikan pada persentase pernikahan anak. Jumlahnya masih 22,35 persen.
Kecuk menerangkan, diperlukan penelitian mendalam mengenai penyebab sukarnya indeks perkawinan anak untuk naik. Faktor yang perlu dipertimbangkan ialah tingkat kemiskinan, jarak ke sekolah, serta budaya lokal yang mungkin mendorong anak perempuan untuk segera menikah.
Data menunjukkan, provinsi Yogyakarta selama dua tahun berturut-turut mendapat peringkat pertama dalam IPPI. Pada tahun 2016, IPPI nasional adalah 50,17. Adapun Yogyakarta memperoleh skor 64,67.
Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2015 mendapat skor IPPI terendah dengan jumlah 41,5. Akan tetapi, pada tahun 2016 ia mendapat peringkat ke-16 dengan skor 50.
Menurut Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Subandi Sardjoko, provinsi yang meningkat skornya rata-rata memiliki pemerintah daerah yang cepat menanggapi permasalahan di wilayah masing-masing. Intervensi yang dilakukan juga disesuaikan dengan keunikan permasalah di tiap-tiap domain.
"IPPI kemungkinan akan dibahas dalam rapat koordinasi yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan," tuturnya.
Secara birokratis memang agak merepotkan, tetapi bisa dilaksanakan.
Dalam acara itu turut hadir Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Yogyakarta Tavip Agus Rayanto. Ia menjelaskan, Bappeda benar-benar menyinergikan program di tingkat provinsi dengan di pemerintahan kabupaten/kota. Indeks pembangunan selalu diturunkan hingga tingkat kecamatan.
"Secara birokratis memang agak merepotkan, tetapi bisa dilaksanakan," ujarnya.
Sebagai contoh, untuk menekan angka pernikahan anak, Badan Pemberdayaan Perempuan Yogyakarta berjejaring dengan organisasi akar rumput dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka melakukan advokasi kepada masyarakat tentang dampak buruk pernikahan anak seperti tidak memutus lingkaran kemiskinan serta meningkatkan angka kematian ibu dan bayi.
Dari segi lapangan pekerjaan dikembangan industri pariwisata berbasis komunitas. "Masyarakat desa dan kota secara spesifik mengembangkan model pariwisata berdasarkan keunikan masing-masing," katanya. (DNE)