Memecah Kebuntuan Politik
Kurang dari sebulan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, penjajakan koalisi gencar dilakukan. Namun, hingga kini belum ada koalisi pasti yang menghasilkan pasangan calon penantang petahana. Meski demikian, publik yakin parpol mampu menghasilkan jalan keluar, memecah kebuntuan, dan menghadirkan calon yang ideal.
Lobi-lobi politik menjelang pendaftaran Pemilihan Presiden 2019 tampak makin gencar dilakukan, tidak hanya oleh elite parpol, tetapi juga organisasi masyarakat. Lihat saja, pada 10 Juli, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Pada hari yang sama, Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mengunjungi Presiden Joko Widodo terkait usulan nama calon wakil presiden.
Sebelumnya, Jusuf Kalla juga menemui Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan alasan silaturahim setelah Idul Fitri 1439 Hijriah. Tidak hanya itu, pertemuan tertutup dilakukan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sebelum pilkada, 27 Juni lalu.
Pendaftaran pasangan capres dan cawapres akan dibuka pada 4-10 Agustus mendatang. Akan tetapi, koalisi antarparpol masih sangat cair, bisa menghasilkan berbagai kemungkinan baru atau malah kebuntuan. Di pihak petahana, enam parpol sudah menyatakan mengusung Jokowi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan bergabungnya PKB yang secara resmi menyatakan dukungan pada 14 Juli 2018, koalisi pendukung Jokowi ini memiliki 337 dari 560 atau 60,18 persen kursi legislatif.
Di sisi lain, Partai Gerindra yang solid mengusung Prabowo bersama mitra dekatnya, Partai Keadilan Sejahtera, terus menjajaki nama cawapres. PAN disebut merapat ke koalisi pendukung Prabowo. Sementara Demokrat belum menentukan sikap di tengah pembentukan koalisi yang dinamis ini.
Sampai saat ini, pihak petahana belum mengeluarkan nama cawapres yang akan mendampingi. Adapun di pihak penantang, baru Partai Gerindra yang tegas mengusung Prabowo sebagai capres. Meski terkesan saling menunggu, hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, lebih dari separuh (62,6 persen) responden yakin bahwa dalam waktu kurang dari sebulan ini koalisi parpol akan mampu menghadirkan capres yang ideal.
Masa-masa penantian merancang strategi ini tidak luput dari perhatian masyarakat. Pendapat publik cenderung terbagi antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan wacana yang berkembang bahwa petahana kesulitan mencari sosok cawapres. Jokowi disebut tengah menjajaki lima nama yang akan menjadi pendampingnya dan akan dikomunikasikan kepada parpol pendukung (Kompas, 12/7/2018).
Keraguan terhadap penantang tampak lebih besar. Sebanyak 56,9 persen responden menilai penantang sulit mencari sosok yang mampu menandingi petahana. Pada Mei lalu, Gerindra telah mengadakan survei internal terhadap 13 nama elite partai dan nonpartai yang berpotensi menjadi cawapres Prabowo. Sembilan di antaranya adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Akan tetapi, hingga kini nama yang dipilih tak kunjung muncul.
Lebih dari separuh (62,6 persen) responden yakin bahwa dalam waktu kurang dari sebulan ini koalisi parpol akan mampu menghadirkan capres yang ideal
Jalan keluar
Sejumlah skenario sempat muncul di tengah kebuntuan ini. Terlebih, rivalitas politik juga telah diikuti oleh terbelahnya masyarakat ke dalam dua sisi diametrikal yang sangat tajam. Ketegangan antara kubu pendukung Jokowi dan Prabowo yang telah berlangsung sejak Pilpres 2014 sempat memunculkan wacana mempersatukan mereka dalam satu paket pasangan calon. Namun, menghadirkan opsi tersebut tidak mudah. Sejauh ini, publik (56,6 persen responden) jajak pendapat Litbang Kompas cenderung menolak pilihan ini, terutama pemilih PDI-P.
Publik justru berharap muncul lebih dari dua calon dalam pilpres nanti sehingga terdapat poros lain di luar dua kubu yang sudah mengeras dukungannya. Poros ketiga ini diharapkan dapat menghadirkan sosok presiden alternatif yang mampu mengimbangi arus dukungan terhadap Jokowi dan Prabowo. Pembentukan poros ketiga dimungkinkan terjadi jika melihat komposisi perolehan partai saat ini.
Kebuntuan politik, jika berlanjut hingga akhir masa pendaftaran, bisa saja memunculkan fenomena baru, yaitu pilpres dengan calon tunggal, seperti terjadi pada beberapa daerah dalam pilkada lalu. Meski demikian, pilpres dengan calon tunggal yang didukung mayoritas partai juga tidak disetujui lebih dari separuh responden. Bahkan, terdapat 28,5 persen responden yang tidak akan memilih jika hanya ada satu calon pada pilpres tahun depan. Kontestasi melawan kotak kosong bukan saja tidak sehat bagi demokrasi, melainkan juga merugikan partai yang akan bersaing merebut suara pemilih dalam pemilu legislatif. Tanpa kehadiran kader mereka dalam pentas pilpres, partai khawatir mengalami kemerosotan perolehan suara. Kehadiran calon tunggal bukannya tidak pernah dipikirkan elite parpol. PKS pernah menyebut ada tawaran untuk berkoalisi dengan pengusung Jokowi, tetapi ditolak karena khawatir hanya ada satu calon di pilpres mendatang (Kompas, 2/3/2018).
Minimnya figur selain Jokowi dan Prabowo juga turut andil dalam kebuntuan proses politik menjelang pilpres. Walaupun telah empat tahun Pemilu 2014 berlalu, hanya nama Prabowo yang masih kuat sebagai pesaing petahana. Tiga perempat (70,6 persen) responden menilai Ketua Umum Gerindra itu paling berpotensi menjadi lawan berat Jokowi.
Nama-nama lain yang muncul seakan kurang dilirik publik. Tingkat penerimaan terhadap tokoh-tokoh lain untuk menjadi capres juga terpaut jauh dengan Jokowi dan Prabowo. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menyusul di urutan kedua yang dianggap sebagai lawan terberat Jokowi dengan 10,4 persen. Hanya 6,8 persen responden yang menilai Gubernur Jakarta Anies Baswedan berpotensi menjadi lawan. Dua tokoh itu bukan kader parpol, tetapi justru diperhitungkan.
Publik justru berharap muncul lebih dari dua calon dalam pilpres nanti sehingga terdapat poros lain di luar dua kubu yang sudah mengeras dukungannya. Poros ketiga ini diharapkan dapat menghadirkan sosok presiden alternatif yang mampu mengimbangi arus dukungan terhadap Jokowi dan Prabowo
Kaderisasi parpol yang lemah menyebabkan tidak ada nama baru yang muncul ke panggung kontestasi untuk posisi capres. Agus Harimurti Yudhoyono, yang merupakan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat, lebih sering diposisikan sebagai calon wakil presiden. Sementara politisi kawakan Jusuf Kalla, yang merupakan wakil presiden, sejauh ini belum memastikan diri untuk pensiun atau maju sebagai capres. Kalla sebelumnya dilirik untuk mendampingi Jokowi kembali, tetapi rencana ini kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 28 Juni lalu, MK tidak menerima permohonan uji materi terkait pembatasan seseorang menjadi presiden/wakil presiden. Pemohon dinilai tak memiliki kedudukan hukum mempersoalkan ketentuan itu. Aturan yang sama kemudian diuji kembali oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Meski tidak lagi menjadi ketum Golkar, sosok Kalla dinilai tetap kuat dan strategis. Ia mewakili daerah luar Jawa, terutama Sulawesi. Selain itu, Kalla dekat dengan organisasi Islam. Poros koalisi ketiga juga sempat dikabarkan melirik Kalla untuk menjadi capres karena tiga parpol yang menggagas poros ketiga, yakni PAN, Demokrat, dan PKB, menginginkan kadernya menjadi capres atau cawapres. Kalla dianggap mampu menjadi jawaban, jalan keluar dari kebuntuan koalisi memunculkan nama calon.
Elektabilitas
Elektabilitas Jokowi masih menjadi yang tertinggi dengan angka 47,5 persen pada jajak pendapat ini. Akan tetapi, angka ini belum aman karena tingkat keterpilihan ini juga dipengaruhi belum munculnya lawan yang pasti bagi
Jokowi.
Elektabilitas Prabowo menyusul dengan perolehan 25,6 persen dan potensi keterpilihan nama-nama lainnya terpaut jauh dengan Jokowi dan Prabowo. Gatot Nurmantyo yang belum memiliki kendaraan politik dipilih oleh 6,9 persen responden. Adapun Jusuf Kalla tingkat keterpilihannya 3 persen. Menyusul Anies Baswedan dengan 2,7 persen. Terakhir adalah Agus Yudhoyono dipilih oleh 2 persen responden.
Jika hanya terdapat dua calon, yakni Jokowi dan Prabowo,pada Pilpres 2019, sebanyak 44,8 persen responden memilih Jokowi, sedangkan 31 persen responden akan memilih Prabowo. Kalau ditelisik berdasarkan parpol yang dipilih, pemilih Jokowi hampir separuhnya adalah konstituen PDI-P. Sementara mereka yang memilih Prabowo terbanyak adalah pemilih Gerindra disusul oleh pemilih PKS dan Demokrat.
Parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat tentu harus mengajukan capres dan cawapres jika tetap ingin mengikuti pileg lima tahun mendatang sesuai dengan undang-undang. Lebih dari separuh responden pun menyetujui ketentuan ini. Oleh karena itu, kebuntuan ini harus dipecahkan dan tidak dibiarkan berlarut-larut.