Kelimutu yang Terus Berubah
Danau Kelimutu yang merupakan kawah Gunung Kelimutu menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik karena warna airnya yang terus berubah tanpa bisa diduga. Terletak sekitar 65 kilometer dari Kota Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tiga kawah dengan warna air yang berbeda-beda, membuat danau ini disebut sebagai Danau "Triwarna" Kelimutu.
Meskipun biasanya tiga kawah Kelimutu menyuguhkan tiga warna air yang berbeda, tetapi dalam perjalanannya selama ini ada masa air ketiga kawah tersebut serupa. Uniknya, walaupun warna air ketiga kawah itu hijau, tetapi tetap dengan gradasi warna hijau yang berbeda-beda. Bahkan pernah terjadi, salah satu kawah Kelimutu menampilkan dua warna, sehingga air di ketiga kawah itu menjadi empat warna.
Biasanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga kawah Kelimutu menyeluruh pada masing-masing kawah.
Harian Kompas, 25 Juli 1992 mencatat, sebelumnya warna air ketiga kawah Kelimutu itu hijau, biru dan coklat. Akan tetapi pada 18 Juni 1992 salah satu kawah itu airnya berubah warna menjadi hijau-merah. Perbedaan warna air itu seakan membelah air dalam satu kawah. Setelah tiga hari, warna airnya baru kembali hijau seperti semula.
Biasanya perubahan warna air yang terjadi pada ketiga kawah Kelimutu menyeluruh pada masing-masing kawah. Oleh karena itulah, perubahan warna sebagian air di salah satu kawah Kelimutu tersebut, dicatat sebagai yang pertama kali terjadi.
Danau Kelimutu terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Walaupun terletak di puncak Gunung Kelimutu, jangan dibayangkan Anda harus berjalan mendaki selama berjam-jam untuk menikmati keindahan Kelimutu.
Dari tempat parkir kendaraan, Anda hanya perlu berjalan sekitar satu kilometer melewati jalan setapak dan tangga-tangga yang sudah disemen dengan rapi. Di sisi tangga-tangga itu tersedia rel panjang untuk pengunjung yang memerlukan pegangan tangan.
Perjalanan dari tempat parkir kendaraan ke Danau Kelimutu sekitar 30 menit. Biasanya turis berusaha mencapai Danau Kelimutu sebelum matahari terbit untuk melihat keindahan alam yang maksimal. Pada saat inilah keindahan warna air di ketiga kawah terlihat jelas. Setelah sekitar pukul 08.00-09.00 kabut tebal mulai turun dan ketiga kawah itu bisa tak terlihat lagi.
Kawasan Kelimutu seluas 5.365 hektar dinyatakan sebagai Taman Nasional Kelimutu sejak 26 Februari 1992. Kelimutu merupakan gabungan kata “keli” yang berarti gunung dan “mutu” yang artinya mendidih. Kawasan taman nasional ini secara administratif berada dalam wilayah lima kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona dan Kecamatan Detusoko.
Gemuruh
Sebagai gunung api, Kelimutu beberapa kali bergejolak. Kompas, 16 Oktober 1968 memberitakan, selama beberapa hari Gunung Kelimutu mengeluarkan suara gemuruh. Danau tiga warna pun mengalami perubahan. Danau yang airnya berwarna merah mengeluarkan uap gas, danau yang semula airnya berwarna putih menjadi hijau lumut. Sedangkan danau yang airnya berwarna hijau berubah menjadi putih kecoklatan.
Air pada ketiga danau itu mengeluarkan letupan-letupan dan permukaannya turun sekitar satu meter. Aktivitas Gunung Kelimutu membuat Jawatan Vulkanologi setempat mengeluarkan anjuran agar warga dan turis tidak berada di sekitarnya.
Tahun 1983 letupan-letupan kecil dan bau belerang yang menyengat muncul dari Danau Kelimutu. Namun gejala tersebut tak sampai mengubah warna air danau. Mengutip laporan Direktorat Geologi Bandung, Kompas, 20 Juli 1983 menulis, tahun 1958 terjadi letusan dalam air yang mengakibatkan air danau menyemprot sampai setinggi sekitar 10 meter.
Gejolak Danau Kelimutu diyakini berhubungan dengan letusan Gunung Iya yang terletak di sebelah barat Kota Ende. Akibatnya, salah satu danau yang semula airnya berwarna putih berubah menjadi merah kehitaman. Selain itu terjadi pula retakan besar di beberapa bagian daratan yang mengelilingi danau.
Gempa dahsyat tahun 1992 yang utamanya menerjang Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende turut memengaruhi kondisi Kelimutu. Sebagian dari sekitar 300 anak tangga menuju puncak Kelimutu hancur dan retak, sebagian pagar keliling danau pun runtuh tergerus longsor, dan pada bagian tanah lainnya mulai goyah.
Sampai tahun 1970-an, sekat di antara kawah-kawah itu relatif masih lebar karena bisa dilalui manusia dan hewan seperti kerbau, sapi dan kuda. Namun pada 1990-an sekat itu lebarnya tinggal sekitar dua meter dengan kemiringan tajam yang tak mungkin lagi dilalui orang.
Tahun 1997 secara perlahan permukaan air danau menyusut hingga sekitar 20 meter. Selain itu, kepulan asap yang semakin hari semakin tebal muncul dari salah satu kawah, yakni Tiwu Nuauri-koafai, disertai letupan-letupan pada permukaannya seperti air yang mendidih. Pendakian ke Gunung Kelimutu kembali ditutup pada Juni 2013 karena gunung ini menunjukkan aktivitas yang bisa membahayakan.
Tempat roh
Masyarakat setempat memberi nama untuk masing-masing danau atau tiwu di Kelimutu, yakni Tiwu Atapolo (Ata Polo), Tiwu Faifai Nuwamuri (Ata Faih, Nuauri-koafai, Nua Muri Koo Fai), dan Tiwu Ata Bupu (Atambupu, Ata Mbupu). Tiwu Atapolo dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh kaum suanggi atau manusia berdosa. Sedangkan Tiwu Faifai Nuwamuri menjadi tempat tinggal arwah orang-orang muda yang menjadi sumber kegembiraan dalam hidupnya, dan Tiwu Ata Bupu untuk arwah orang-orang tua yang berhati lurus dalam kehidupannya.
Ada yang menyebut, Danau Kelimutu pertama kali ditemukan tahun 1915 oleh geolog Le Roux dan Van Suchtelen. Namun kalangan orang tua di Flores, terutama di Kabupaten Ende, kurang senang dengan klaim tersebut.
Menurut mereka, Kelimutu sudah menjadi mitos yang dikisahkan secara turun-temurun sejak lama, sebelum tahun 1915. Bagi masyarakat setempat, kawasan Kelimutu dinilai sakral dan keramat. Mereka tidak berani berbicara maupun berbuat sembarangan di kawasan ini. Bila hal itu dilanggar, diri sendiri atau keluarga akan celaka, menderita sakit yang sulit disembuhkan, bahkan bisa meninggal dunia.
Namun mereka mengakui, kemungkinan yang mencatat, menuliskan, dan menyebarkan keberadaan Kelimutu secara terinci adalah Le Roux dan Van Suchtelen, pegawai Pemerintah Hindia-Belanda (Kompas, 20 Juni 1994).
Sumber lain menyebutkan, keindahan Kelimutu mulai menyebar luas setelah Romo Y Bouman melukiskannya lewat tulisan yang dibuat pada 1929. Sejak Bouman menuliskan keindahan Kelimutu, orang-orang asing mulai datang ke danau tersebut.
Salah satu tumbuhan endemik di Kelimutu adalah arngoni (Vaccinium varingiaefolium) yang diyakini para mosalaki pu’u (tetua adat) sebagai makanan para dewa dan arwah leluhur di Danau Kelimutu. Oleh karena itulah, mereka berhati-hati ketika menyentuh buah arngoni.
Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan upacara adat memberi makan arwah leluhur, menolak bala sekaligus memberi kesejahteraan masyarakat yang disebut Pati Ka Ata Mata. Di sini sembilan mosalaki mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional membawa sesaji berupa nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang dan kapur. Upacara ini diikuti semua komunitas adat di kawasan Lio.
Warna yang berganti
Tahun 1972 air di Tiwu Atapolo berwarna merah, Tiwu Faifai Nuwamuri berwarna hijau muda, dan Tiwu Ata Bupu berwarna hitam. Sebelumnya, Tiwu Atapolo airnya berwarna merah tua, Tiwu Faifai Nuwamuri berwarna hijau tua, dan Tiwu Ata Bupu berwarna putih susu.
Tahun 1984 ketika Pangeran Bernhard dari Belanda mengunjungi Kelimutu, warna air di danau ini baru berubah.
Warna air di ketiga danau itu kembali berubah. Catatan Kompas, 29 Juli 1979 menunjukkan, ketiga danau itu masing-masing berwarna merah, putih dan biru. Pada 1980 warnanya berubah menjadi merah, hijau muda dan coklat tua. Tahun 1983 warna airnya menjadi merah, hijau, dan putih.
Tahun 1984 ketika Pangeran Bernhard dari Belanda mengunjungi Kelimutu, warna air di danau ini baru berubah. Dari semula berwarna merah, putih dan biru, menjadi kehitaman, kehijauan dan biru. Pernah pula warna air danau ini hanya dua, yakni hijau dan biru (Kompas, 27 Oktober 1984). Lalu, pada 1988 warna airnya berubah lagi menjadi merah, putih dan hijau.
Namun pada 1992 warna air Kelimutu berubah menjadi empat warna, karena salah satu kawahnya menyuguhkan air dengan dua warna. Kalau semula warna air danau ini hijau, biru dan coklat, pada Juni 1992 berubah menjadi hijau-merah, biru dan coklat.
Pada Juni 1997 warna air di dua kawah sama yakni cokelat kehitaman, sedangkan satu kawah lagi tak tampak warna airnya karena tertutup asap tebal terus-menerus. Bulan Oktober 2005 warna air Danau Kelimutu menjadi dua, yakni cokelat pada dua danau, dan hijau pada danau lainnya.
Meskipun dinamakan Danau Triwarna Kelimutu, tetapi adakalanya air danau tidak berupa tiga warna. Pada 2009 misalnya, ketiga danau itu seragam warnanya hijau muda. Kondisi ini mirip dengan warna danau pada April 1996 yang airnya ketika itu berwarna hijau, hijau muda dan hijau tua.
Pada Juli 2010 warna air hijau muncul di kawah Ata Polo, di Nua Muri Koo Fai berwarna hijau muda kebiruan, dan Ata Mbupu berwarna hijau lumut. Warna air berubah lagi menjadi hijau toska, hijau muda keputihan dan hijau kehitaman pada Agustus 2012.
Tahun 2015, warna air Kelimutu berubah lagi menjadi merah, putih dan hijau. Sampai sekarang tak bisa dipastikan rentang waktu maupun kapan perubahan warna air Kelimutu terjadi. Dari pengamatan selama ini, setidaknya dalam setahun perubahan warna air danau terjadi 1-3 kali.
Bahan penelitian
Perubahan warna air di Danau Kelimutu sejak lama membuat orang penasaran. Mengutip catatan pada pos pengawas tahun 1983, Kompas, 20 Juli 1983 menulis, penelitian terhadap perubahan warna air pernah dilakukan Kemmerling, ahli gunung Belanda, pada 1929. Menurut dia, perubahan warna seiring perubahan suhu permukaan kawah dan jenis ganggang di dasar masing-masing kawah.
Sedangkan Direktorat Geologi di Bandung pada 1983 memperkirakan isi danau sekitar 1.292.000 meter kubik air. Kawah Atambupu airnya baru berubah dari biru menjadi merah dengan kedalaman 67 meter. Kawah Ata Polo berubah warna airnya dari merah menjadi hijau dengan kedalaman 64 meter, dan Kawah Ata Faih yang airnya berwarna putih memiliki kedalaman air 127 meter.
Kalangan lain menyebutkan, perubahan warna air Kelimutu karena adanya aktivitas gunung, pembiasan sinar matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimia terlarut, dan akibat pantulan warna dinding serta dasar danau.
Sedangkan dari hasil konsultasi Balai Taman Nasional (BTN) Kelimutu kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI tahun 2006 menunjukkan, perubahan dimungkinkan karena komposisi kimia air kawah akibat perubahan gas-gas gunung api, atau karena meningkatnya suhu. Tentang warna, meningkatnya konsentrasi besi (Fe) dalam fluida misalnya, bisa mengakibatkan warna merah hingga kehitaman. Sedang warna hijau lumut bisa berasal dari biota jenis lumut tertentu.
Taman Nasional Kelimutu juga menyimpan flora yang khas, seperti sejenis perdu yang dalam bahasa setempat, Ende Lio, disebut utaonga (Begonia kelimutuensis), arngoni (Vaccinium varingiaefolium) dan turuwara (Rhododendron renschianum). Tanaman turuwara dibudidayakan karena menjadi pakan bagi burung dan monyet yang hidup di kawasan itu.
Mengutip hasil inventarisasi BTN Kelimutu dan LIPI tahun 2007, Kompas 21 Maret 2011 antara lain mencatat, ada 78 jenis pohon yang berkelompok dalam 36 suku. Terdapat pula dua jenis flora yang diperkirakan langka, yakni jita atau pulai (Alstonia scholaris) dan upe atau ketimun (Timonius timon).
Sedangkan fauna khas Kelimutu antara lain burung garugiwa (Pachycephala nudigula). Burung berkepala hitam, dengan badang, sayap dan ekor berwarna hijau kekuningan ini berkicau hanya sekitar pukul 06.00 - 10.00. Di sini setidaknya terdapat 14 jenis mamalia, empat jenis ular, kadal dan dua jenis moluska.
Burung garugiwa disebut juga burung arwah karena orang hanya bisa mendengar kicauannya pada waktu-waktu tertentu. Untuk melihat langsung garugiwa juga tak mudah, karena pepohonan yang rimbun di kawasan taman nasional ini berhasil menyembunyikan sosok sang burung yang panjangnya sekitar 19,5 sentimeter.
Kompas, 23 Juni 2008 memberitakan, Taman Nasional Kelimutu kemudian dibagi dalam empat zonasi, yakni zona intensif (96,5 hektar) dan zona inti (350,5 hektar) di sekitar danau, zona rimba seluas 4.351 hektar, dan zona rehabilitasi seluas 558,5 hektar. Hal itu dilakukan untuk memaksimalkan fungsi Kelimutu untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, tempat budidaya serta wisata alam.
Bertambah
Dari tahun ke tahun pengunjung Kelimutu terus bertambah. Pada 1983 selama bulan Juli saja sekitar 600 orang. Selama tahun 1989 jumlah pengunjung tercatat sekitar 6.000 orang, pada 1990 menjadi 8.000 orang, dan tahun 1991 naik menjadi lebih dari 12.000 orang. Pada 1992 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 20.000 orang.
Untuk memudahkan pengunjung, empat pondok wisata mulai dibangun di Moni pada 1988. Kampung Moni di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende terletak di kaki Gunung Kelimutu. Jaraknya dari puncak Kelimutu sekitar 12 kilometer. Dengan adanya pondok wisata, pengunjung bisa datang sehari sebelumnya dan menginap di Moni. Keesokan paginya, sekitar pukul 04.00 mereka bisa mulai berjalan ke Danau Kelimutu.
Berawal dari empat penginapan, pada 2002 jumlah penginapan di Kampung Moni yang berhawa sejuk itu sudah berkembang menjadi 20 tempat dengan kapasitas sekitar 100 tempat tidur. Tahun 2009-2010 jumlah wisatawan tercatat sekitar 9.000 orang, dan menjadi 12.000-15.000 orang pada 2011-2012. Tahun 2014 pengunjung Kelimutu tercatat 52.457 orang, dan 2015 naik menjadi 62.957 orang.
Peningkatan jumlah pengunjung Danau Kelimutu memengaruhi pendapatan pemerintah. Tahun 1991 misalnya, dari hasil penjualan karcis masuk Kelimutu, pemerintah mendapat pemasukan sekitar Rp 7 juta, dan 1992 jumlah pemasukan itu naik menjadi sekitar Rp 9 juta. Tahun 2012 penerimaan dari Kelimutu sebesar Rp 800 juta, dan 2015 menjadi Rp 2,4 miliar.
Sayangnya, pertambahan pengunjung itu tak diikuti dengan pembangunan sarana yang memadai, seperti toilet, lokasi istirahat dan tempat sampah. Di sisi lain, warga setempat merasakan manfaat Kelimutu. Tahun 2013 misalnya, sekitar 30 orang menjadi pemandu wisata lokal, 45 orang menjadi ojek wisata dari Moni ke Kelimutu, dan 26 orang berdagang.
Gangguan manusia
Keindahan Kelimutu rupanya tak lepas dari gangguan manusia. Kompas, 18 Juli 1983 memberitakan, “diam-diam” 193 kepala keluarga (KK) telah menghuni kawasan seluas 5.356,5 hektar yang dinyatakan tertutup untuk pemukiman penduduk ini. Padahal kawasan itu tengah diusulkan menjadi Taman Nasional untuk obyek wisata sekaligus pelestarian lingkungan.
Dari jumlah tersebut, 175 KK di antaranya pendatang yang menyerobot masuk kawasan Kelimutu. Mereka membuka kebun ladang dan pemukiman baru di area seluas sekitar 200-300 hektar. Ladang itu hampir mencapai puncak Kelimutu. Bahkan camat setempat juga membuka kebun kopi di kawasan ini.
Di sisi lain, warga asli sudah memahami pentingnya menjaga lingkungan Kelimutu untuk keberlangsungan kehidupan anak-cucu. Mereka pun sepakat rencana pembangunan SD Inpres dan pengaspalan sebagian jalan menuju Danau Kelimutu dibatalkan.
Semakin hari, Kelimutu semakin menarik lebih banyak orang. Tahun 1993 mulai diberlakukan pelarangan kendaraan bermotor mencapai puncak Kelimutu. Larangan ini diberlakukan, karena goncangan yang diakibatkan kendaraan-kendaraan tersebut dikhawatirkan bisa memperparah kondisi tebing dan tanah di sekeliling kawah menjadi semakin labil.
Sebelumnya, pada 12 Desember 1992 terjadi gempa berkekuatan 7,5 skala Richter yang diikuti gelombang pasang dan menerjang sampai sejauh 300 meter ke daratan. Bencana yang menewaskan sedikitnya 90 orang itu, terutama menimpa Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende. Gempa ini diyakini memengaruhi kondisi kawasan Kelimutu.
Dengan segala keterbatasan sarananya, Anda tak perlu khawatir kelelahan dan kesepian untuk mencapai puncak Kelimutu.
Untuk itu, sekitar dua kilometer sebelum puncak Kelimutu, disediakan lokasi untuk parkir kendaraan. Pengunjung harus meneruskan perjalanannya ke puncak Kelimutu dengan berjalan kaki. Tahun 2011 sempat pula muncul rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di kawasan ini, yang batal terwujud.
Dengan segala keterbatasan sarananya, Anda tak perlu khawatir kelelahan dan kesepian untuk mencapai puncak Kelimutu. Selama berjalan di jalan setapak menuju Danau Kelimutu, Anda ditemani hawa sejuk, desahan pepohonan, dan kicauan burung garugiwa. Saat menapaki anak-anak tangga, monyet-monyet yang bergelantungan mengharapkan makanan dan perhatian orang yang melintas.
Selain itu, di beberapa tempat “tersampir” kain-kain tenun dengan desain khas dari berbagai daerah di NTT yang bisa dibeli sebagai cenderamata atau menambah koleksi Anda. Sementara penjual kopi dan teh panas sampai mie instan pun dengan mudah bisa dijumpai sejak dari tempat parkir hingga di puncak Kelimutu. (Sumber: Kompas, 16 Oktober 1968 - 1 April 2016)