Bangladesh Kobarkan Perang Narkoba ala Duterte, 200 Tewas dalam Tiga Bulan
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
Perang narkoba ala Filipina yang dilancarkan otoritas Bangladesh mengundang kritik para pegiat hak asasi manusia di negeri itu. Sejak diluncurkan pada Mei lalu atau sekitar tiga bulan berjalan, korban tewas dalam upaya pemberantasan narkoba di Bangladesh telah mencapai 200 orang.
Kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM) di Bangladesh mengungkapkan, tak hanya menewaskan 200 orang yang dituduh terlibat dalam perdagangan narkoba, perang narkoba dengan cara-cara kekerasan di Bangladesh juga telah menyeret sekitar 25.000 orang lainnya ke penjara.
Bangladesh melakukan penindakan keras untuk memberantas perdagangan narkoba ”yaba”, yakni pil metamfetamin dan kafein murah yang—menurut pihak berwenang—telah menyebar ke hampir setiap desa dan kota di Bangladesh.
Menteri Dalam Negeri Bangladesh Asaduzzaman Khan mengatakan, perang terhadap narkoba itu akan berlangsung sampai perdagangan narkoba bisa dikendalikan. Dia menambahkan, mereka yang tewas terlibat dalam setidaknya 10 kejahatan narkoba.
Namun, kelompok-kelompok pegiat HAM menyebutkan, banyak dari korban tewas itu ditembak polisi tanpa melalui proses pengadilan. Selain itu, perang terhadap narkoba pada sebagian kasus juga digunakan sebagai alasan pembunuhan orang-orang tersebut.
PBB prihatin
Pada Juni 2018, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk HAM Zeid Ra’ad al-Hussein mengatakan ”sangat prihatin” terhadap besarnya jumlah korban tewas di Bangladesh dalam kaitan pemberantasan narkoba.
”Pernyataan resmi bahwa tidak ada korban yang tidak bersalah adalah berbahaya dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap aturan hukum,” demikian pernyataan PBB.
Komisi HAM Nasional Bangladesh juga mengungkapkan kekhawatiran serupa, Selasa (17/7/2018). ”Ini belum pernah terjadi sebelumnya di Bangladesh. Begitu banyak orang tewas dalam waktu singkat,” kata Sheepa Hafiza, direktur eksekutif kelompok hak asasi Ain o Salish Kendra.
”Ini sangat disayangkan. Kami mengecam pembunuhan di luar proses hukum dan menginginkan penyelidikan yang adil terhadap setiap pembunuhan ini.”
25.000 tersangka
Menurut Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Bangladesh Sharif Mahmud Apu, sekitar 25.000 tersangka pengedar narkoba telah ditangkap. Populasi penjara telah melonjak hingga 89.589 orang. Jumlah tersebut hampir dua setengah kali lebih tinggi daripada kapasitas penjara di Bangladesh.
Bulan lalu, pembunuhan terhadap seorang anggota dewan kota perbatasan dalam gerakan antinarkoba telah memicu kemarahan warga Bangladesh. Istri anggota dewan kota tersebut menyatakan memiliki rekaman yang disebutnya bisa membuktikan bahwa suaminya dibunuh dengan cara dijebak.
Ayesha Begum, istri anggota dewan kota tersebut, mengatakan, percakapan telepon yang dia rekam dengan suaminya, Akramul Haque, pada malam suaminya meninggal bertentangan dengan keterangan resmi aparat kepolisian. Menurut polisi, Haque bersenjata dan menembak polisi yang kemudian balas menembaknya untuk membela diri.
”Mereka membunuhnya dengan kejam,” kata Begum kepada kantor berita AFP dari Teknaf di Bangladesh tenggara, tempat suaminya ditembak mati pada 27 Mei lalu.
Bangladesh kini sedang memberantas perdagangan yaba. Ratusan juta pil yaba diperkirakan masuk ke Bangladesh dari Myanmar. Pihak berwenang tahun lalu menyita 40 juta pil. Ini merupakan rekor jumlah sitaan pil narkoba. Mereka mengatakan, sebanyak 250 juta-300 juta pil telah masuk ke pasar.
Pemberantasan besar-besaran yang dilakukan Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap narkoba sejak dia berkuasa pada 2016 telah mengakibatkan ribuan orang tewas. Duterte pun dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sri Lanka juga telah menyatakan akan meniru langkah Duterte dan mengumumkan rencana untuk mengerahkan tentara dan mulai menggantung penjahat narkoba. Sri Lanka pun mengakhiri hampir setengah abad moratorium hukuman mati. (AFP)