JAKARTA, KOMPAS— El Nino diperkirakan akan kembali terjadi tahun ini. Dinamika cuaca yang berdampak terhadap penurunan curah hujan di Indonesia tersebut diperkirakan mulai terjadi pada September 2018 dan berlanjut hingga April 2019.
”Banyak lembaga meteorologi dunia memprediksi tahun ini akan terjadi El Nino. Namun, dampaknya di Indonesia tak akan separah saat kejadian El Nino tahun 2015,” kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Siswanto di Jakarta, Senin (16/7/2018).
El Nino merupakan fenomena cuaca berupa lebih hangatnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik wilayah timur dan tengah dibandingkan dengan perairan sekitar. Akibatnya, penguapan dan hujan lebih banyak di perairan ini. ”Karena massa uap air tersedot ke Pasifik bagian timur dan tengah, wilayah lain, termasuk Indonesia, akan kurang hujan,” ujarnya.
Berdasarkan data historis, El Nino kuat biasanya terjadi Juni-Juli-Agustus. Namun, prediksi terakhir menyatakan, El Nino baru terjadi pada September-November. Jadi, BMKG memperkirakan, El Nino akhir 2018 ini tak terlalu kuat.
Meski kekuatan El Nino ini diprediksi lemah, area timur Indonesia akan terdampak. Di sisi barat Indonesia, pada Desember-Februari, dampak El Nino terkurangi embusan monsun Asia basah. ” Kekeringan dan kebakaran hutan perlu diwaspadai di sebagian Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Sumatera bagian tengah dan Kalimantan barat berpeluang hujan lebat,” katanya.
Kekeringan dan kebakaran hutan perlu diwaspadai di sebagian Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Sumatera bagian tengah dan Kalimantan barat berpeluang hujan lebat.
Musim kemarau
BMKG memprediksi, pada Juli, area yang mengalami musim kemarau meluas. Aliran massa udara monsun Australia yang membawa sedikit uap air, kering, dan dingin menguat serta dominan.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, dampak musim kemarau perlu diantisipasi. Salah satunya kekeringan akibat kurang hujan di lahan gambut memicu kebakaran hutan dan lahan.
Kurang hujan juga bisa mengganggu suplai listrik, khususnya dari pembangkit listrik tenaga air, dan turunnya produksi pertanian area tadah hujan mengakibatkan gagal panen. ”Kemarau kali ini bisa berdampak positif pada komoditas tertentu, misalnya tembakau dan cengkeh,” ujarnya.
Menurut Herizal, berdasarkan analisis perkembangan musim sampai akhir Juni 2018, mayoritas daerah Indonesia memasuki musim kemarau dengan persentase sebesar 78,95 persen. Adapun awal musim kemarau didominasi jatuh pada Maret-April 2018.
Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur secara keseluruhan telah memasuki musim kemarau sejak Juni lalu. Sementara di Jawa, 99 persen wilayah zona prediksi musim telah memasuki musim kemarau.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga pertengahan 2018, beberapa kejadian bencana hidrometeorologi melanda di musim hujan dan kemarau. Kejadian terakhir ialah banjir bandang melanda tujuh kecamatan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, awal Juli, setelah 14 kecamatan di Banyuwangi pada pekan terakhir Juni 2018.
Pada Januari-Juni 2018, tercatat 374 kejadian banjir, 268 tanah longsor, 433 puting beliung atau angin kencang, dan 1 kekeringan. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat paling kerap terdampak banjir. Longsor dan puting beliung paling sering terjadi di Jawa Tengah.
Selain itu, 38 kejadian kebakaran hutan dan lahan dilaporkan terjadi di tujuh provinsi. Provinsi Riau mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan terbanyak, yakni 18 kejadian, diikuti Kalimantan Tengah delapan kejadian.
Kekeringan juga terjadi di Jawa Tengah, Juni 2018. Berdasarkan data BMKG, terpantau hari tanpa hujan ekstrem lebih dari 60 hari di sejumlah Jawa Tengah bagian utara dan Yogyakarta. Deret hari tanpa hujan kategori panjang terjadi di Jawa Timur bagian timur, Bali, NTB, dan NTT.