Goresan Kisah Kuliner
Makanan bukan perkara mengisi perut belaka. Di mata Kevindra Prianto Soemantri (25), yang tersaji dalam satu piring itu adalah gugusan kisah tentang budaya, alam, dan kreativitas manusia. Dia pun memilih menuliskan kisah-kisah itu. Kalau semua memasak, siapa yang bakal cerita tentang pemasak atau masakannya, begitu alasannya.
Kevin, demikian sapaannya, sudah tiba di Menara Kompas, pada Selasa (10/7/2018), 20 menit sebelum waktu janji bertemu. Suaranya sedikit sengau akibat flu. Cuaca sedang tidak bersahabat bagi tubuhnya. Namun, efek cuaca itu sirna begitu dia berbicara soal makanan.
”Buatku, makanan itu enak atau enggak enak, itu urusan lain. Tiap makanan pasti punya cerita, mau cerita jelek atau bagus. Itu yang aku suka dari makanan,” tuturnya.
Misalnya cerita tentang perjuangan si penjual makanan. Berawal dari ”bisanya cuma masak ini”, hanya ditambah ketulusan yang teraplikasikan lewat bumbu yang dia pakai, rasanya jadi enak, rumah makannya pun jadi legenda. Bisa juga kultur suatu daerah pada suatu masa yang terepresentasikan dalam makanan khas setempat.
Sebenarnya latar belakang Kevin adalah chef. Cita-citanya pun menjadi chef. Dia membuat kejutan sebagai kontestan termuda ajang Masterchef Indonesia pada 2011. Sempat sekolah khusus kuliner, ia lalu magang di Il Ristorante, Bvlgari Hotel, di Bali. Namun, perjalanan justru membawa langkahnya menjadi penulis kuliner.
”Ketika di Bali, aku merasa kangen Jakarta. Nomor satu yang ngangenin,ya, makanannya. Barulah aku sadar, kok enggak nemu buku tentang kuliner Jakarta,” ujar Kevin.
Dia memang hobi membaca informasi tentang kuliner dari banyak negara. Majalah Bon Appetit, Food and Wine, laman The New York Times, hingga buku-buku kuliner mancanegara dilahapnya. Dia mencontohkan buku Gastropolis: Food and New York City yang membahas sejarah kota New York, Amerika Serikat, melalui perkembangan kulinernya. Mengapa Oyster Bar booming, apa pengaruh migran Italia, dibahas dengan menarik sehingga membentuk wajah kuliner New York sekarang ini.
Kevin melihat buku-buku kuliner di negara tetangga, seperti Singapura dan Bangkok, jauh lebih banyak. Di Indonesia, ujarnya, buku kuliner masih banyak terpaku pada buku resep. Padahal, ragam kuliner kita banyak sekali.
”Awalnya aku suka cerita kuliner Perancis. Salah satu yang bikin aku tertarik itu pot au feu, yang ternyata awalnya makanan orang desa, dicampur aduk jadi satu. Juga bouillabaisse, isinya tumplekan ikan dan udang. Sekarang jadi makanan fancy. Setelah tiga tahun mendalami kuliner Indonesia, sudah pasti ini enggak ada yang ngalahin,” papar Kevin.
Dia memulai dari yang terdekat, yakni kota tempat dia lahir dan besar. Buku tentang kuliner Jakarta yang pertama disusunnya justru sampai sekarang belum selesai. Bukan apa-apa, karena demikian kayanya kuliner kota ini berikut kisah-kisah yang mengiringinya. Jakarta sebagai tempat berbagai budaya melebur membuat kota ini memiliki kawasan pecinan di sekitar Glodok, kawasan komunitas Korea di Jalan Wolter Monginsidi, atau Tokyo kecil di Melawai, juga komunitas Arab di Condet, dan kawasan Melayu di Teluk Gong.
”Banyak sekali cerita bisa digali tentang bagaimana komunitas itu turut membangun, sebenarnya enggak sadar kalau ikut membangun perjalanan kuliner Jakarta. Mungkin awalnya hanya memenuhi kebutuhan kelompok kecil, lama-lama jadi destinasi kuliner,” katanya bersemangat.
Makanya, ujarnya, Jakarta ini kayak gado-gado. Segala macam tumpah ruah, dicampur, jadi berantakan memang, tapi enak.
Itu baru Jakarta. Bagaimana dengan Bandung, Yogyakarta, Medan, Padang, Bali, Medan, dan aduuhh.... banyak sekali. Tidak cuma makanan tradisional, sajian fine dining pun bisa diceritakan. ”Jadi sepertinya aku enggak bisa melihat diriku 15 tahun, 20 tahun lagi, keluar dari dunia kepenulisan kuliner,” begitu tekad Kevin.
Coba dulu
Tak heran melihat antusiasme Kevin. Dunia kuliner sudah diakrabinya sejak kecil. Ayahnya memiliki restoran, ibunya juga berprofesi di bidang perhotelan. Pengaruh besar datang dari sang kakek yang gemar makan. Dari bintang lima sampai kaki lima disikat, ujar Kevin.
Sang kakek suatu ketika pernah berkata, coba dulu makan, suka atau enggak urusan nanti. Jadilah dia selalu mencoba makanan apa saja. Dia pernah mencoba telur burung unta mentah yang dibikin foam, tartar burung emu, juga tartar daging kuda. Enggak masuk di lidah, kenangnya, tetapi yang penting sudah mencoba.
Kevin kecil juga senang menemani kakeknya ke pasar tradisional. Basah, becek, tak dipedulikan. Dia belajar memasak secara otodidak. Ayah mengajari masakan Barat, sementara ibu mengajari masakan rumahan. Perpaduan Manado dan Jawa Tengah membentuk lidahnya yang gemar makanan pedas.
”Setiap akhir pekan, aku memasak. Selain biar ilmu enggak hilang, aku memang suka prosesnya. Dari belanja, memilih bahan, memotongnya, lalu memasaknya. Seperti meditasi. Kalau lagi fokus memasak, orang pasti tahu aku enggak mau diganggu,” ujar penggemar gudeg ini.
Gaya populer
Memori tentang makanan ini juga salah satu hal yang mendorong Kevin menerjuni dunia kuliner. Dia melihat ada kekuatan besar dalam makanan berupa kultur, perjuangan, juga nostalgia. Dia mengamati banyak buku yang memperlihatkan sisi tak benda dari sebuah makanan. Inilah impiannya: menulis buku yang bisa menjadi kacamata untuk melihat makanan dari sisi mana pun.
”Respek terhadap makanan harus mulai kita gaungkan. Barangkali karena kita menghadapinya sehari tiga kali, makanan jadi seolah tidak berarti apa-apa. Padahal, ceritanya luar biasa,” ucapnya.
Tentu buku itu harus tampil menarik pula. Makanan ditampilkan sebagai gaya hidup. Itu direpresentasikan lewat penuturan yang bergaya populer, desain sampul yang tidak melulu gambar makanan, tata letak yang tidak membosankan, juga foto-foto yang menawan. Orang yang membacanya bakal bisa membayangkan makanannya, pengalaman si penulis, sampai akhirnya mendatangi tempat makanan itu dijual.
”Berdasarkan riset Badan Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), kuliner sudah menjadi pendorong orang untuk berwisata. Buku kuliner tentang Indonesia tentu pengaruhnya besar untuk mengundang wisatawan datang,” tutur Kevin.
Nigella Lawson, penulis kuliner kenamaan asal Inggris, sudah menyimpan sambal ulek dari Indonesia di salah satu dapurnya. Media kuliner besar dunia juga pernah membahas kuliner Indonesia. Kevin pun ingin mengambil bagian untuk membawa kekuatan kuliner Indonesia ke tataran dunia.
Ke depan, Kevin yakin kuliner Indonesia akan meledak. Akan ada saat ketika orang jenuh dengan makanan-makanan negara lain yang sudah dikenal sebelumnya. Di Indonesia, satu jam penerbangan dari Medan ke Padang, misalnya, sudah berbeda pengalaman rasa. Atau dari Yogyakarta ke Bali, profil rasa yang ditemukan sudah beda lagi. Orang akan berbondong-bondong kemari untuk mencari inspirasi rasa.
”Jadi, aku mengincar sisi penulisannya saja. Kalau semua jadi juru masak, siapa yang mau ceritakan itu semua nanti,” ujarnya.
Kevindra Prianto Soemantri
Lahir: Jakarta, 13 Mei 1993
Pendidikan:
- SMP Seruni Don Bosco Pondok Indah
- SMA Seruni Don Bosco Pondok Indah
- Jakarta Culinary Center: Professional Chef Certification
Buku:
- Yuk Kita Masak! (2012)
- Adiboga Khas Eropa (2015)
- Jakarta Sreetfood (2017)
Pengalaman:
- Kontributor penulis dan kolumnis makanan dan restoran The Jakarta Post (Agustus 2015-April 2017)
- Editor makanan dan manajer komunitas Kokiku TV (Oktober 2014-November 2015)
- Co-host Iron Chef Indonesia (Maret-April 2017)
- Co-founder Top Tables Restaurant Guide (Februari 2016-sekarang)
Aktivitas:
- Editor at large Kenduri Magazine
- Culinary Managing Editor at Traveloka