Standar Mutu Pendidikan Belum Dipahami
Proses pendidikan masih jauh dari acuan mutu yang ditetapkan. Pelaku pendidikan belum paham dan juga tidak mengenali indikator standar mutu pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS - Pendidikan bermutu yang mengacu pada delapan standar nasional pendidikan untuk mewujudkan sekolah berkualitas belum dipahami sepenuhnya. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan tidak mengacu pada standar mutu yang sudah ditetapkan.
Pemerintah pun terus sibuk mengutak-atik aturan daripada memastikan semua sumber daya pendidikan menjalankan perannya. Sementara di tingkat sekolah, proses pendidikan jauh dari acuan mutu yang sudah ditetapkan.
Upaya untuk pemetaan mutu pendidikan (PMP) dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan dukungan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 34 provinsi mulai tahun 2016. Tiap sekolah diberi rapor tentang pencapaian standar mutunya terhadap delapan standar nasional pendidikan (SNP) yang diharapkan jadi potret untuk perbaikan di semua sekolah.
Praktisi Pendidikan Aulia Wijiasih di Jakarta, Selasa (17/7/2018), mengatakan standar mutu yang mengacu pada delapan SNP banyak tidak dipahami. Hal-hal yang diatur dalam tiap standar, ditambah regulasi lainnya, tidak disinkronkan atau dihubungkan satu-sama lain.
"Praktik pendidikan dan pengambilan kebijakan pendidikan jadi melenceng dari acuan standar mutu yang ada. Akibatnya, banyak program yang dijejalkan ke sekolah, yang format laporannya pun beda-beda. Belum ada upaya sinkronisasi yang sungguh-sungguh dengan tujuan untuk mencapai sekolah bermutu," ujar Aulia.
Aulia mencontohkan prinsip pokok dalam proses pembelajaran yang seharusnya tercermin dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) di kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 memiliki prinsip yang sama. Jika standar proses ini jadi acuan, pembelajaran di sekolah sudah mencakup untuk membangun karakter siswa dan literasi. Demikian pula dengan high order thinking skills hingga pembelajaran kolaboratif. Bahkan, memperhatikan perbedaan individu.
"Penjaminan mutu yang dimulai dari evaluasi diri sekolah, belum mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Sekolah terbiasa mengisi yang baik-baik di akreditasi sekolah maupun data pokok pendidikan. Belum ada kejujuran untuk mengatakan kekurangan dalam menjalankan standar mutu. Data di PMP masih belum mencerminkan yang sesungguhnya. Lebih banyak jawaban baik-baik, padahal di salah satu standar seperti standar proses juga belum terpenuhi," kata Aulia.
Belum obyektif
Aulia menambahkan evaluasi diri sekolah hingga PMP belum obyektif karena indikator mutu yang sudah ditetapkan bukan hanya tidak dipahami guru. Para pengawas, evaluator, asesor akreditasi, bahkan nara sumber dan instruktur pun banyak tidak mengenali indikator mutu. Akibatnya, kebijakan dibuat saling tabrak dan selalu membuat peraturan menteri dan kebijakan baru seakan tidak ada di standar mutu.
“Akhirnya para guru jadi pusing dan dibebani urusan administratif. Soalnya, kebijakan yang dibuat saling tabrak dengan istilah-istilah baru. Padahal semua itu seharusnya jadi turunan standar mutu," ujar Aulia.
Pengawas SMK di Kabupaten Subang, Priyanto, mengatakan sekolah terus dibebani dengan banyak program dari berbagai institusi di Kemdikbud. Namun, seringkali tidak terhubung satu-sama lain dan tidak jelas pemanfaatannya bagi peningkatan mutu sekolah.
Sekolah terus dibebani dengan banyak program dari berbagai institusi di Kemdikbud. Namun, seringkali tidak terhubung satu-sama lain dan tidak jelas pemanfaatannya
Priyanto mengatakan program penjaminan mutu pendidikan mengharuskan tiap sekolah yang diwakili pengawas, kepala sekolah, guru, siswa, dan komite sekolah mengisi pertanyaan hingga sekitar 700 butir. Banyak dari pertanyaan itu yang kemudian dijawab tidak sesuai kondisi. Hasil rapor sekolah pun cenderung telah memenuhi SNP.
"Jika sekolah ditanya, mau mengacu pada PMP atau akreditasi dalam perbaikan sekolah, ya mereka bingung. Ada yang jika dicek, apa yang dijawab di PMP tidk tercermin dalam pengelolaan, rencana penganggaran, hingga rencana pembelajaran. Banyak program ke sekolah dengan kepentingan yang beda-beda, belum diselaraskan untuk satu tujuan pada mutu," kata Priyanto.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian dan Pendidikan, Hamid Muhammad mengatakan LPMP setiap tahun mengeluarkan rapor mutu sekolah per provinsi/kabupaten/kota sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu internal. Adapun akreditasi diterbitkan setiap lima tahun sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu eksternal.
"Dua aspek ini sedang dijajaki sebagai indikator pemetaan mutu pendidikan. Pemetaan mutu sekolah dilakukan sejak 2016. Hasilnya untuk masukan bagi pemda untuk memperbaiki aspek-aspek yang masih di bawah standar," kata Hamid.
Untuk sementara, rapor mutu hanya untuk kepentingan pemda. Selain itu, untuk perencanaan tahunan Kemdikbud.