Yulvianus Harjono & Herpin Dewanto dari Moskwa, Rusia
·3 menit baca
Perayaan Hari Bastille disempurnakan oleh tim nasional Perancis dengan kemenangan 4-2 atas Kroasia di final Piala Dunia 2018. Ini kemenangan generasi muda atas para kesatria yang matang tertempa pengalaman.
MOSKWA, MINGGU Perancis berpesta, seiring kapten ”Les Bleus” Hugo Lloris dan kawan-kawan mengangkat trofi Piala Dunia di Stadion Luzhniki, Moskwa, Rusia, Minggu (15/7/2018). Para pemain melepaskan euforia yang sempat dilarang untuk dilepaskan oleh Pelatih Didier Deschamps menjelang final.
Perancis yang mampu lepas dari tekanan Kroasia di menit-menit awal laga mengangkat trofi berkat gol bunuh diri penyerang Kroasia Mario Mandzukic pada menit ke-18, disusul tendangan penalti Antoine Griezmann pada menit ke-38, tendangan gelandang Paul Pogba pada menit ke-59, dan sepakan penyerang muda Kylian Mbappe pada menit ke-65.
Dua gol Kroasia dicetak oleh Ivan Perisic dan Mandzukic, yang memanfaatkan blunder Lloris.
Seusai laga, suporter Perancis bernyanyi dan menari merayakan gelar juara Les Bleus di Stadion Luzhniki. Penantian 20 tahun terbayar lunas di Moskwa. Inilah buah semangat kebersamaan di atas ego individu seperti diungkapkan Griezmann sebelum final, ”Kalau saya menjadi top scorer, sepertinya tim ini justru akan kalah. Kebersamaan adalah hal terpenting.”
Dengan kesuksesan ini, Deschamps menjadi orang ketiga setelah Mario Zagallo dan Franz Beckenbauer yang mengangkat trofi Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih. Deschamps adalah kapten Perancis saat juara 1998 yang mengalahkan Brasil 3-0. Kini, kemenangan 4-2 atas Kroasia menjadi kemenangan final terbesar setelah Brasil menekuk Swedia 5-2 pada final 1958. Di Rusia pemain terbaik diraih Luka Modric dan pemain muda terbaik diraih Mbappe.
”Kami telah mempersiapkan diri dengan baik,” kata Deschamps. Persiapan itu salah satunya melarang para pemain untuk tidak larut dalam euforia setelah meraih tiket final. Dia ingin menghindari kesalahan di final Piala Eropa 2016, saat kalah 0-1 dari Portugal karena terlena dengan status favorit juara.
Bagi Kroasia, kekalahan di final ini membuka luka lama skuad dua dekade silam. Pada Piala Dunia 1998, Kroasia juga tampil impresif dan finis ketiga. Kini, mereka pun tampil impresif dengan dirigen Luka Modric. Performa di Rusia akan tetap dikenang, terutama mental mereka yang sangat kuat.
Kroasia memang bukan tim yang diunggulkan di Rusia 2018. Mereka tertatih untuk sampai di Rusia. Langkah mereka terusik oleh skandal korupsi pengurus federasi sepak bola yang terjerat hukum, tuduhan kesaksian palsu pada Modric dan Dejan Lovren, serta pemecatan pelatih.
Namun, meminjam istilah Pelatih Inggris Gareth Southgate, skuad Kroasia adalah ”para kesatria yang tertempa”. Tekad mereka sangat kuat, bahu-membahu menyelamatkan sekoci Vatreni dari eliminasi. Tiga laga hidup mati sejak babak 16 besar dijalani hingga perpanjangan waktu, dua di antaranya melalui adu penalti. Daya juang menjaga pelita asa, seperti perjuangan hidup di medan perang. Ya, sebagian pemain Kroasia ditempa kerasnya kehidupan saat Kroasia didera Perang Kemerdekaan, 1991-1995.
Militansi itu menjadi karakter skuad asuhan Zlatko Dalic itu. Mereka disatukan oleh rasa senasib hingga membuat para pemain yang kadang dijadikan ”kambing hitam” atas kekalahan klubnya berubah menjadi pemain pilar, seperti Domagoj Vida dan Lovren. Namun, para kesatria yang tertempa pengalaman itu harus mengakui kehebatan para seniman sepak bola Perancis yang masih belia.