Luar Batang, Tempat Permukiman Orang Jawa Pada Abad ke-18
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, merupakan kawasan yang terkenal dengan Masjid Kuno Al Idrus dan makam keramat Habib Hussein bin Abubakar Alaydrus. Namun, banyak sisi lain kehidupan masyarakat di sana yang luput dari perhatian banyak orang.
Banyak hal menarik seputar kampung tersebut yang terungkap dalam bincang-bincang cerita sejarah seputar kampung Luar Batang di Pasar Seni Ancol, Jakarta Utara, Minggu (15/7/2018).
Candrian Attahiyyat, Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta mengatakan, kawasan Luar Batang tidak pernah disebut sebagai perkampungan. Berdasarkan penelusuran dari peta-peta Jakarta masa lampau, kata “kampung” tidak pernah disematkan pada area Luar Batang.
“Kalau kampung Cina sekarang dikenal sebagai Glodok, kampung Melayu dan lainnya ada di peta. Tapi kampung Luar Batang tidak ada, hanya Luar Batang,” ucap Candrian.
Menurut Candrian, Luar Batang merupakan tempat permukiman orang-orang Jawa yang bekerja di pesisir utara Jakarta pada tahun 1700-an. Dia menjelaskan tidak tahu secara pasti orang Jawa dari daerah mana yang bermukim di sana pada awalnya. “Jawa Cirebon atau Jawa dari tempat lain tidak pasti. Intinya orang Jawa yang bekerja di pesisir,” kata Candrian.
Luar Batang merupakan tempat permukiman orang-orang Jawa yang bekerja di pesisir utara Jakarta pada tahun 1700-an.
Berdasarkan penelusuran dari arsip Kompas dan literatur, Luar Batang merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta yang mulai berkembang tahun 1730-an, ketika VOC/Belanda mengambil alih kekuasaan di utara Batavia.
VOC kemudian mendirikan perkampungan tempat tinggal buruh yang dipekerjakan di muara sungai Ciliwung, untuk mengeruk lumpur yang membuat muara semakin dangkal. VOC juga mendirikan pos pemeriksaan kapal dengan menempatkan batang kayu sebagai penghalang di muara sungai Ciliwung.
Arus urbanisasi
Terjadi fenomena perpindahan penduduk ke kampung Luar Batang setiap kali peralihan pemerintahan. Pada masa pasca-kemerdekaan, orang-orang Sulawesi mulai masuk ke kampung Luar Batang. Pada tahun 1965-1968 ketika terjadi peralihan Orde Lama ke Orde Baru, lahan kosong yang ada dipetak-petakkan oleh orang yang datang dan ingin tinggal di tempat ini.
“Saat beralih ke reformasi, sepanjang kali Pakin dipasang tali untuk orang bangun rumah tinggal. Jadilah kampung Luar Batang multietnik, tidak hanya jawa, betawi, dan sulawesi. Ada juga daerah lain,” ujar Candrian.
Rata-rata penduduk yang tinggal di tempat ini merupakan kelas ekonomi menengah ke bawah. Namun, ketika menelusuri kampung ini, terdapat rumah-rumah bertingkat yang mewah. Bahkan kendaraan pribadi roda empat berjejer rapi di dalam gang-gang.
Mansur Amin, tokoh masyarakat Luar Batang menjelaskan bahwa di kampung Luar Batang banyak juga orang-orang dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas. “Banyak juragan di kampung Luar Batang. Banyak usaha seperti indekos, pedagang besar dan lainnya. Kebanyakan usahanya ada di tempat lain,” ucap Mansur.
Kantong politik
Mansur Amin mengatakan banyak pejabat yang sering datang ke kampung tersebut. Selain untuk berziarah, mereka datang untuk menambah dukungan suara baik untuk pemilihan umum maupun pemilihan legislatif.
“Pejabat banyak yang sowan ke kampung Luar Batang. Mereka mencari dukungan untuk menambah suara. Kampung ini punya basis suara yang kuat,” ujar Amin. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)