Martinus Yesaya (40) menunjukkan sebuah bambu di tangan kanannya. Di dalamnya terdapat sejumlah serbuk warna hitam. ”Ini garam hitam dari pegunungan dekat Suroba. Saya ambil airnya, lalu suling sendiri,” ucapnya menyambut kedatangan kami di Kampung Suroba, Kabupaten Jayawijaya, Papua, medio Maret 2018.
Setiap tamu yang bertandang ke kampung adat itu selalu disuguhi beragam makanan. Sebagian besar diolah sederhana dengan cara dibakar. Nyaris tanpa bumbu dan penyedap rasa. Namun, beberapa jenis yang berpadu masakan modern mulai dibubuhi garam. Garam hitam dari pegunungan itulah yang dibubuhkan Martinus. ”Walau masakannya modern, bahan-bahannya tetap alami,” ujar Martinus, lelaki asal Lembah Baliem.
Memasak adalah salah satu kegemaran Martinus. Ia merupakan salah satu penggerak Papua Jungle Chef, sebuah komunitas pengolah kuliner tradisional Papua. Garam hitam kini telah masuk ke daftar bahan alam asli Papua yang dianggap istimewa. Bahan itu juga menjadi nilai tambah bagi wisatawan yang berkunjung ke kampung adat Suroba.
Kuliner tradisional akhirnya menjadi magnet yang menambah daya tarik bagi wisatawan ke Suroba. Sebelumnya, wisatawan sering kecewa karena tak dapat mencicipi masakan lokal. Keindahan alam dan keistimewaan kuliner kini menjadi paket lengkap berwisata di Suroba.
Namun, kuliner bukan satu-satunya daya tarik kampung tersebut. Peneliti arsitektur tradisional Yori Antar yang pernah singgah ke Suroba tak hanya kagum akan keindahan alam perbukitan di tengah Lembah Baliem itu. Ia juga takjub menyaksikan rumah-rumah adat honai yang masih tegak berdiri.
Kampung wisata Suroba sudah ada sejak 1961 setelah namanya dipopulerkan antropolog Amerika Serikat bernama Richard Archbold. Saat itu, Richard mengadakan ekspedisi Shangrila, menjelajahi kehidupan suku Dani di Lembah Baliem. Dokumentasi mengenai suku Dani itu dibuat dalam film berjudul Dead Birds karya Robert Gardner dan Karl Heider serta buku bergambar Gardens or War. Selain itu juga diulas lebih mendalam oleh Peter Matthiessen dalam buku Under the Mountain Wall. Karya- karya itu harus diakui memanggungkan nama Lembah Baliem.
Terbiasa dengan kehadiran orang asing bisa jadi membuat masyarakat tradisional setempat lebih terbuka. Walau desa wisata dikembangkan, kearifan lokal tetap terjaga. Yori pun membantu pembangunan honai-honai baru yang dijadikan sebagai tempat penginapan.
Tak seperti tinggal dalam hotel mewah yang modern, rumah-rumah inap itu sungguh tradisional. Bangunan disusun dari kayu yang disusun melingkar dengan beratap jerami kering. Bagian dalam rumah beralas tanah. Tetapi, bagi wisatawan minat khusus, menginap di dalam honai tentu terasa eksotis.
Bukit berbatu
Suroba diambil dari nama sebuah bukit berbatu di tengah-tengah Lembah Baliem. Jaraknya cukup dekat dari kota Wamena, hanya satu jam jalur darat dari ibu kota Kabupaten Jayawijaya tersebut.
Masyarakat setempat merupakan salah satu kelompok besar suku Dani yang bermukim di sebelah bukit terbesar. Pada mulanya, mereka hidup berpindah. Cara hidup nomaden bertujuan agar masyarakat dan ternak dapat terus hidup dengan sumber pangan berkecukupan dan tidak mudah diincar musuh. Salah satu syarat memilih tempat hunian baru harus sudah pernah didiami warga lain.
Pada masa lalu, leluhur (teteh) mereka sering berperang dengan musuh di seberang bukit Suroba. Menara Kayou jadi buktinya. Menara tersebut merupakan tempat mengintai musuh dari kejauhan. Seiring dengan perkembangan zaman, perang kian jarang sehingga mereka memutuskan hidup menetap. Warga membangun rumah adat atau silimo pertama yang disebut Silimo Bithnean, sebagai satu-satunya silimo adat di Suroba.
Puah Himan, kepala suku pertama Suroba, dengan saudara laki-lakinya bernama Siba Himan, pindah ke Suroba pada 1965. Saat pariwisata Wamena mulai berkembang, Suroba kerap disinggahi turis asing.
Ketua Komunitas Pemandu Wisata Papua Andre Liem, yang sejak 1968 bertualang sekaligus mengantar tamu asing berkunjung, mengatakan terpesona kala pertama kali menginjakkan kakinya di Suroba pada 1975. Dia bersama kalangan pengusaha seperti Alex Sandra, pemilik Hotel Baliem Pilamo di Wamena, serta pegiat budaya dan pariwisata lainnya bergabung membangun pondok wisata yang terdiri atas 9 honai, rumah tradisional Papua. Mereka juga membangun dapur dan bangunan khusus untuk berkumpul. Pembangunan tersebut mengikuti adat dan arsitektur lokal. Honai-honai tersebut menjadi tempat inap wisatawan.
Suroba terus dipercantik. Salah satunya dengan mendirikan lagi Menara Kayou. Bukan lagi untuk mengintai musuh, melainkan sebagai monumen peradaban masyarakat.
Di Suroba, wisatawan tak semata menumpang rehat, tetapi juga bisa mempelajari kearifan lokal dan budaya setempat. Di antaranya melihat langsung proses pembuatan pakaian pria, yakni koteka yang diolah dari tanaman holim. Banyak pula kerajinan tangan yang menarik diikuti, mulai dari membuat noken, aksesori gelang, hingga cincin dari tanaman rambat lokal.
Kehidupan masyarakat Suroba relatif sangat tradisional. Bahkan, dulu, mereka membuat api dengan kayu dan benang noken. Benang noken digesekkan berulang dengan batang kayu yang diletakkan pada rerumputan kering. Setelah berasap, rumput diangkat dan ditiup-tiup hingga muncul api. Ketika api cukup besar, baru dipindahkan ke dalam tungku.
Menjelang waktu istirahat, kaum pria tidur dalam pilamo, sedangkan wanita tidur di dalam uma, honai yang berukuran lebih kecil. Uma dibuatkan para suami. Ada kebiasaan, tidur selalu menghadap tungku. Tujuannya agar badan tetap hangat sepanjang malam.
Meski telah lama mendunia, lokalitas Suroba tak luntur. Saat masyarakat lentur menghadapi dinamika zaman dan modernitas, tradisi tetap dibentengi sebagai napas hidup warga. Hal itulah yang menjadi keistimewaan sekaligus batu penjuru peradaban Kampung Suroba.