JAKARTA, KOMPAS – Pada semester pertama tahun 2018, Badan Pengawasan Mahkamah Agung memberi sanksi kepada 52 hakim nakal. Jumlah hakim yang dikenai sanksi itu lebih banyak dibandingkan rentang waktu yang sama pada tahun 2017. Hakim juga merupakan kelompok profesi yang paling banyak melakukan pelanggaran di pengadilan.
Data Bawas MA pada Januari-Juni 2018 menunjukkan, 81 pegawai pengadilan telah dijatuhi sanksi. Dari jumlah itu, 52 orang di antaranya adalah hakim, diikuti oleh panitera pengganti 9 orang, staf 5 orang, panitera muda 4 orang, panitera 3 orang, juru sita 3 orang, pejabat struktural 2 orang, juru sita pengganti 2 orang, dan sekretaris 1 orang. Dari 52 hakim, 15 orang di antaranya dihukum berat, 14 orang dikenai sanksi sedang, dan 23 orang dihukum ringan.
Kepala Bawas MA Nugroho Setiadji, Selasa (17/7/2018) di sela-sela lokakarya media di Bogor Jawa Barayt menyebutkan pelanggaran hakim cenderung meningkat dibandingkan dengan semester yang sama pada tahun lalu. Hingga Agustus 2017, Bawas MA mencatat ada 31 hakim dijatuhi sanksi. Berbeda dengan tahun ini, hingga Juni saja, jumlah hakim yang dikenai sanksi mencapai 52 orang. Ada tren peningkatan jumlah hakim nakal yang dijatuhi sanksi. Tahun lalu, Bawas MA memberikan saksi kepada 156 pegawai pengadilan. Dari jumlah itu, 60 orang di antaranya adalah hakim.
Jenis pelanggaran yang paling banyak ialah memainkan perkara dan menyalahi hukum acara. Dua jenis pelanggaran itu sama tingginya dalam persentase pelanggaran hakim. “Hakim yang memainkan perkara dan melanggar hukum acara jumlahnya berimbang,” kata Nugroho.
Jenis pelanggaran yang paling banyak ialah memainkan perkara dan menyalahi hukum acara
Dalam kerjanya, Bawas MA menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dua lembaga itu dilibatkan dalam kegiatan pencegahan melalui pemeriksaan rutin di setiap pengadilan. Pemeriksaan dilakukan dengan mengecek apakah prosedur perkara masuk sampai putusan telah sesuai dengan ketentuan ataukah tidak.
“Kami mengecek apakah ada aroma kolusi atau tidak dalam pelaksanaan prosedur itu. KPK kami libatkan, karena ini juga ide dari KPK. Kalau ada pelanggaran yang kami temukan dari pemeriksaan rutin itu, baru Bawas MA menurunkan tim pemeriksa,” ujarnya.
Modus beragam
Modus suap atau jual-beli perkara yang dilakukan oleh pegawai pengadilan pun beravariasi. Ada panitera pengganti (PP) yang sengaja menjual nama hakim untuk menekan pihak yang berperkara mengeluarkan uang. Ada kalanya hakim tidak mengetahui perbuatan PP tersebut. Namun, diakui Nugroho, kerap kali PP juga menjadi kepanjangan tangan dari hakim.
“Saya pernah mendapatkan laporan dari advokat yang kliennya dimenangkan oleh hakim. PP mendatangi dan meminta “pengertian” dari advokat itu. Perbuatan itu dilaporkan kepada kami, sehingga pegawai bersangkutan diberi sanksi,” kata Nugroho.
Tindakan koruptif pegawai pengadilan adalah bagian dari pola pikir lama yang menganggap perbuatan itu hal biasa
Modus lainnya yang kerap dilakukan ialan dengan mengenakan pungutan liar (pungli). Bawas MA antara lain pernah menangani perkara pungli foto kopi dilakukan oleh pegawai pengadilan. Pegawai itu meminta biaya Rp 500.000 untuk fotokopi 100 lembar berkas perkara.
Nugroho mengatakan, tindakan koruptif pegawai pengadilan adalah bagian dari pola pikir lama yang menganggap perbuatan itu hal biasa. Suap perkara pun kerap sulit ditelusuri karena hubungan dekat antara PP dengan advokat. “Ini mindset lama yang harus diubah,” katanya.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Siska Trisia mengatakan, pungli menjadi masalah besar di pengadilan. Dalam penelitian tahun 2017, MaPPI mendapati pegawai pengadilan meminta “biaya administrasi” tambahan di luar dari ketentuan yang diatur bagi pihak yang akan mendaftarkan surat kuasa di pengadilan. Temuan pungli di enam kota, yakni Jakarta, Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta, dan Malang, tahun 2017, menunjukkan kualitas pelayanan publik di pengadilan masih buruk.
Terkait pelanggaran hakim, juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengatakan, kerap kali pelanggaran hukum acara dan korupsi oleh hakim itu bermula pada pelanggaran kode etik. Tidak jarang pula terdapat irisan antara pelanggaran kode etik dan perilaku hakim (KEPPH) dengan korupsi atau suap yang dilakukan hakim. Sayangnya, ketika ada kecurigaan KY yang tergambarkan di dalam putusan hakim yang meragukan, MA kerap berlindung di balik alasan teknis yudisial.
“Dalam penjatuhan sanksi terkait putusan yang meragukan, MA beralasan itu adalah teknis yudisial. Adapun pada kasus berbeda, MA memberi sanksi kepada hakim kasus century karena putusannya dinilai tidak tepat. Padahal putusan adalah bagian dari teknis yudisial,” ujarnya.
Dari catatan KY, dalam rentang waktu 2009-2017 ada 22 laporan berkaitan dengan suap atau gratifikasi oleh hakim yang diajukan ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH).