Perang Mental Dua Juru Taktik
Laga puncak Piala Dunia 2018 antara Perancis dan Kroasia sudah bukan lagi soal hitung-hitungan teknik dan taktik. Pemenang partai ini boleh jadi lebih ditentukan kesiapan mental para pemain di lapangan. Juru taktik kedua tim pun menyadari kunci itu.
Semua untuk Satu, Satu untuk Trofi
Ada satu kredo yang tertanam di kepala Pelatih Perancis Didier Deschamps. Legenda ”Les Bleus” itu tak peduli soal taktik atau gaya bermain. Baginya, hal-hal nonteknis dalam laga, seperti sikap mental, pengorbanan, dan kebersamaan, di atas segalanya.
Menjelang duel kontra Kroasia di final Piala Dunia 2018, Minggu (15/7/2018) malam, Deschamps terkenang dua dekade silam kala ia menjadi kapten tim Les Bleus dalam laga kontra Brasil di final Piala Dunia 1998. Saat jeda turun minum, timnya unggul 2-0 atas Brasil yang diperkuat pemain bintang seperti Ronaldo, Bebeto, dan Roberto Carlos.
Zinedine Zidane, bintang Perancis saat itu, merebahkan punggungnya ke lantai ruang ganti Stadion Stade de France. Kedua kakinya diangkat ke bangku. Adapun anggota skuad Les Bleus lainnya kompak meminta pijatan di paha dan betis. Hanya satu pemain yang tidak bersantai saat itu.
”Kawan-kawan, kita tidak bisa bersantai meskipun hanya sejenak! Kita telah melewati bagian sulit. Namun, masih ada 45 menit kegilaan lainnya!” teriak Deschamps saat itu.
Teriakan Deschamps menancap di kepala pasukan Les Bleus. Mereka tetap trengginas di babak kedua dan menambah keunggulan melalui gol Emmanuel Petit. Rakyat Perancis pun berpesta menyambut trofi Piala Dunia pertamanya. Zidane, yang memborong dua gol di final itu, meraih puja-puji dan dianggap sebagai pahlawan Perancis. Adapun Deschamps hanya mendapat julukan ”si pembawa galon”.
Gelandang pekerja keras yang tidak semenawan Zidane itu kini mencoba mereplikasi kesuksesan dua dekade lalu tersebut. Deschamps memang tidak pernah menceritakan detail kisah indah itu kepada anak-anak asuhnya. Namun, karakter Deschamps sangat terlihat di permainan Les Bleus di Rusia. Meski diberkahi barisan talenta dengan teknik menawan seperti Paul Pogba, Antoine Griezmann, dan Kylian Mbappe, Les Bleus tidak banyak gembar-gembor serangan.
Koleksi gol Les Bleus terbilang minim, hanya 10 dari 6 laga. Bandingkan dengan Kroasia yang mengemas 12 gol dan Belgia 14 gol. Tak heran, Perancis pun disebut tidak punya identitas, tampil membosankan, dan bergaya anti-football. Karakter itu membuat Deschamps tidak disukai publiknya sendiri, berbeda dengan Zidane yang menjadi kebanggaan negara itu.
Sebagai mantan gelandang bertahan, Deschamps tahu betul pentingnya keseimbangan dalam permainan. Organisasi dan kedisiplinan adalah hal pertama, sedangkan serangan yang kedua. Singkat kata, mereka bertahan sebelum menyerang. Paham itu membuat semua pemain punya tanggung jawab merata dalam melindungi areal pertahanan. ”Semua untuk satu dan satu untuk semua adalah filosofinya,” tulis Sports Illustrated.
Kredo yang terinspirasi dari roman ”Les Trois Mousquetaires” itu ampuh untuk menekan ego dan konflik yang menjadi persoalan klise di skuad Perancis, negara yang tidak pernah kehabisan talenta hebat dari beragam latar belakang. Keampuhan itu salah satunya terlihat dari perubahan drastis Pogba, pemain yang kini lebih rendah hati dan berkorban untuk tidak selalu berada di depan.
”Ya, saya memang pembawa galon. Namun, galon itu penuh dengan trofi,” ujar Deschamps.
Bermain Gembira
ala Dalic
Ekspektasi yang sangat tinggi kerap menjadi musuh terbesar sebuah tim saat berlaga di kompetisi sebesar Piala Dunia. Para pemain bakal merasa tertekan karena seolah hanya diberi pilihan hidup atau mati. Pelatih Kroasia Zlatko Dalic tidak mau hal itu terjadi menjelang laga final kontra Perancis di Stadion Luzhniki, Moskwa, Minggu (15/7/2018).
”Saya ingin menyampaikan pesan bahwa kami datang ke sini (Rusia) untuk menikmati laga final,” kata Dalic dalam konferensi pers di Stadion Luzhniki, Sabtu. Dalic tidak mau menambah tekanan dan hanya meminta para pemainnya untuk bermain seperti yang sudah mereka lakukan. Laga final adalah sesuatu yang patut dinikmati dengan gembira.
Dalam kesempatan itu, Dalic setidaknya dua kali mengatakan bahwa timnya bisa saja kalah. Pelatih yang baru menangani tim nasional Kroasia sejak Oktober 2017 itu ingin mengingatkan bahwa mereka hanyalah sekelompok pemain sepak bola yang datang dari sebuah negeri kecil di daerah Balkan yang akan menantang Perancis, sang juara dunia 1998, di laga puncak.
Dengan kata lain, bisa sampai di laga final saja sudah menjadi pencapaian tertinggi yang patut dirayakan oleh tim berjuluk ”Vatreni” atau lidah api ini. Dua puluh tahun lalu, pada 1998, ketika Perancis menjadi juara dunia, Kroasia baru menjalani debutnya di Piala Dunia sebagai negara merdeka dan langsung merebut posisi ketiga.
”Jika kami menang (di final nanti), tidak akan ada yang lebih bangga dari kami, dan jika kami kalah, kami akan mengucapkan selamat kepada lawan. Itulah kehidupan, itulah sepak bola,” kata Dalic. Menang atau kalah, Kroasia akan tetap larut dalam kebahagiaan.
Bagaimana tidak bangga, Dalic datang ketika timnas Kroasia sedang dalam kondisi kritis setelah pelatih sebelumnya, Ante Cacic, dipecat. Dalic belum pernah melatih tim nasional dan hanya berbekal pengalaman mengasuh klub-klub di Kroasia dan Asia. Terakhir, ia mengantar klub Uni Emirat Arab, Al Ain, menjadi runner-up Liga Champions Asia 2016.
”Sejak hari pertama melatih Kroasia, saya mengutamakan solidaritas dan kekompakan tim karena tim-tim yang tidak memiliki dua hal itu sekarang telah pulang, mereka mungkin sedang di pantai,” kata Dalic. Kurangnya kekompakan tim, menurut dia, menjadi masalah utama selama 10 tahun ini.
Untungnya, Kroasia kini dihuni banyak pemain bertalenta yang memiliki nama besar di Eropa, seperti Luka Modric (Real Madrid), Mario Mandzukic (Juventus), dan Ivan Rakitic (Barcelona). Dalic pun tinggal menyatukan mereka menjadi sebuah tim. Tidak ada lagi pahlawan tunggal di skuad.
Cara Dalic menyatukan tim juga sangat sederhana, yaitu cukup dengan menghargai suara para pemain. Sebagai pelatih dan pengambil keputusan terakhir, Dalic selalu meminta pendapat para pemain sebelum mengambil keputusan.
”Kami berada di final Piala Dunia, itu semua berkat peran pelatih (Dalic) selama ini. Dia selalu membuat kami tenang dan kami senang ketika bersamanya,” kata Modric. Pengatur permainan Real Madrid itu pun mengaku sangat rileks saat ini dan siap bersenang-senang di lapangan, seperti yang sudah diperintahkan sang pelatih.