JAKARTA, KOMPAS — Penawaran insentif pembebasan Pajak Penghasilan badan atau tax holiday oleh pemerintah selama dua bulan terakhir masih sepi peminat. Padahal, insentif itu dibuat untuk menarik investor sektor hulu guna menekan impor bahan baku.
Insentif Pajak Penghasilan badan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Insentif diberikan kepada penanaman modal baru hingga 100 persen. Nilai investasi minimal sebesar Rp 500 miliar yang mencakup 17 industri pionir.
Pemberian insentif itu bertujuan untuk menarik foreign direct investment (FDI) masuk ke Indonesia.
”Sudah dua bulan insentif itu dikeluarkan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara di sela dialog ”Peluang dan Tantangan Ekspor Jasa Indonesia” yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Indonesia Service Dialogue (ISD), di Jakarta, Senin (16/7/2018).
Namun, baru beberapa investor yang mengajukan permintaan insentif ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut dia, hal itu terjadi akibat investasi di atas angka Rp 1 triliun membuat investor membutuhkan waktu dan analisis yang mendalam. Oleh karena itu, kebijakan insentif fiskal yang diberikan pemerintah dinyatakan harus terus digaungkan.
Insentif tersebut berguna untuk menekan ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku yang belakangan cukup tinggi. Impor yang tinggi membuat neraca perdagangan Indonesia defisit.
Setelah beberapa bulan, neraca perdagangan Indonesia akhirnya kembali surplus pada Juni 2018. Badan Pusat Statistik menyebutkan, neraca perdagangan pada Juni 2018 surplus 1,74 miliar dollar AS. Kendati demikian, neraca perdagangan selama Januari-Juni 2018 defisit 1,02 miliar dollar AS.
Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menilai, defisit masih akan terus terjadi karena investasi masih terus masuk ke Indonesia. ”Hal itu terlihat dari impor bahan baku yang mengindikasikan industri sedang menggeliat,” ujarnya.
Data BPS menjabarkan, golongan bahan baku/penolong mendominasi impor selama Januari-Juni 2018 hingga 74,67 persen.
Defisit yang terjadi akibat ketergantungan terhadap impor bahan baku berusaha ditutupi melalui peningkatan ekspor. Adapun ekspor yang menjadi fokus kali ini adalah ekspor jasa.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Bambang Kementerian Koordinator Perekonomian Adi Winarso menambahkan, saat ini merupakan momen yang tepat untuk mendorong sektor jasa dalam negeri.
”Kendati demikian, sektor jasa ini banyak yang kegiatannya defisit karena masih kurang mendapat perhatian,” ucapnya.
Banyak bidang yang masih dapat dikembangkan dalam sektor itu, misalnya pariwisata, pendidikan melalui universitas bertaraf internasional, serta kesehatan lewat rumah sakit. Dana asing dapat mengalir masuk ketika Indonesia dapat menyediakan jasa di bidang itu.