Berbagi demi Negeri Kopi Tetap Abadi
Nikmat secangkir kopi negeri ini tak hadir begitu saja. Ceritanya panjang. Dari penanaman, pengolahan, hingga penyajian selalu melibatkan banyak tangan manusia.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 saat Deri Yasnur (25) kembali membuka kedai kopi miliknya, D’Kuffee, di Jalan Sriwijaya 123, Regol, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/7/2018). Di kedai berukuran 10 meter x 10 meter itu, tangan perempuan berusia 25 tahun ini cekatan.
Untuk secangkir kopi, ia menimbang 16 gram biji kopi puntang dari Malabar, Kabupaten Bandung. Biji kopi kemudian digiling sebelum diseduh menggunakan teknik V60.
Teknik V60, kata Deri, adalah cara meracik kopi yang pertama ia kuasai setelah ikut pelatihan barista awal tahun lalu. Pelatihan ini hasil kerja sama PT Agro Jabar, badan usaha milik daerah Jawa Barat, dengan Kedai Kopi Aing Bandung. Di sana, Deri mendapat banyak pengalaman tentang kopi dari hulu ke hilir, mulai dari pemilihan bibit terbaik hingga manajemen usaha.
”Bekal manajemen usaha membantu saya bangkit setelah terpuruk di bisnis makanan Korea. Sekarang, saya lebih rapi menata keuangan dan terbiasa menyisipkan banyak kreativitas membesarkan usaha ini,” katanya.
Salah satu kreativitas itu diwujudkan dengan membuat kedai kopi digabungkan dengan tempat pangkas rambut. Harapannya, konsumen yang menunggu dipangkas rambutnya bisa menikmati kopi seharga Rp 12.000-Rp 25.000 per gelas. Usahanya berbuah manis. Kopi dan pangkas rambut memberikan penghasilan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan makanan Korea.
Dalam sebulan, ia untung lebih dari Rp 10 juta.
”Beruntung bisa ikut pelatihan barista dan bertemu Kang Evin. Banyak ilmu yang ia berikan, bahkan terus berlanjut setelah pelatihan usai,” katanya.
Tumbuh bersama
Evin Brenda (33) bukan orang sembarangan di dunia barista Jabar. Barista Kedai Kopi Aing ini pernah jadi juri beberapa kontes kopi nasional. Dengan keahliannya, dia bisa saja menerima tawaran kedai kopi ternama. Namun, ia tak sekadar mencari rupiah. ”Senang bisa berbagi. Prinsip utama saya, semua orang harus tumbuh bersama,” ujarnya.
Dua tahun berdiri, Kedai Kopi Aing telah tiga kali menggelar kursus pendek barista dalam sehari. Setiap kursus diikuti sekitar 20 orang dari berbagai latar belakang. Evin tidak mematok tarifnya. Peserta hanya membayar Rp 500.000 per orang untuk belanja bahan saat latihan. Di tempat khusus kursus barista, biayanya bisa Rp 5 juta per orang.
Evin menjamin tak asal-asalan berbagi ilmu. Bagi dia, seorang barista harus mengerti suka duka mulai dari kopi ditanam, didistribusikan ke kafe-kafe, hingga manajemen perdagangannya.
”Sebagian pesertanya sudah ada yang berani buka kedai sendiri. Tak sedikit juga berbagi ilmu tentang kopi kepada orang di sekitarnya,” kata Evin yang pernah sebulan di Italia menimba beragam ilmu tentang kopi.
Berbagi dan tumbuh bersama juga hadir di Jawa Tengah. Muhammad Rosyid (38), anak dari petani kopi di kebun Sirap, Gunung Kelir, Semarang, mendapatkannya dari penggemar kopi di Semarang dan Salatiga. Dari sana, ia sadar, kopi yang ditanam keluarganya berpotensi jadi ladang bisnis.
Hanya dalam tempo enam bulan, Warung Ndeso Kopi Sirap yang dikelolanya naik omzet. Semula kedai di tengah perkebunan kopi rakyat Gunung Kelir itu menghabiskan 1,5 kilogram per hari. Kini, saat akhir pekan, kopi yang dihabiskan bahkan mencapai 3 kilogram per hari. ”Popularitas kedai naik setelah film Filosofi Kopi. Ini enaknya, dapat promosi gratis,” ujarnya.
Kini, kedai itu diawaki 10 anak muda. Semuanya adalah anak desa dan kecamatan setempat. Mereka yang sudah mahir dan punya keyakinan bahkan membuka kedai di lokasi tempat tinggal, seperti di Kecamatan Karangjati, Ungaran, dan Ambarawa. Tak hanya meracik kopi, mereka juga rajin mengajari ibu-ibu memilah dan mengolah kopi.
Promosi kopi
Komunitas Kopi Lover Salatiga juga percaya diri. Berdiri lima tahun lalu, 20 orang dari 32 anggotanya sudah mengelola kedai kopi sendiri. Namun, hal itu tak membuat mereka besar kepala. Munadi (31), pemilik kedai Logos Cafe, mengatakan, promosi kopi gratis dilakukan sebulan sekali. Jumlahnya bisa mencapai 150 gelas kopi.
Meski baru enam bulan resmi jadi barista, Ekbar Yuditia (20), barista D’kuffee di Bandung, punya banyak pengalaman. Dia jadi guru bagi dua rekannya, mantan pelayan toko di Garut, yang belajar jadi barista. Dia berpesan untuk selalu berbagi ilmu kepada siapa saja. ”Tidak ada alasan saya meminta imbalan dari mereka yang semangat belajar meracik kopi,” ujarnya.
Kisah saling berbagi ini hanya secuil dari bait kopi Nusantara. Melalui Jelajah Kopi Nusantara, harian Kompas bersama Bank BRI sudah mencoba menggali kekayaan itu. Tim melakukan penelusuran dari Aceh hingga Papua, menjadi saksi jatuh bangun, sukacita, dan semangat berbagi manusia Indonesia bersama kopi. Hasil reportasenya telah dipublikasikan selama 11 April-6 Juni 2018.
Tak ingin dinikmati sendiri, kini digelar Festival Kopi Nusantara di Bentara Budaya Jakarta pada 19-22 Juli 2018. Para petani dari sembilan daerah di Indonesia bakal unjuk gigi bersanding dengan pameran foto dan video liputan jelajah kopi. Ada juga kelas belajar roasting.
Cerita panjang negeri kopi mungkin tak akan cukup dikisahkan dalam waktu singkat itu. Namun, melalui semuanya, harian Kompas punya keinginan kuat agar komoditas ini bangkit dan menyejahterakan masyarakatnya. (WHO/TAM/CHE)