JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan terkait gula petani dinilai tidak sinkron. Antarkementerian dan lembaga tak bersinergi. Akhirnya, petani yang menjadi korban.
Tim survei yang melibatkan perguruan tinggi dan Kementerian Pertanian mengusulkan harga acuan gula petani Rp 10.500 per kilogram (kg). Namun, Kementerian Perdagangan menetapkan harga acuan pembelian di petani Rp 9.100 per kg, sementara rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian menugaskan Perum Bulog membeli gula petani Rp 9.700 per kg.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro di Jakarta, Senin (16/8/2018), menyatakan, Perum Bulog tidak bisa menyerap gula petani jika harus menanggung kerugian besar. Oleh karena itu, problem gula petani perlu jalan keluar yang melibatkan lembaga/kementerian terkait. ”Saya mau koordinasi dengan Deputi di Kemenko (Perekonomian),” kata Wahyu.
Kalau Bulog rugi, siapa yang menanggung
Menteri BUMN, kata Wahyu, sudah menerima surat dari Menteri Perdagangan yang meminta Bulog menyerap gula petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 9.700 per kg. Namun, harga acuan pembelian yang ditetapkan Kementerian Perdagangan Rp 9.100 per kg.
”Dengan harga itu, Bulog bisa rugi. Kalau rugi, siapa yang menanggung. Bulog perlu mendapat marjin yang cukup,” katanya.
Menurut Wahyu, dari pembelian gula petani tahun 2017, pemerintah masih menunggak pembayaran ke Bulog Rp 1 triliun dari dana cadangan stabilisasi harga pangan (CSHP). Oleh karena itu, perlu pertimbangan berbagai kompensasi jika Bulog ditugaskan menyerap gula petani. Tunggakan dana CSHP juga perlu segera dibayar agar arus kas Bulog cukup.
Sinergi
Secara terpisah, Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil menambahkan, berdasarkan survei tim independen yang ditugaskan Kementerian Pertanian, HPP gula petani diusulkan naik jadi Rp 10.500 per kg. Dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian disepakati HPP gula petani 2018 sebesar Rp 9.100 per kg. Gula petani yang dimaksud adalah tebu rakyat yang digiling oleh pabrik gula BUMN.
Arum menilai, hasil rapat di Kemenko Perekonomian yang menyepakati harga acuan pembelian gula petani Rp 9.100 per kg tidak bijak, tidak sinergis, dan tidak cermat. ”Tidak bijak dan tidak sinergis karena mengabaikan hasil survei tim independen yang melibatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang ditunjuk pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan dibiayai oleh negara,” katanya.
Menurut Arum, jika Bulog ditugasi membeli gula petani Rp 9.700 per kg, harga acuan pembelian gula di tingkat petani semestinya Rp 9.700 per kg. Akibatnya, sampai Juli 2018 atau ketika panen tebu sudah jalan tiga bulan, belum ada kejelasan pembelian oleh Bulog. Gula petani menumpuk tak terserap. Pedagang tidak tertarik membeli karena mereka tidak boleh menjual gula petani dalam bentuk curah.
Direktur Operasional dan Kebijakan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi menambahkan, Bulog siap melaksanakan tugas menyerap gula petani. Namun, Bulog masih perlu berkonsultasi terkait risiko kerugian karena penugasan tersebut.
Saat ini, stok gula petani di Bulog masih 150.000 ton. Menurut Tri, Bulog sulit menjual gula petani karena terkait pasokan dan permintaan di pasar. Pasokan gula ke pasar diperkirakan banyak karena bukan hanya dari petani yang diserap Bulog, melainkan juga dari produsen gula swasta yang menggunakan bahan baku gula mentah (raw sugar).