Pengaruh Bulan bagi Manusia dan Binatang Masih Jadi Perdebatan
Seluruh wilayah Indonesia kembali akan dilanda gerhana bulan total, Sabtu, 28 Juli 2018 dini hari. Ini adalah gerhana Bulan total kedua yang terjadi di Indonesia selama tahun 2018. Setelah itu, Indonesia baru akan dilanda kembali gerhana bulan total pada 26 Mei 2021.
Wilayah bayang-bayang Bumi yang lebih luas dibanding daerah bayang-bayang Bulan membuat peluang menyaksikan gerhana bulan lebih besar dibanding gerhana matahari. Kondisi itu juga membuat wilayah di permukaan Bumi yang bisa menyaksikan gerhana bulan juga lebih luas dibanding gerhana matahari.
Bahkan, gerhana bulan umumnya bisa disaksikan di seluruh permukaan Bumi yang sedang mengalami malam. Sedangkan gerhana matahari, apalagi gerhana matahari total, hanya sedikit wilayah yang bisa melihatnya hingga jadi buruan banyak orang.
Data gerhana juga mendukung kondisi itu. Untuk titik pengamatan Jakarta, selama dekade 2011-2020, terjadi 22 kali gerhana. Dari jumlah itu, 18 gerhana di antaranya adalah gerhana bulan dengan berbagai jenis dan 4 gerhana matahari dengan berbagai tipe.
Meski gerhana, khususnya gerhana bulan, relatif sering terjadi, tetapi dampaknya hingga kini masih jadi perdebatan. Banyak mitos berkembang dan masih banyak diyakini sebagian masyarakat. Bahkan, media daring dan media sosial pun masih banyak yang mewartakan mitos-mitos tersebut.
Kuatnya mitos tentang gerhana itu tidak lepas masih kuatnya pengaruh astrologi atau ilmu nujum. Bahkan di negara-negara Barat yang pendidikannya lebih baik, ramalan tentang nasib seseorang atau situasi masa depan masih jadi berita yang banyak diminati masyarakat. Sayangnya, meski hal itu tidak mendidik itu justru banyak disalin mentah-mentah oleh media di Indonesia.
Astrologi berbeda dengan ilmu astronomi yang dalam masyarakat Indonesia dikenal sebagai ilmu falak. Astrologi termasuk pseudosains alias sains semu yang kajian masuk ranah ilmu budaya. Sementara astronomi adalah sains dan dikelompokkan dalam ilmu pasti.
Tidak berdampak
Selama beberapa milenium, beberapa peradaban menafsirkan gerhana, baik gerhana Matahari atau Bulan, sebagai tanda-tanda kiamat. Suasana yang sebelumnya terang, tiba-tiba gelap atau redup akibat terhalangnya cahaya Matahari. Situasi itu memunculkan berbagai perasaan mulai dari bingung, kagum, hingga kepasrahan dan pengorbanan.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dalam eclipse2017.nasa.gov menegaskan tidak ada bukti yang menunjukkan gerhana berdampak pada fisik manusia. Namun, gerhana sering menimbulkan efek psikologis yang pelik.
”Meskipun tidak ada efek fisik langsung gerhana, efek psikologis yang muncul bisa memicu munculnya efek fisik,” seperti ditulis NASA.
Respons psikologis inilah yang melahirkan banyak mitos tentang gerhana Bulan yang umumnya berangkat dari ranah astrologi. Gerhana bulan dianggap memengaruhi tubuh, jiwa, dan pikiran seseorang. Namun, sejumlah riset yang dilakukan menunjukkan mitos-mitos tersebut tidak ada hubungannya dengan gerhana bulan atau data pendukung mitos tersebut sangat lemah.
Beberapa mitos yang berkembang terkait gerhana bulan dan manusia antara lain munculnya manusia serigala, terjadinya kegilaan massal, meningkatkan efek kejang pada penderita epilepsi, hingga meningkatkan risiko terhadap operasi pembedahan yang dilakukan.
Robert Roy Britt dalam ”It\'s Just a Phase: The Supermoon Won\'t Drive You Mad” di Livescience, 11 November 2016, menyebut mayoritas penelitian tentang berbagai mitos gerhana bulan tidak menemukan hubungan. Beberapa menemukan bukti mitos tersebut, tetapi buktinya tidak meyakinkan. Ada pula studi yang menemukan hubungan mitos-mitos tersebut, tetapi metode studinya cacat.
Salah satu mitos yang kuat adalah bulan purnama, peristiwa yang selalu menyertai terjadinya gerhana bulan, meningkatkan potensi kejang pada penderita epilepsi. Studi yang dipublikasikan di jurnal Epilepsy & Behavior, 2004 menunjukkan tidak ada hubungan antara bulan purnama dengan serangan epilepsi.
Di masa lalu, para penyihir sering menyalahkan kejang akibat epilepsi sebagai akibat pengaruh setan. Mitos itulah yang akhirnya berkembang dan diyakini manusia. Kepercayaan itu tumbuh dan berlangsung sejak lama, jauh sebelum dunia kedokteran berkembang seperti sekarang.
Mitos lain yang berkembang adalah bulan purnama dan gerhana bulan memunculkan dan meningkatkan gangguan kejiwaan. Namun, studi yang dilakukan peneliti di Mayo Clinic, Amerika Serikat, menemukan tidak ada perbedaan kunjungan pasien pada tiga malam sebelum dan sesudah bulan purnama dibandingkan dengan malam-malam lainnya. Sejumlah riset berbeda juga menunjukkan hal yang sama.
”Kepercayaan bahwa siklus bulan memunculkan dan meningkatkan gangguan psikiatri sudah muncul sejak abad pertengahan,” tulis sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal ISRN Emergency Medicine, 2014.
Binatang
Jika pengaruh bulan purnama dan gerhana bulan pada manusia banyak yang tidak terbukti, informasi tentang pengaruh fase bulan itu terhadap perilaku binatang justru lebih banyak. Meski demikian, penelitian lanjutan dan lebih luas diperlukan untuk bisa meyakinkan bahwa pengaruh bulan pada perilaku binatang itu memang kuat.
Laura Poppick dalam ”6 Wild Ways the Moon Affects Animals” di Livescience, 2 Juli 2013, menyebut bagi hewan, bulan purnama menjadi isyarat waktu untuk menyelaraskan berbagai peristiwa, menopang komunikasi visual binatang pada malam hari, hingga menakuti binatang malam dengan bayangan benda yang ditimbulkan.
Salah satu hewan yang perilakunya berubah saat purnama adalah musang atau cerpelai Eropa alias Meles meles. Binatang ini cenderung mengangkat kakinya saat kencing selama fase bulan baru atau bulan mati. Cara ini dilakukan untuk menandai wilayah yang akan digunakan untuk kawin. Musang butuh sekitar 90 menit untuk kawin dan bulan baru menjadi waktu terbaik untuk kawin karena kegelapan yang terjadi melindungi mereka dari serangan hewan pemangsa.
Sementara itu, waktu terumbu karang melepaskan sel telur dan sperma juga dipengaruhi oleh cahaya bulan. Meski proses reproduksi terumbu karang itu juga sangat dipengaruhi faktor lingkungan, seperti suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan, tetapi studi terhadap terumbu karang di Australia menunjukkan proses reproduksi itu selalu terjadi di sekitar bulan purnama.
Selain itu, binatang peliharaan seperti kucing dan anjing menjadi lebih nakal dan lebih sering terluka saat bulan purnama. Sebuah studi mencatat kunjungan perawatan dan gawat darurat hewan tersebut meningkat saat malam hari ketika bulan purnama. Meski tidak jelas mengapa binatang peliharaan menjadi lebih aktif saat bulan purnama, tetapi dugaannya adalah hewan itu lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah saat malam bulan cerah.
Packer C dkk dalam ”Fear of Darkness, the Full Moon and the Nocturnal Ecology of African Lions” di jurnal PloS One, 20 Juli 2011, menyebut singa Afrika lebih sering menyerang manusia beberapa hari setelah bulan purnama berlalu. Kondisi itu diduga dipicu oleh kesenjangan kegelapan saat matahari terbenam dan bulan terbit yang terjadi pada beberapa hari setelah purnama.
Setelah purnama, bulan akan terbit makin malam hingga pada saat fase bulan mati atau bulan baru, bulan akan terbit bersamaan dengan terbitnya matahari. Kondisi itu membuat saat petang hari menjadi lebih gelap. Padahal, manusia aktif di luar rumah saat malam umumnya hingga pukul 22.00. Kondisi itu membuat banyak manusia jadi korban serangan singa.
Singa umumnya berburu mangsa di malam hari, tetapi beberapa hari setelah bulan purnama, mereka kadang akan berburu di siang hari. Studi lain menemukan singa mengonsumi makanan lebih sedikit saat purnama. Saat langit di awal malam menjadi terang akibat cahaya bulan, mangsa singa menjadi kurang aktif. Kondisi itu disebabkan karena mangsa menyadari bahwa risiko mereka menjadi sasaran serangan binatang itu makin besar.
Situasi itulah yang membuat beberapa hari setelah bulan purnama, singa akan berburu di siang hari untuk mongompensasi makanannya.
Lantas, bagaimana perilaku binatang saat gerhana bulan terjadi?
Janousek TE dan Olson JK dalam ”Effect of a Lunar Eclipse on the Flight Activity of Mosquitoes in the Upper Gulf Coast of Texas” yang dipublikasikan di Journal of the American Mosquito Control Association, Juni 1994 menyebut jumlah beberapa spesies nyamuk yang ditangkap menurun saat terjadi gerhana bulan. Sebaliknya, saat bulan purnama, sebelum atau sesudah gerhana bulan terjadi, jumlah nyamuk yang ditangkap menggunakan alat khusus itu meningkat banyak.
Kondisi itu menunjukkan gerhana bulan membuat perubahan perilaku nyamuk. Kondisi itu diperkirakan juga akan memengaruhi binatang lain meski hal ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
Karena bulan purnama memengaruhi perilaku sejumlah binatang, maka saat terjadi gerhana bulan total, apalagi dalam waktu cukup lama seperti gerhana bulan total 28 Juli 2018 yang berlangsung selama 1 jam 43 menit dan menjadi yang terlama di abad ke-21, diduga juga akan memengaruhi perilaku mereka.
Namun, studi tentang perubahan perilaku binatang akibat gerhana bulan ini masih sangat terbatas. Karena itu, gerhana bulan di akhir Juli mendatang bisa dijadikan momentum untuk mengamati dan meneliti perilaku binatang.