Kenaikan Cukai Rokok Efektif untuk Tekan Jumlah Perokok
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penaikan cukai rokok niscaya dilakukan sebagai salah satu cara menekan jumlah perokok baru dalam usia yang masih sangat muda. Selain itu, penaikan cukai rokok akan efektif membuat rakyat miskin tidak bisa mudah mengakses rokok. Harapannya, hal ini bisa membuat masyarakat miskin memprioritaskan pengeluaran untuk makanan bergizi dan pendidikan.
Kenaikan harga rokok di Indonesia relatif tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan per kapita rakyat. Harga rokok pun tetap relatif murah. Hal ini berbeda dengan negara-negara seperti Ukraina, Thailand, Filipina, bahkan Bangladesh yang kenaikan harga rokoknya drastis setiap kali pendapatan per kapita meningkat.
Berbeda dengan di Indonesia, harga rokok di Ukraina, Thailand, Filipina, bahkan Bangladesh naik drastis setiap kali pendapatan per kapita meningkat.
Hal itu dibahas dalam diskusi "Rakyat Siap Rokok Mahal, Menteri Keuangan Jangan Gagap" di Jakarta, Selasa (17/7/2018). Dalam diskusi ini dipaparkan hasil survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) terhadap 1.000 responden berumur 18 tahun ke atas mengenai pendapat mereka mengenai kenaikan harga rokok.
"Dari wawancara mendalam, 66 persen responden mengatakan akan berhenti membeli rokok jika harga per bungkusnya Rp 60.000. Sisanya mengatakan akan berhenti jika harga rokok tembus Rp 70.000 per bungkus," kata peneliti PKJS-UI Renny Nurhasana. Saat ini, harga rokok berkisar Rp 9.000 hingga Rp 25.000 per bungkus tergantung merek dan jumlah isi kemasan.
Dari wawancara mendalam, 66 persen responden mengatakan akan berhenti membeli rokok jika harga per bungkusnya Rp 60.000.
Renny mengungkapkan, semua responden yang merokok mengaku mengetahui dampak rokok terhadap kesehatan. Akan tetapi, mereka tidak bisa berhenti dengan alasan merasa tidak nyaman apabila tidak merokok. Selain itu, responden menilai tubuh mereka relatif sehat meskipun merokok setiap hari. Padahal, dampak buruk baru akan terlihat beberapa tahun mendatang.
Memiskinkan
Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel mengatakan, pemerintah membagi penduduk Indonesia menjadi lima golongan. Golongan pertama atau Q1 adalah untuk golongan terkaya yang jumlahnya 20 persen dari total penduduk dan Q5 yang merupakan penduduk termiskin. Jumlah penduduk termiskin juga 20 persen dari keseluruhan rakyat.
Pada kelompok Q5, rokok justru menjadi prioritas nomor dua setelah beras. Uang yang digunakan untuk membeli rokok lima kali lebih banyak daripada yang digunakan untuk biaya pendidikan anak. Bahkan, pengeluaran rokok 3,2 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk membeli telur ayam dan 3,3 kali lebih banyak daripada untuk membeli daging ayam.
Pada kelompok Q5 atau penduduk termiskin, rokok menjadi prioritas nomor dua setelah beras. Uang untuk membeli rokok lima kali lebih banyak daripada uang untuk biaya pendidikan anak.
"Kalau begini, bisa-bisa dalam keluarga tersebut tidak apa-apa anggotanya tidak makan makanan bergizi dan bersekolah selama mereka bisa terus merokok," tutur Ruddy.
Data TNP2K juga menyoroti bahwa prevalensi merokok pada kelompok Q5 terus meningkat. Pada tahun 2007 jumlah perokok berumur 15 tahun ke atas dari kalangan Q5 ada 30 persen. Pada tahun 2013 persentasenya meningkat menjadi 43,8 persen. Dibandingkan dengan Q5, jumlah perokok dari golongan terkaya, yaitu Q1 menurun, walaupun tidak signifikan. Persentase perokok di kalangan ini adalah 29,6 persen di tahun 2007 dan 29,4 persen di tahun 2013.
"Lebih mengkhawatirkan lagi, 55,4 persen perokok adalah penduduk berumur 15-19 tahun. Mereka masih masuk golongan anak-anak. Hal ini merupakan hambatan besar dalam proses penanggulangan kemiskinan karena sedari dini masyarakat sudah konsumtif akibat rokok," papar Ruddy.
Produksi asing
Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menerangkan, pendidikan mengenai bahaya rokok kepada masyarakat harus diiringi pengetatan jual-beli rokok. Selain harga dinaikkan agar tidak bisa dijangkau oleh anak-anak, penjualan juga harus disiplin hanya khusus untuk pembeli usia di atas 18 tahun.
Hasbullah yang juga Ketua Tim Peneliti PKJS-UI menuturkan, masyarakat mengira pengetatan peredaran rokok akan mematikan industri rokok, terutama petani tembakau. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2010-2015, 60 persen tembakau yang dipakai untuk rokok adalah hasil impor. Adapun berdasarkan laporan Indonesia Finance Today 2011, 85 persen produsen rokok dimiliki perusahaan asing seperti Phillip Morris dan British-American Tobacco Company.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2010-2015, 60 persen tembakau yang digunakan untuk rokok adalah hasil impor.
"Solusi yang bisa dilakukan ialah menaikkan cukai rokok produksi korporasi. Hasil cukainya digunakan untuk memberdayakan petani tembakau agar mereka bisa beralih ke tanaman lain. Juga untuk peningkatan keterampilan para buruh pabrik rokok agar bisa memiliki kemampuan baru di luar industri rokok," ujarnya.