Dua bulan terakhir, ada sejumlah kasus penjambretan di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Satu hari setelah Lebaran di Sudirman dan Tosari, Jakarta Pusat, penjambretan ponsel menimpa pengemudi ojek dalam jaringan (daring) dan pengemudi sepeda motor. Hari berikutnya, seorang wanita terjatuh dari boncengan sepeda motor akibat mempertahankan ponsel di Jalan Pluit Raya, Jakarta Utara. Disusul penjambretan tas seorang perempuan di Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat, dan perampasan sepeda milik warga Pamulang di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Warga Ibu Kota pun resah. Hal tersebut terekam dalam jajak pendapat Kompas awal juli lalu, tiga perempat responden khawatir. Keresahan tertinggi diungkapkan warga Jakarta Pusat (88,5 persen). Ini beralasan karena penjambretan tidak sekadar mengambil paksa barang milik korban, tapi sampai merenggut jiwa. Seperti pada kasus penjambretan penumpang wanita ojek daring di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih.
Kejahatan jalanan kerap dianggap sebagai pembuka tindak kejahatan berikutnya. Tidak jarang penjambretan berubah menjadi perampokan bersenjata api karena korban melawan juga berujung jadi pembunuhan.
Hal itu membuat separuh lebih warga merasa tidak aman tinggal di Jakarta. Namun, 43 persen warga masih merasa aman tinggal dan beraktivitas di Ibu Kota. Bisa jadi karena angka kriminalitas 2017 menurun 26 persen menjadi 34.227 kasus. Waktu kejahatan melambat jadi tiap 15 menit 4 detik dari sebelumnya 12 menit 18 detik.
Upaya terbatas
Hal mayoritas yang menjadi harapan warga adalah upaya pencegahan. Di antaranya, sebanyak 23 persen warga jajak pendapat menginginkan pemerintah memasang lebih banyak kamera pemantau (CCTV). Selain itu, 21,4 persen warga juga menginginkan aparat kepolisian meningkatkan patroli dan menambah petugas.
Kegeraman masyarakat terhadap pelaku juga ditunjukkan oleh 18 persen responden yang berharap hukuman pelaku diperberat. Bahkan, 85 persen sepakat jika aparat bertindak tegas dan terukur dengan menembak jika pelaku melawan. Harapannya, tindakan tegas aparat ini membuat pelaku jera.
Sebenarnya, pemerintah dan aparat telah merespons maraknya kriminalitas jalanan tersebut dengan sejumlah upaya pencegahan. Di antaranya, pemasangan sekitar 867 CCTV di gedung pemerintah, jalan utama, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat lainnya.
Setiap malam akhir pekan, personel polres mengadakan patroli tim gabungan di sejumlah tempat rawan. Polda Metro Jaya secara khusus menggelar Operasi Cipta Kondisi pada 3 Juli-3 Agustus untuk memberantas begal dan jambret.
Dalam kurun waktu tiga hari 3-5 Juli, Polda Metro Jaya berhasil mengungkap 69 kasus kejahatan jalanan dan mengamankan 387 orang. Sebanyak 27 pelaku telah dilumpuhkan dengan timah panas karena melawan, tiga di antaranya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Fakta baru
Dari Operasi Cipta Kondisi terungkap fakta baru bahwa tindak kejahatan tidak lagi identik dengan tempat sepi dan waktu malam hari. Sebaliknya, beberapa kasus terjadi pada siang hari dan di jalanan ramai. Sebut saja kasus penjambretan yang dialami Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanudin saat bersepeda di kawasan Kota Tua. Kawanan penjambret memanfaatkan keramaian untuk melarikan diri, lepas dari kejaran, serta mengecoh korban.
Sebagian pelaku yang ditangkap adalah anak muda berusia 15-21 tahun. Mereka menjambret untuk mendapatkan uang agar bisa membeli narkoba, terutama sabu. Untuk itu, yang banyak menjadi sasaran adalah telepon genggam karena paling mudah dan paling cepat dijual.
Fakta-fakta tersebut menjadi modal polisi untuk memberantas tuntas kejahatan jalanan ini sampai pada akar permasalahan. Namun, terpenting adalah kewaspadaan masyarakat serta menutup ruang dan kesempatan bagi penjahat untuk beraksi.