Pemetaan Sekolah Bermutu Jangan Sekadar Administratif
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·3 menit baca
Setelah pemberlakuan zonasi sekolah, pemerintah berjanji ada pemerataan sekolah berkualitas. Untuk ini, harus ada komitmen untuk mewujudkan sekolah bermutu.
JAKARTA, KOMPAS – Pemetaan sekolah bermutu jangan sekadar administratif dengan indikator yang tidak relevan serta sulit diukur. Saatnya menggunakan data-data yang ada untuk mengintervensi dengan program dan kebijakan yang tepat dalam upaya meningkatkan dan memeratakan sekolah bermutu. Hasilnya tercermin dari kualitas pembelajaran di sekolah dan siswa.
Sekolah berkualitas yang menjadi tuntutan masyarakat harus menghasilkan siswa yang sesuai dengan standar kualitas lulusan yang ditetapkan. Untuk itu, pengukurannya tidak hanya dari kognitif seperti kelulusan ujian nasional atau masuk perguruan tinggi negeri, namun juga aspek afektif dan kesejahteraan anak.
Terwujudnya sekolah bermutu juga bukan bergantung dari kelengkapan administratif sarana dan prasarana sekolah. Namun, pada pemanfaatannya untuk mendukung pembelajaran yang baik.
Hal tersebut terangkum dari pandangan sejumlah praktisi pendidikan mulai dari pengawas sekolah, perwakilan organisasi guru, dan kajian kebijakan pendidikan yang dihimpun dari Jakarta, Senin (16/7/2018). Mereka menanggapi upaya peningkatan mutu sekolah yang dijanjikan pemerintah seiring diberlakukannya zonasi sekolah.
Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Najelaa Shihab mengatakan, ada acuan delapan standar nasional pendidikan (SNP) dalam meningkatkan pendidikan bermutu di Indonesia.
"Fokus utama yang terpenting ke standar kualitas lulusan (SKL), yang merupakan keluaran dari ketujuh standar lainnya. Tapi untuk mencapai SKL yang baik itu, perlu prioritas untuk standar proses, isi, dan pendidik. Pencapaian empat standar ini saja sudah berdampak untuk kesuksesan siswa," kata Najelaa yang juga Pendiri Sekolah Cikal.
Untuk mencapai standar kualitas lulusan yang baik itu, perlu prioritas untuk standar proses, isi, dan pendidik.
Komitmen rendah
Pengawas SMA di Kabupaten Bekasi Rojali mengatakan, di tingkat sekolah, komitmen pada mutu masih rendah. Kondisi ini tidak lepas dari komitmen pemangku kepentingan lainnya, terutama pemerintah daerah yang juga rendah.
"Kualitas guru diyakini sebagai salah satu faktor yang berdampak pada peningkatan mutu sekolah. Namun di lapangan minim komitmen untuk memastikan guru menguasai dan memahami dengan baik standar isi, proses, penilaian, dan SKL yang berdampak langsung pada mutu. Para pengawas sekolah juga tak diberdayakan dengan benar dan dioptimalkan untuk penjaminan mutu sekolah," kata Rojali.
Sementara itu, Ketua Federasi Aksi Guru Indonesia Iwan Hermawan mengatakan, sekolah bermutu saat ini lebih karena input siswa bernilai tinggi yang masuk di sekolah tersebut bermutu. Sekolah seperti ini terus mendapat dukungan dari fasilitas dan guru.
Sekolah bermutu saat ini lebih karena input siswa bernilai tinggi yang masuk di sekolah tersebut bermutu.
"Pengelolaan sekolah yang baik yang berpihak pada mutu belum dijalankan secara baik di semua sekolah. Hal inilah yang membuat sekolah berkualitas tidak tersebar di banyak daerah. Akibatnya, kebijakan zonasi sekolah yang tujuannya baik, justru membuat panik masyarakat. Ada kekhawatiran penurunan mutu siswa jika tidak belajar di sekolah favorit," ujar Iwan.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Pusat Muhammad Ramli Rahim mengatakan, selama ini kebijakan pemerintah pusat dan daerah bukan fokus untuk memastikan pemerataan jumlah sekolah negeri dan sekolah berkualitas. "Yang ada justru menciptakan kasta pendidikan dengan berbagai sebutan seperti sekolah unggulan hingga rintisan sekolah bertaraf internasional. Lalu, sekolah tersebut \'dimanjakan\' dengan bantuan fasilitas yang lengkap dan guru yang bagus," ujar Ramli.
Menurut Ramli, pemetaan mutu sekolah yang dilakukan jangan lagi dengan program pendataan baru. Sebab, sudah banyak data sekolah yang terhimpun, seperti data pokok pendidikan, penjaminan mutu pendidikan, hingga akreditasi sekolah.
Ramli mengatakan, saatnya Kemdikbud memakai beragam data pengukuran pendidikan yang ada untuk memastikan pemerintah daerah bekerja melakukan perbaikan pendidikan. Apalagi kapasitas dan kreativitas tiap daerah dalam memajukan pendidikan tidak seragam.