Belajar dengan menumpang di gedung sekolah lain tentu memiliki sejumlah keterbatasan. Apalagi jika sekolah yang ditumpangi itu berbeda jenjang. Hidup dalam keseharian yang serba terbatas itulah yang dirasakan guru dan murid di sekolah-sekolah yang masuk kategori unit sekolah baru (USB) di Kota Bekasi.
Salah satu kendala diungkapkan Kepala SMAN 21 Kota Bekasi Dedi Suryadi, yakni jam belajar yang lebih pendek. Siswa SMA di Jatimakmur, Pondokgede, ini hanya memiliki waktu belajar dari pukul 12.15 hingga 17.15, setelah siswa SDN 3 dan SDN 4 Jatimakmur pulang. Bandingkan dengan sekolah negeri lainnya yang memiliki waktu belajar yang panjang yakni pukul 07.00-15.00.
Sebagai gantinya, siswa SMA tetap masuk hari Sabtu. "Kekurangan jam belajar di sekolah, kami siasati dengan memberi pekerjaan rumah,” kata Dedi.
Laboratorium untuk praktikum pun tidak ada. Dari status menumpang ini pula, SMAN 21 tidak mendapat bantuan dari Dinas Pendidikan Provinsi Bekasi untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar.
Tantangan di depan mata adalah saat Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pertama kalinya tahun ajaran ini. Sebanyak 115 murid kelas 12 akan mengikuti UNBK. Dedi berharap ada bantuan dari Dinas Pendidikan Jawa Barat terkait pengadaan komputer dan server agar ujian tidak perlu pindah ke sekolah yang sudah memiliki fasilitas lengkap atau menyewa gedung untuk melaksanakan UNBK.
Dengan keterbatasan fasilitas ini, Dedi berharap pemerintah melakukan pelatihan kepada guru. “Dengan keterbatasan seperti ini, yang bisa dilakukan pihak sekolah adalah meningkatkan mutu dan kualitas guru,” katanya.
Total guru di SMAN 21 berjumlah 32 orang, dengan komposisi 30 guru honorer dan 2 guru berstatus pegawai negeri. Guru honorer di sekolah ini masih bergantung kepada sekolah untuk menggaji mereka.
Lala Kadarsih, guru mata pelajaran Bahasa Inggris SMAN 21 Kota Bekasi, merasakan betul keterbatasan fasilitas belajar mengajar. “Kadang murid bawa pengeras suara saat mata pelajaran saya,” kata Lala.
Muhammad Rayhan Fadilah (17) dan Norman Iqbal Priharta (16), siswa kelas 12 IPS, sepakat mengatakan, meski sekolahnya tidak banyak memiliki fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar dan waktu belajar yang lebih singkat, namun tidak membuat mereka malas untuk belajar.
“Justru saya harus semakin banyak belajar dan syukurnya guru-guru di sini baik dan menyenangkan,” kata Norman yang menjabat ketua OSIS SMA 21.
Tidak optimal
Ine Febrianti (14), siswa kelas IX USB SMPN 49 Bekasi, juga merasakan minimnya fasilitas. Salah satunya, ia dan teman-teman tidak bisa belajar di laboratorium untuk pelajaran ilmu pengetahuan alam. Setiap mata pelajaran yang membutuhkan pengamatan dan praktik khusus dilakukan di dalam kelas, dengan alat sederhana, dan mengandalkan kreativitas guru.
Begitu juga dengan laboratorium komputer. Meski sudah mendapatkan sumbangan 43 unit komputer dari Pemkot, alat-alat tersebut harus disimpan di sekolah induk, yaitu SMPN 27. Ruangan yang ada di SDN tumpangan tidak cukup aman untuk menyimpan komputer. Sebelumnya, terjadi dua kali pencurian di laboratorium komputer sekolah tersebut. Akibatnya, para murid dan guru pun harus pergi ke SMPN 27 jika ada keperluan menggunakan komputer.
Selain itu, waktu belajar sehari-hari juga minim. Setiap hari, pelajaran dimulai pukul 12.30 hingga 17.00. Waktu tersebut masih dikurangi istirahat selama 30 menit.
“Awalnya, saya juga khawatir untuk menyekolahkan anak di sekolah yang belum memiliki gedung sendiri. Saya khawatir akan terus berpindah-pindah dan belajarnya tidak maksimal,” kata salah satu orangtua murid kelas VII, Iin. (E20)