Pentas Pamungkas
KECEPATAN JADI ANDALAN
Pola 4-2-3-1 yang sukses menjinakkan Belgia di semifinal tampaknya akan kembali dipakai Perancis di final. Lini tengah akan menjadi keunggulan Perancis dalam laga ini.
MOSKWA, KOMPAS Tim nasional sepak bola Perancis hanya butuh selangkah lagi untuk mengulangi kesuksesan dua dekade silam, saat pertama dan terakhir kali menjadi juara dunia. Kekuatan lini tengah dan kecepatan barisan penyerangnya, khususnya Kylian Mbappe-Lottin, akan menjadi andalan untuk mengoyak pertahanan Kroasia yang ”lelah”.
Perancis bukanlah tim yang meledak-ledak seperti Belgia atau flamboyan seperti Brasil selama Piala Dunia 2018 di Rusia. Sebaliknya, di bawah asuhan Didier Deschamps, Perancis dinilai sebagai tim raksasa paling pragmatis di Piala Dunia edisi ini. Dalam aspek penguasaan bola, misalnya, ”Les Bleus” berada di antara jajaran tim medioker, yaitu di peringkat ke-14 dengan rata-rata 51,3 persen.
Meskipun kaya talenta penyerang seperti Mbappe, Antoine Griezmann, dan Ousmane Dembele, Les Bleus juga tidak banyak mengumbar serangan selama di Rusia. Mereka hanya menciptakan total 75 tembakan dari enam laga yang telah dijalani. Jumlah itu sangat rendah dibandingkan dengan Kroasia—tim yang tidak punya banyak penyerang hebat—yang mengemas 100 tendangan.
Minimnya serangan Les Bleus itu tak terlepas dari taktik hati-hati dan defensif ala Deschamps yang akhir-akhir ini menggemari pola 4-2-3-1. Pola yang sukses menjinakkan tim agresif Belgia di semifinal lalu itu agaknya bakal kembali dipakai Deschamps di laga kontra Kroasia. Lini tengah akan menjadi keunggulan Perancis dalam laga sarat duel fisik ini.
Duet Paul Pogba dan N’Golo Kante sebagai gelandang jangkar kembar semakin padu dan sulit ditembus barisan penyerang tim mana pun di Rusia. Kante sangat jeli membaca permainan lawan dan mematahkan serangan mereka seperti diperlihatkan pada laga kontra Belgia.
Adapun Pogba—yang semakin matang dan rela menjalani tugas ekstra melapis pertahanan—menjadi tenaga Perancis sekaligus katalis melalui umpan-umpan silang dan asis akurat lainnya ke lini depan. Blaise Matuidi, gelandang lainnya, menjadi pemain serba guna, yaitu sama bagusnya dalam menopang serangan dan pertahanan di sektor kiri serangan Les Bleus.
Secara fisik, ketiganya lebih unggul dari mesin serangan Kroasia, Luka Modric, dan pendampingnya, Ivan Rakitic. Lini tengah ini sering kali menjadi ”dapur” dari serangan balik dan cepat Perancis. Umpan-umpan mereka menjadi santapan yang memanjakan Griezmann, Mbappe, maupun striker Olivier Giroud.
”Setiap pelatih harus sepragmatis mungkin meskipun ada hal-hal detail kecil lain yang bisa menjadi perbedaan. Sangat penting bagi kami tetap kalem, fokus, dan berkonsentrasi menyambut laga ini,” ujar Deschamps yang meminta timnya tidak larut dalam euforia seusai mengalahkan Belgia di semifinal.
Saat itu, warga Perancis memenuhi kawasan terbuka di Paris, khususnya di kawasan Champ de Mars dan Menara Eiffel. Mereka larut dalam euforia dan kegembiraan setelah Les Bleus mencapai final Piala Dunia pertamanya sejak 2006. Namun, Deschamps enggan terbawa suasana itu. ”Tidak ada euforia di tim. Kami berlatih seperti biasa dan tetap fokus menyambut final.”
Mereka tak ingin mengulangi kesalahan serupa di final Piala Eropa 2016. Ketika itu, rakyat Perancis juga larut dalam euforia setelah timnya mengalahkan Jerman di semifinal dan melaju ke final Piala Eropa di rumah sendiri. Rasa besar kepala atau yakin menang membuat mereka terjungkal dan dikalahkan tim ”kuda hitam” Portugal di final. ”Kami kini memiliki kesempatan kedua untuk menebus (kegagalan) itu. Mentalitas kami berbeda kali ini,” ungkap Hugo Lloris, kiper dan kapten Perancis.
Lloris menekankan pentingnya aspek nonteknis, yaitu mental dan psikologis, pada duel final di Stadion Luzhniki, malam ini. ”Final ini adalah laga terpenting dalam karier kami semua. Laga ini membutuhkan komitmen dan seluruh tekad. Kami tidak boleh kehilangan energi dan konsentrasi sekecil apa pun karena lawan yang kami hadapi punya mental spesial. Itu mereka tunjukkan dengan perjuangan hebat pada tiga laga terakhir,” tutur Lloris.
Perancis, meskipun sedikit lebih diunggulkan, memang tidak bisa lagi jemawa seperti di Piala Eropa 2016. Selain menghadapi lawan yang jauh lebih berpengalaman dan teruji mentalitasnya, Les Bleus juga harus melawan sejarah. Belum ada runner-up Piala Eropa yang mampu menjadi juara di Piala Dunia berikutnya.
”VATRENI” MELAWAN LELAH
Tim nasional Kroasia bersiap tampil dalam laga terbesar mereka. Partai pamungkas melawan Perancis itu menjadi ujian tak ringan bagi ketangguhan tim.
Moskwa, Kompas Setelah menguras banyak tenaga selama fase gugur, Kroasia kini menghadapi laga terpenting di final Piala Dunia Rusia 2018 melawan tim juara dunia 1998, Perancis. Tidak banyak perubahan yang dilakukan Kroasia karena mereka hanya butuh waktu untuk melemaskan otot.
Menjelang final Piala Dunia pertama mereka, Kroasia tidak seberuntung Perancis dari segi waktu. Pada babak semifinal, Perancis lebih dahulu menyingkirkan Belgia, 1-0, Selasa (10/7/2018), sehingga memiliki waktu istirahat selama empat hari.
Adapun Kroasia baru bisa beristirahat setelah mengalahkan Inggris, 2-1, Rabu (11/7) malam waktu setempat, sehingga efektif hanya memiliki jeda waktu tiga hari sebelum partai final digelar di Stadion Luzhniki, Moskwa, Minggu (15/7).
Jeda waktu tiga hari terasa sangat singkat bagi skuad berjuluk ”Vatreni” itu. Apalagi, mereka harus selalu bermain lebih dari 90 menit dalam setiap laga mereka di fase gugur. Mereka harus menyelesaikan laga dengan adu penalti saat melawan Denmark (babak 16 besar) dan Rusia (perempat final).
Ketika bertemu Inggris di semifinal, mereka juga harus bermain hingga babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Total, tambahan waktu yang harus dimainkan Kroasia adalah 90 menit lebih banyak daripada Perancis atau setara satu pertandingan normal.
Karena itu, kelelahan dan cedera ringan pun menyerang para pemain Kroasia menjelang pertandingan terbesar mereka. Ketika tim berlatih, Jumat (13/7), tercatat sebanyak lima pemain yang tidak bergabung, yaitu Ivan Perisic, Ivan Strinic, Dejan Lovren, Sime Vrsaljko, dan Danijel Subasic.
Bahkan, Perisic, yang mengalami cedera otot paha, dikabarkan terancam tidak bisa berlaga. Namun, saat menghadiri konferensi pers di Stadion Luzhniki, Sabtu (14/7), Pelatih Kroasia Zlatko Dalic mengatakan, para pemainnya telah kembali bugar dan pulih dari cedera ringan.
Pada Sabtu sore waktu setempat, semua pemain kembali berlatih ringan. ”Oleh karena itu, saya tidak memaksakan latihan keras dan sebenarnya tidak ada yang perlu dilatih. Kami hanya butuh relaksasi dan istirahat,” kata Dalic.
Ketika Dalic mengatakan tidak ada yang perlu dilatih lagi, ia ingin menyampaikan bahwa kemampuan para pemain dan strategi yang diterapkan sudah siap untuk diterapkan pada laga final. Fase yang penting saat ini adalah pemulihan fisik dan menyiapkan mental para pemain.
Kroasia ingin melanjutkan permainan ofensif yang sudah diperagakan sejak awal Piala Dunia. Dalic, yang menyukai gaya permainan ofensif, ingin para pemainnya bertahan dengan cara menyerang.
Apalagi, tim yang dihadapi adalah Perancis, yang berisi para pemain muda bertalenta dan memiliki lini belakang yang mematikan. Hal itu seperti yang telah dibuktikan skuad ”Les Bleus” tersebut dalam laga-laga di fase gugur.
Penyempurnaan
Dalic pun membutuhkan kesiapan dari striker tunggalnya, Mario Mandzukic, agar permainan ofensif itu jadi sempurna. Penyerang Juventus itu sudah mengemas dua gol sejauh ini, terakhir kali saat mengunci kemenangan atas Inggris, 2-1. ”Mandzukic memang seorang pemain top. Dia selalu memberi segalanya dan saat ini kondisi hatinya sedang bagus,” kata Dalic.
Pelatih berusia 51 tahun itu pun salut dengan kemampuan adaptasi Mandzukic yang biasa menjadi penyerang sayap selama bermain untuk Juventus.
Ini merupakan partai final pertama untuk Kroasia di turnamen besar sepak bola sehingga menjadi catatan sejarah tersendiri bagi negara di kawasan Balkan itu. Jika mereka memenangi laga malam ini, sejarah lebih besar akan tercipta. Kroasia akan menjadi salah satu dari hanya 9 negara di dunia yang bisa meraih Piala Dunia.
Gelandang motor Kroasia, Luka Modric, mengatakan, Perang Balkan yang menjadi bagian dari sejarah negeri itu menjadi salah satu akar ketangguhan timnas Kroasia kini. Namun, ia enggan membicarakan hal tersebut terlalu dalam.
Satu hal yang pasti, dia akan fokus dalam laga final nanti demi mempersembahkan yang terbaik untuk timnas.(AP/REUTERS)