Icha (16), perempuan pelajar asal Surabaya, Jawa Timur, sesekali menyimpulkan senyumnya saat tengah menggoreskan pensilnya di sebuah kertas di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (10/7/2018). Ia sedang menggambar sesuatu dengan arahan teman yang ada di belakangnya. Bahkan, ia terkadang tertawa ketika gambarnya tidak memenuhi apa yang diinstruksikan temannya. Tawa itu pun dibalas tawa pula oleh yang lain sehingga suasana begitu ceria.
Icha bersama 14 temannya yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia sedang menjalani program Belajar Bersama Maestro yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam program itu, anak-anak yang terpilih akan belajar bersama maestro seni di berbagai bidang seni rupa, tari, musik, hingga media, selama dua pekan, dari 2-15 Juli.
Tahun ini, 2.953 anak mendaftar untuk mengikuti program itu. Namun, hanya 300 anak yang terpilih untuk mengikuti program itu. Nanti mereka akan disebar ke 20 seniman untuk belajar dan hidup bersama para seniman itu. Tujuan dari program itu adalah untuk memahami proses kreatif dan membuat anak-anak itu menjadi manusia yang kreatif. (Kompas, 13/6/2018)
Di Yogyakarta, tujuh seniman dipilih menjadi pembimbing bagi anak-anak itu. Mereka adalah Didik Ninik Thowok, Djaduk Ferianto, Djoko Pekik, Putu Sutawijaya, Miroto, Angki Purbandono, dan Nasirun. Tiap seniman membimbing 15 anak.
Icha dan teman-temannya merupakan kelompok yang dibimbing oleh Djaduk Ferianto. Hal itu sesuai dengan minat mereka dalam bidang musik. Awalnya, mereka berpikir bahwa mereka akan diajarkan mengenai teknik dalam memproduksi bebunyian. Namun, tidak demikian adanya.
Anak-anak itu justru secara langsung diajak untuk belajar tentang hidup dalam keberagaman. Musik hanya perangkat atau media yang digunakan untuk mengekspresikan hal itu.
”Ini sebenarnya tentang bagaimana belajar keindonesiaan. Belajar tidak hanya tentang musik. Musik hanya mediumnya. Di sini, saya tidak akan mengajari mereka bermain gitar, kibor, dan lain-lain,” kata Djaduk.
Djaduk menceritakan, mereka sempat mengaransemen lagu dari Bali berjudul ”Made Cenik” yang menunjukkan keberagaman. Hal itu dilihat dari pemain kendangnya yang berasal dari Jambi, sedangkan penyanyinya justru berasal dari daerah selain Bali juga. Ia menilai, lewat seni perbedaan itu dilebur menjadi keindahan dan malah memperkaya suatu karya.
Sebanyak 15 anak yang dibimbing Djaduk itu berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Ada yang dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, hingga Sulawesi. Mereka telah tinggal bersama selama delapan hari hingga Selasa (17/7/2018).
”Untuk Indonesia, keragaman itu nilai yang penting. Jadi, ini menjadi sebuah upaya menanamkan nasionalisme lewat seni,” kata Djaduk.
Ilham Sudrajat (17), siswa dari Ketapang, Kalimantan Barat, mengatakan, pengalaman bertemu dengan teman-teman dari segala daerah itu menjadi pengalaman yang unik baginya. Kesempatan mengikuti program itu adalah pertama kali ia keluar dari daerah asalnya. Hal itu pun disyukurinya karena dia bisa bertemu dengan teman-teman yang berasal dari sejumlah daerah.
”Kami tinggal di satu rumah yang sama selama program ini. Setiap hari kami bertemu teman dari beberapa daerah. Sebelumnya, keberagaman Indonesia mungkin hanya diajarkan. Kali ini, saya benar-benar mengalaminya,” kata Ilham.
Baiq Wiwin Suryani (16), peserta lain yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, menyepakati hal itu. Kebersamaan menjadi semangat yang dipupuk. ”Karakter peserta ini, kan, macam-macam. Kami jadi seperti belajar saling memahami dan menghargai satu sama lain. Mungkin, ini seperti Indonesia kecil,” tutur Baiq.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengatakan, secara tersirat, kegiatan itu mengharapkan agar para peserta mengalami kebinekaan secara nyata. Tanpa perlu diberi pidato yang justru akan membuat mereka enggan menghidupinya. Ia menilai, seni adalah media yang luwes untuk mendorong orang dari berbagai latar belakang budaya saling berinteraksi.
”Walaupun kami tidak merumuskannya dalam judul, sebetulnya ini adalah praktik mengalami Bhinneka Tunggal Ika secara konkret. Tanpa perlu berpidato, anak-anak langusng mengalami kebinekaan itu,” ujar Hilmar.
Hilmar menambahkan, di akhir proses hidup bersama selama dua pekan itu, anak-anak akan diminta untuk berkolaborasi menghasilkan suatu karya. Menurut dia, negosiasi mengenai ekspresi kultural yang dikemas dalam kesenian akan terjadi. Proses itu membuat anak-anak memiliki pikiran terbuka sehingga kebinekaan tidak sekadar jargon, tetapi benar-benar dihidupi secara nyata.
”Memang perlu diberi kesempatan untuk keluar dari cangkang budayanya sehingga mengenal budaya yang lain. Eksplorasi penjelajahan mereka dalam kebudayaan kita yang bineka ini akan menjadi lebih luas,” ungkap Hilmar.
Selasa sore, suasana kebersamaan dari program Belajar Bersama Seniman juga terasa di Bentara Budaya Yogyakarta. Tiga seniman pembimbing lainnya, yaitu Putu Wijaya, Nasirun, dan Djoko Pekik, berdialog bersama anak bimbingan mereka masing-masing selama program itu.
Sebanyak 45 anak bimbingan dari ketiga seniman itu meramaikan ruang pameran tengah Bentara Budaya Yogyakarta. Mereka duduk saling merapat dan menunjukkan kedekatan. Anak-anak itu juga berasal dari seluruh wilayah yang ada di Indonesia.
Putu mengharapkan agar dalam waktu dua minggu beraktivitas bersama itu menjadi pengalaman yang sangat berarti bagi anak-anak itu. Ia menginginkan anak-anak itu tetap memupuk semangat persaudaraan dan persatuan hingga mereka nanti telah pulang ke rumah masing-masing. ”Semoga semangat dan energinya tetap terus sama dalam berkumpul sebagai orang Indonesia,” ujar Putu.
Keberagaman sudah ada sejak awal bangsa ini menyepakati untuk bersatu menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Keberagaman bukanlah pemisah, melainkan sebuah kekayaan. Seni sebagai sebuah hasil kebudayaan, dengan keluwesannya, membuat keberagaman yang menjadi jati diri bangsa ini saling berpadu sehingga menghasilkan harmoni kehidupan untuk Indonesia.