JAKARTA, KOMPAS — Depresiasi rupiah memaksa Bank Indonesia menaikkan BI 7-Day Repo Rate untuk meredam modal asing keluar. Padahal, pelemahan rupiah masih bisa terus berlanjut seiring dengan rencana The Fed menaikkan kembali suku bunga acuan. Di sisi lain, jika BI terus merespons dengan menaikkan BI 7-Day Repo Rate, pertumbuhan kredit di Indonesia berpotensi melambat.
Menurut laporan uang beredar Bank Indonesia (BI) pada Mei 2018, pertumbuhan kredit mencapai 10,2 persen secara tahunan. Penyaluran kredit tercatat sebesar Rp 4.908 triliun, lebih tinggi dibandingkan April 2018 sebesar 8,9 persen.
Pertumbuhan kredit tersebut didorong peningkatan penyaluran kredit kepada debitor korporasi. Pertumbuhan kredit korporasi dengan pangsa 49 persen dari total kredit tercatat tumbuh sebesar 10,6 persen secara tahunan.
Namun, sejumlah ekonom memprediksi, target BI mengejar pertumbuhan kredit 12 persen hingga 14 persen pada akhir 2018 agak sulit tercapai. Akibat depresiasi rupiah karena kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed yang menaikkan suku bunga acuan, BI juga memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Repo Rate ke level 5,25 persen guna meredam pelemahan rupiah. Kenaikan suku bunga acuan menyebabkan debitor berpikir ulang untuk mengajukan kredit.
Target BI mengejar pertumbuhan kredit 12 persen hingga 14 persen pada akhir 2018 agak sulit tercapai.
Meski begitu, rupiah masih berpotensi melemah. The Fed berencana bakal menaikkan lagi suku bunga acuan mereka di masa mendatang. Kondisi itu sangat mungkin direspons BI dengan menaikkan kembali BI 7-Day Repo Rate ke tingkat yang lebih tinggi guna menghindari modal asing keluar.
Jika terus menaikkan BI 7-Day Repo Rate untuk meredam depresiasi rupiah, pemerintah bakal menghadapi dua kendala utama, rupiah terus melemah dan di sisi lain pertumbuhan kredit berpotensi mandek.
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, Senin (16/7/2018), mengatakan, target pertumbuhan kredit minimal 12 persen masih cukup sulit diraih. Dengan kondisi sekarang, ia memperkirakan pertumbuhan kredit hingga akhir tahun hanya bisa tumbuh 10,2 persen.
Akan tetapi, pertumbuhan kredit masih memungkinkan untuk terus dipacu. Andry menjelaskan, ada jeda waktu sekitar tiga bulan bagi bank untuk mentransmisi kenaikan suku bunga acuan kepada suku bunga dasar kredit perbankan.
Dengan begitu, dampak peningkatan suku bunga masih terbatas. BI mencatat, perkembangan suku bunga hingga Mei 2018 masih melanjutkan dampak penurunan suku bunga kebijakan BI di periode sebelumnya.
”Masih mungkin ada pertumbuhan kredit, tapi tidak akan setinggi hingga di atas 13 persen,” ucapnya melalui telewicara.
Tidak berpengaruh pada permintaan kredit
Dihubungi terpisah, ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, berpendapat, kenaikan suku bunga tak terlalu berpengaruh terhadap permintaan kredit.
Menurut David, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan debitor menunda pengajuan kredit. Salah satunya, cara pandang pebisnis dalam melihat prospek usaha mereka.
Misalnya, pebisnis di sektor properti akan melihat tren permintaan dan penawaran di sektor properti. Jika dia melihat ada peningkatan permintaan, besar kemungkinan sang pebisnis akan mengajukan kredit.
Selain itu, dari sisi konsumen personal, orang-orang cenderung akan menahan kredit jika tidak ada jaminan pekerjaan dan pajak.
Meski berat, David meyakini kredit masih bisa tumbuh. Hal itu mengingat ada debitor yang telah diberi plafon oleh perbankan. Apabila debitor tersebut mengetahui dalam waktu dekat suku bunga kredit akan naik, besar kemungkinan mereka bakal menggunakan kredit untuk keperluan ekspansi dan modal kerja.
Kenaikan suku bunga tak begitu memengaruhi permintaan kredit BTN.
Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk Iman Nugroho Soeko menyatakan optimistis target pertumbuhan kredit sebesar 20 persen secara tahunan dapat dicapai. Menurut dia, kenaikan suku bunga tak begitu memengaruhi permintaan kredit BTN.
”Mayoritas portofolio kami adalah KPR (kredit pemilikan rumah) untuk pembeli rumah pertama. Jadi tidak masalah karena didorong oleh KPR bersubsidi dengan bunga tetap 5 persen,” ucap Iman.
Kredit properti
Untuk mendongkrak pertumbuhan kredit, BI melonggarkan ketentuan rasio pinjaman terhadap simpanan (LTV) untuk pinjaman dan pembiayaan pembelian rumah. Dengan begitu, diharapkan permintaan akan kredit rumah meningkat dan pada akhirnya sektor properti bergairah.
David menyampaikan, kontribusi kredit properti terhadap total kredit di Indonesia masih rendah. Angkanya di kisaran 8 hingga 10 persen. Untuk itu, ia berpendapat, kebijakan relaksasi LTV saja tak akan cukup untuk mendongkrak pertumbuhan kredit.
Sementara itu, Andry menyebutkan, masih ada ruang bagi properti untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Namun, ia mengarisbawahi, pemerintah perlu menggenjot sisi permintaan dari masyarakat. Sisi permintaan perlu didorong karena Andry melihat permintaan terhdap properti masih datar.