Proses Hukum Pembantaian Buaya di Sorong Berlanjut
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
MANOKWARI, KOMPAS - Tim penyidik Polres Sorong memeriksa sepuluh saksi yang diduga terlibat dalam pembantaian 292 ekor buaya di lokasi penangkaran milik CV Mitra Lestari Abadi di Kelurahan Klamalu, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Sabtu pekan lalu. Polisi telah menemukan sejumlah terduga yang akan mengarah menjadi tersangka.
“Dari video yang kami dapatkan sudah ada indikasi siapa saja diduga pelaku. Kami masih kumpulkan sejumlah alat bukti lain, termasuk memeriksa sejumlah saksi,” kata Kepala Polres Sorong Ajun Komisaris Besar Dewa Made Sutrahna dihubungi dari Manokwari, Selasa (17/7/2018).
Pembantaian terjadi setelah Sugito (48), warga setempat, diterkam buaya di kolam indukan pada Jumat (14/7/2018). Sugito akhirnya meninggal lantaran menderita luka parah. Ia masuk lokasi penangkaran untuk menyabit rumput tanpa diketahui petugas. Petugas kaget setelah mendengar suara orang berteriak minta tolong.
Pembantaian ratusan buaya jelas tidak dibenarkan.
Sehari usai peristiwa itu, ratusan orang mendatangi lokasi penangkaran membawa senjata tajam dan spanduk berisi kencaman terhadap keberadaan penangkaran yang berjarak lebih kurang 1 kilometer (km) dari pemukiman penduduk itu. Mereka merusak pos pejagaan dan membantai hingga mati 292 buaya. Rinciannya, sepasang indukan dan 290 ekor berukuran panjang dua meteran.
Menurut Dewa, dari rangkaian peristiwa itu, polisi telah membaginya menjadi tiga kasus. Pertama, dugaan kelalaian petugas CV Mitra Lestari Abadi sehingga warga masuk areal penangkaran. Kedua, perusakan pos pejagaan beserta sejumlah fasilitas di dalamnya oleh massa. Kedua kasus tersebut masuk pidana umum.
Konsekuensi hukum
Kasus ketiga adalah pembantaian buaya yang akan diproses sebagai tindak pidana khusus seperti diatur Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. “Proses hukum ini bertujuan menegaskan bahwa segala tindakan yang melanggar hukum akan ada konsekuensinya,” ujar Dewa.
Ia berjanji semua yang terlibat akan diproses. Selain membawa senjata tajam, massa membawa spanduk cetakan. Senin lalu, spanduk itu terpampang di gerbang masuk lokasi penangkaran seluas lebih kurang 1 hektar itu. Spanduk berisi kutukan terhadap penangkaran buaya dan desakan terhadap pemerintah agar menutupnya.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua Barat R Basar Manullang yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya akan membantu polisi dalam proses hukum hingga pengadilan. Ia yakin, polisi berkerja profesional. Pembantaian ratusan buaya jelas tidak dibenarkan.
Ia menambahkan, izin penangkaran milik CV Mitra Lestari Abadi untuk sementara telah dibekukan. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas penangkaran. Lokasi penangkaran itu mulai beroperasi tahun 2008.
Senin lalu, Tutut Heri Wibowo Kepala Bidang Teknis Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Papua Barat menuturkan, penangkaran itu bertujuan untuk kepentingan komersial perusahaan. “Tidak melanggar hukum kalau penangkaran untuk tujuan komersial,” ujarnya.
Syaratnya, buaya dimaksud harus sudah memenuhi sejumlah standar, di antaranya hasil perkawinan buaya yang dibawa dari alam. Ukuran buaya yang dikuliti harus memiliki lebar dada tidak kurang dari 30 sentimeter (sekitar 12 inci). Proses itu juga harus dihadiri petugas dari BKSDA Papua Barat.