Dilema Kaum Urban di Ibu Kota
Roda gerobak itu berputar pelan di sepanjang Jalan Pangeran Antasari hingga Jalan Prapanca Raya, Jakarta Selatan. Sesekali Rohman (30) menghentikan gerobaknya kemudian menelusuri saluran air di bahu jalan sambil mencari beberapa botol plastik bekas. Sari (26), istrinya, mengikuti Rohman sembari menggendong anaknya.
”Setiap hari kerjaan saya begini. Dari pagi sampai malam,” ujar Rohman, beberapa waktu lalu. Perjalanannya berlanjut hingga ke perumahan warga di Jalan Bangka V, Jakarta Selatan. Di sini, ia memangkalkan gerobak lalu berkeliling ke tempat-tempat sampah milik warga. Istri dan anaknya menunggu di dekat gerobak.
Sudah dua tahun Rohman memulung di Jakarta. Karena tak punya keterampilan, ia terbiasa melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Hasil dari mencari pulungan tak bisa ia andalkan.
”Tidak menentu. Kadang seminggu bisa dapat Rp 150.000 kadang Rp 200.000,” kata Rohman, pria asal Rangkasbitung, Banten. Kalau sudah begitu, pengeluaran harus diperketat. Makan cukup satu kali sehari. Tak jarang, ia dan keluarganya tidak makan sama sekali.
Saat pertama kali ke Jakarta pada 2016, selama enam bulan ia bersama istri hidup menggelandang di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Hingga akhirnya ia menemukan lapak di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. ”Ini dulu tinggal di sini (Jalan Bangka). Cuma enggak lama, hanya setahun. Soalnya digusur,” kenang Rohman.
Rohman kini tinggal di Lapak Texas (kampung pemulung), Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sudah dua bulan ia tinggal di kamar sewaan berukuran 1,5 meter x 2 meter, dindingnya polos tanpa hiasan, tanpa lemari, dan tanpa satu pun perabotan rumah tangga.
Di kamar lain terdapat ruang sewaan berukuran 2 meter x 3 meter, berlantai kayu yang dilapisi setengah karpet vinil, dindingnya ditutupi spanduk kusam. Bangunan itu berdiri di atas got selebar 1 meter. Berjarak tiga langkah dari ruangan terdapat gerobak berisi sampah plastik dan tiga tumpukan kardus.
Kamar sewaan di Lapak Texas itu ditempati oleh Wastorip (45). ”Saya tidak bayar sewa per bulan. Cuma, uang hasil mulung dipotong. Kalau satu gerobak Rp 100.000, saya dapat paling Rp 50.000 dari bos,” kata Wastorip (45), pria asal Indramayu, Jawa Barat.
Jam dinding di kamar Wastorip menunjukkan pukul 03.10 saat dirinya beranjak ke kamar mandi. Pria berkulit gelap ini tidak tidur semalaman. Ia memilih menyortir sampah plastik yang menumpuk di depan kamarnya daripada tidur. ”Saya tidurnya nanti saja sehabis ngangkutin sampah,” ujarnya.
Istri dan anak Wastorip tinggal di Indramayu. Setiap bulan ia mengirimi uang Rp 1 juta untuk kehidupan istri dan empat anaknya. Padahal, uang yang didapat tidak menentu. ”Kadang bisa Rp 2 juta-Rp 3 juta. Itu pun belum untuk biaya sehari-hari,” ujar Wastorip.
Menurut dia, hal itu jauh lebih baik dibandingkan upah di kampung. Itu pun kalau ada pekerjaan. Sulitnya mencari pekerjaan di kampung halaman membuat Wastorip membangun mimpi di Ibu Kota.
Sulitnya mencari pekerjaan di kampung halaman membuat Wastorip membangun mimpi di Ibu Kota.
Penyesalan datang saat mengenang awal-awal kedatangannya ke Jakarta. ”Menyesal dulu enggak sekolah yang benar kalau tahu kerja di Jakarta keras kayak gini,” ujar pria lulusan SD ini.
Potret kemiskinan
Rohman dan Wastorip adalah potret kemiskinan di kota besar. Hulu persoalan ini tidak pernah terselesaikan. Mereka yang memiliki daya datang ke kota tanpa modal dan tanpa keterampilan khusus. Mereka mengais rezeki untuk bertahan hidup dan menafkahi keluarga.
Akibatnya, gelombang urbanisasi tidak terbendung saat kesenjangan pembangunan desa-kota tidak mewujud. Pada 2016, Bank Dunia mencatat sekitar 52 persen total populasi penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Bank Dunia juga memprediksi, pada 2025 ada sekitar 68 persen penduduk tinggal di kota.
Berarti, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Jurang kemiskinan akan terbuka, meningkatkan pengangguran karena daya serap tenaga terampil kian terbatas. Daya lingkungan dan ekonomi di perkotaan pun tidak cukup memadai untuk menampung gelombang urbanisasi di masa depan.
Tak layak
Sebanyak 50-55 keluarga yang tinggal di Lapak Texas, Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berasal dari luar Jakarta. Mereka datang, kemudian menetap. Meski telah memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta, ini merupakan gambaran kecil dari dampak pembangunan desa yang tidak terjembatani.
Lapak Texas berada di RT 007 RW 009. Rumah-rumah di tempat itu saling menempel, berdinding separuh papan, beratap seng, berlantai semenan. Beberapa rumah yang berlantai dua dihubungkan oleh tangga kayu yang rapuh. Lantai dasarnya pun dibuat dari tripleks.
Jalanan di kawasan itu sempit. Berukuran lebar sekitar 2,5 meter dan disesaki sepeda motor yang diparkir di depan rumah. Udaranya pun tidak segar akibat tumpukan botol plastik, kardus, dan beling yang dijajar di depan rumah sebagian warga.
Di lahan seluas lebih kurang 3.000 meter persegi tersebut, beberapa jalannya tidak tertembus sinar matahari. Walhasil, udara yang terlampau pengap mengakibatkan salah seorang warga pernah terkena penyakit. ”Ada yang pernah kena tuberkulosis di lapak,” kata Sholeh, ketua RT setempat.
Sementara, kualitas kamar mandi pun kurang memadai. Di bagian belakang permukiman–yang dekat dengan anak Kali Krukut–ada dua kamar mandi, berlantai papan kayu bekas, satu pompa air, dan satu sumur. Sebanyak 20-25 warga harus menggunakan tempat itu secara bergantian.
Solihah (43), warga setempat, mengatakan bahwa pagi hari adalah puncak keruwetan. Beberapa anak yang ingin pergi sekolah terpaksa antre untuk menggunakan kamar mandi. ”Ramainya pukul 05.30. Bisa 4-5 anak yang antre,” katanya.
Pagi itu, tiga perempuan duduk di dipan kayu dekat kamar mandi berkalung handuk di lehernya.
”Ini mah hitungannya sepi. Coba kalau hari biasa. Anak sekolah pada berebutan,” ujar Solihah.
Ini merupakan contoh kecil atas ketidakmampuan kota dalam menampung gelombang urbanisasi. Untuk itu, pembangunan ekonomi harus dilakukan secara merata, dari desa ke kota.
Selain kamar mandi, Solihah mengatakan, penggunaan kakus juga harus bergantian. Sebab, hanya ada satu kakus yang tersedia di sana. ”Kalau mau buang air besar, kami mesti pompa atau nimba dulu. Airnya rerus dibawa ke jamban belakang dekat kali,” katanya.
Kondisi perumahan yang buruk merupakan fenomena global yang merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang paling menekan. Merebaknya kawasan-kawasan kumuh dan permukiman-permukiman liar merupakan salah satu manifestasi yang paling kasatmata dari kondisi kemiskinan, ketidakamanan hidup, dan orientasi ekonomi nasional yang lebih mementingkan pertumbuhan. (Kompas, 31/5/1996)
Ini merupakan contoh kecil atas ketidakmampuan kota dalam menampung gelombang urbanisasi. Untuk itu, pembangunan ekonomi harus dilakukan secara merata, dari desa ke kota. Jika tidak, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan tempat tinggal yang layak bagi para urban. (DIONISIO DAMARA)