Bertarung Melawan Asap Jelang Gelaran Asian Games 2018
Kebakaran Lahan di Desa Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai, Riau, Selasa (17/7/2018)Beberapa hari terakhir, cuaca di sebagian besar wilayah Sumatera semakin terasa panas. Suhu udara pada siang hari mencapai 34 derajat Celcius. Di beberapa wilayah provinsi, terutama sepanjang pantai timur Sumatera, titik-titik api bermunculan. Jumlah dan luas areal yang terbakar semakin bertambah dan belum ada tanda-tanda mampu dikendalikan atau akan berkurang.
Laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, pada Rabu (18/7/2018), terdapat 159 titik panas terpantau satelit Terra/Aqua di seluruh penjuru Sumatera. Riau menjadi penyumbang terbesar dengan 80 titik panas, disusul Sumatera Utara (21) Sumatera Barat (18), Bangka dan Belitung (12) Jambi (10), Sumsel (10), dan Bengkulu (8).
Jumlah titik panas itu meningkat dari kondisi sehari sebelumnya, yang mencapai 126 titik. Tren peningkatan itu sudah terlihat dalam sepekan terakhir.
Di Riau, lokasi kebakaran yang sudah terdeteksi secara langsung oleh tim darat dan udara berada di wilayah Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, Bengkalis, dan sedikit di Kabupaten Siak, Pelalawan, Kepulauan Meranti dan Rokan Hulu. Wilayah terbakar itu pada umumnya berada di sepanjang garis pantai timur Sumatera atau bagian utara Riau.
Dalam sejarah kabut asap Riau sejak tahun 1997, pesisir timur adalah daerah utama penghasil asap. Sepanjang 18 tahun, Riau selalu dilanda asap, karena pemerintah gagal mengendalikan kebakaran lahan dan hutan.
Pada tahun 2015, paparan asap sangat parah karena dipengaruhi fenomena El Nino. Tiga daerah serangkai pemilik lahan gambut terbesar di Sumatera, yaitu Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan menjadi "obor–obor" penyumbang asap. Ditambah lagi sebagian wilayah Kalimantan juga ikut membara.
Saat itu, jutaan orang yang mendiami wilayah Sumatera dan Kalimantan terpapar asap. Berbagai kegiatan ekonomi, seperti penerbangan dan pendidikan terhenti. Celakanya, asap dibawa angin menyeberang Selat Malaka menuju negara tetangga. Rakyat Malaysia dan Singapura yang tidak tahu apa-apa, ikut menderita karena asap.
Di mata internasional, Indonesia dituding bersalah karena gagal mengendalikan kebakaran. Bank Dunia mencatat, dampak ekonomi akibat asap pada tahun 2015 mencapai Rpp 221 triliun. Sebuah jumlah yang luar biasa besar.
Kemiripan pola awal
Awal peristiwa paparan asap yang menyesakkan tahun 2015, persis seperti saat ini. Awalnya, titik panas menunjukkan tren yang terus meningkat. Tiba-tiba, kebakaran sudah mencapai skala yang tidak pernah terbayangkan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan kebakaran di Sumatera dan Kalimantan tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektar.
Bedanya, pada tahun 2015 tidak ada pola pengendalian terpadu. Tim Satgas Karhutla tidak bekerja maksimal. Pengendalian kebakaran lebih banyak dilakukan ketika kebakaran sudah mencapai skala di atas 100 hektar.
Padahal, untuk kebakaran lahan gambut seluas itu, tidak ada lagi alat buatan manusia yang mampu memadamkannya. Penyiraman air melalui pesawat helikopter dengan volume 5 ton untuk sekali siram, sudah tidak mampu mengendalikan kebakaran. Kondisi itu ibarat memadamkan sampah di belakang rumah dengan cara meludah. Hanya hujan yang mampu memadamkan api.
Sejak tahun 2016, pola pencegahan dan pengendalian kebakaran sudah lebih bagus. Satgas Karhutla daerah sudah dibantu penuh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) . Pemerintah kabupaten dan kota di Riau, langganan kebakaran, cepat menenetapkan status Siaga Darurat.
Ketika tiga daerah sudah menetapkan status siaga, maka pemerintah provinsi sudah berhak menyatakan status siaga tingkat provinsi. Konsekuensi status siaga di provinsi memungkinkan BNPB membantu peralatan dan dana.
Tahun 2018 ini, kebakaran lahan dan hutan di Sumatera menjadi krusial, karena tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga terbesar Asia, yaitu Asian Games. Salah satu kota penyelenggara adalah Palembang, Sumatera Selatan. Nahh!
Jadwal Asian Games bertepatan dengan bulan-bulan musim panas di Sumatera. Bahkan, Agustus dianggap sebagai puncak musik kemarau atau puncak kebakaran lahan. Bila tidak mampu mengatasi kebakaran, Asian Games Palembang akan berlangsung dalam suasana berkabut.
Di sisi lain, warga yang membakar lahan untuk membuka ladang atau kebun semakin berhati-hati. Bila dulunya kegiatan membakar dilakukan secara terbuka pada siang hari, kini kegiatan menyulut api dilakukan sembunyi-sembunyi pada petang hari. Api muncul pada malam hari dan membesar pada keesokan harinya. Dalam tempo satu hari, areal yang terbakar sudah meluas.
Fenomena itu sudah terlihat di Dumai. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Dumai, Tengku Ismet mengatakan, perkembangan kebakaran lahan di daerahnya tidak terkendali. Pada hari ini tidak ada kejadian apapun, tetapi keesokan harinya titik kebakaran sudah muncul. Belum dipadamkan titik lama, sudah muncul titik-titik baru.
Namun, kebakaran itu tetap memiliki pola yang sangat khas. Dari foto-foto udara, jelas terlihat bahwa areal baru kebakaran selalu terjadi di dekat tanaman kelapa sawit yang sudah tumbuh sebelumnya. Dapat diartikan, lahan yang baru terbakar itu adalah areal pengembangan kelapa sawit.
Mengapa pola membakar menjadi pilihan petani membuka lahan? Jawabannya sangat klasik. Membakar adalah cara termudah dan termurah. Pola itu adalah warisan nenek moyang.
Apakah tidak ada cara lain? Ada, namun mahal dan tidak mudah. Dan, pemerintah belum pernah menyediakan cara itu.
Intinya, selama pemerintah belum mengupayakan pola membuka lahan yang murah dan efisien, peristiwa kebakaran pasti akan terus saja terjadi selama musim kemarau. Pencegahan yang sudah dilakukan dengan menyosialisasikan bahaya kebakaran kepada masyarakat petani di daerah rawan oleh aparat polisi dan TNI menjelang musim kemarau, kadangkala efektif pada satu waktu.
Namun pada waktu lain, ancaman sosialisasi itu hilang dan warga kembali membakar.
Pertaruhan besar
Sekarang ini adalah masa pertaruhan besar buat anggota Satgas Karhutla, terutama di Riau untuk mengendalikan kebakaran yang sedang terjadi. Apakah tim Satgas Karhutla kembali berhasil menuntaskan api dan mencegah bencana asap, seperti dua tahun belakangan? Kita lihat saja nanti.
Menurut Kepala BPBD Riau Edwar Sanger, kebakaran lahan di Dumai sedang dikeroyok secara beramai-ramai oleh tim Satgas Karhutla. Dari udara, dikerahkan lima helikopter secara bersamaan. Dari darat ratusan orang dari TNI, Polri, instansi pemerintah daerah, perusahaan swasta dan masyarakat masih menggempur api yang tengah berkobar.
Heli jenis Kamov, misalnya, mampu membawa empat ton air dalam sekali angkut. Dalam satu hari, heli itu mampu menyiramkan 120 ribu liter. Ditambah lagi heli Sikorsky yang mampu membawa beban lebih besar yang mampu menyiramkan 800 ribu liter air dalam satu hari. Namun, air sebanyak itu belum mampu memadamkan api kebakaran di Dumai.
Menurut Edwar, total luas lahan terbakar di Dumai sudah lebih dari 140 hektar. Di satu lokasi saja, yaitu Desa Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, kebakaran mencapai 35 hektar. Belum ada tanda-tanda api akan kalah atau dikendalikan setelah dibombardir dari udara.
Hari ini titik api semakin menyebar di Rokan Hilir dan beberapa wilayah lainnya di Riau. Untungnya, ada kabar baik dari BMKG. Menurut Kepala Stasiun Meteorologi Pekanbaru, Sukisno, bibit-bibit awan hujan terlihat di beberapa wilayah Riau. Besar kemungkinan bakal turun hujan ringan dan lokal di beberapa wilayah yang terbakar pada malam ini.
Mudah-mudahan hujan itu memang terjadi dan memadamkan api yang mulai membara, sehingga ada waktu meningkatkan sosialisasi dan tekanan kepada warga di daerah rawan kebakaran. Kalau tidak, pekerjaan pemadaman akan semakin sulit. Sementara, ajang Asian Games semakin mendekat dan asap tidak mengenal sekat atau pembatas wilayah. Tak kenal pula kompromi pada gelaran olahraga pada level apapun.