Antisipasi Kebingungan Pemilih Pemula lewat Literasi Internet
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemilih pemula membutuhkan literasi media internet sebagai pedoman bagi mereka untuk pemilu serentak 2019. Merebaknya hoaks yang ada di dunia maya membuat mereka sulit mencari tahu latar belakang calon pemimpinnya. Selain itu, para pemilih pemula juga akan dihadapkan dengan nama-nama calon DPD, DPRD, dan DPR yang membuat mereka semakin bingung dalam memilih.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Ichwanuddin, mengatakan, para pemilih pemula ini akan dominasi generasi Z yang memiliki kecenderungan menyerap informasi dari media sosial.
”Ruang berpolitik bagi generasi Z tidak hanya dari parpol. Mereka berpolitik dengan cara membuat petisi daring, membuat meme, video blogging, dan menuliskan opini di status media sosial mereka,” ucapnya dalam diskusi ”Peran Media Internet bagi Pemilih Pemula” di Jakarta, Rabu (18/7/2018).
Wawan menjelaskan, internet dan media sosial ini bisa menutup wawasan pemilih pemula jika mereka tidak memiliki pemahaman terkait literasi internet.
”Sistem di internet ataupun media sosial cenderung mengarahkan para warganet ke konten yang sesuai dengan minat penggunanya. Jika penggunanya hanya berminat dengan konten politik tertentu, internet akan merekomendasikan konten tersebut terus-menerus kepada penggunanya,” katanya.
Hal ini yang membuat para pengguna internet, khususnya pemilih pemula rentan percaya terhadap konten hoaks yang kerap muncul di lini media sosial. Oleh sebab itu, pemilih pemula perlu memahami literasi internet, seperti membandingkan kebenaran informasi yang ada di media sosial dengan informasi di media massa mainstream.
Berdasarkan catatan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arief Fakrulloh, pada Pemilu 2019, diperkirakan ada 5 juta pemilih pemula. Sebanyak 2,1 juta orang di antaranya sudah bisa terlayani pada Pilkada 2018 dan sisanya sebelum Pemilu 2019 (Kompas 29 Maret 2018).
Direktur Eksekutif Youth Initiative for Politican Participation Neildeva Despendya Putri mengatakan, keterwakilan anak muda di jajaran politik Indonesia masih sangat minim.
”Fenomena ini juga yang membuat para pemilih pemula bingung memilih calon yang bisa merealisasikan gagasan para anak muda,” katanya.
Menurut Putri, anak muda hanya dijadikan sebagai obyek untuk mengeruk suara bagi para politisi. Para pemilih muda ini berusia 17-30 tahun. ”Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, ada 62 juta pemilih muda. Namun, gagasan mereka seakan tidak diperjuangkan lewat jalur politik,” katanya.
Putri menjelaskan, nantinya para pemilih pemula juga akan dihadapkan dengan nama-nama calon DPD, DPRD, dan DPR pada Pemilu 2019. Para pemilih pemula ini biasanya cenderung bingung mencari latar belakang para calon anggota dewan ini.
”Para pemilih pemula cenderung memilih sosok yang menurut mereka familiar. Padahal, latar belakang calon anggota dewan ini bisa dilihat di situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) nantinya,” ucap Putri.
Ironinya, meski menjadi rujukan bagi pemilih pemula, situs KPU ini rentan diretas dan terkadang sulit diakses, khususnya pada saat Pilkada 2018. Menanggapi hal ini, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, saat ini KPU sedang mengevaluasi sistem keamanan web yang telah ada.
”Permasalahannya bukan karena kurangnya anggaran, melainkan karena kami tidak bisa memperkirakan kekuatan peretas tersebut,” ucapnya.
Wahyu mengatakan, nantinya masyarakat bisa mengakses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) untuk melihat informasi dan latar belakang para calon anggota dewan tersebut. ”Namun, saat ini kami sedang melakukan verifikasi berkas manual yang masuk ke kami, apakah sudah sesuai dengan data yang di-input parpol di Silon,” ucapnya.