Kunci Indonesia Sampai ke Revolusi Industri 4.0 Ada di Perguruan Tinggi
Oleh
Aditya Putra Perdana
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Revolusi Industri 4.0 atau revolusi industri gelombang keempat mulai mengubah banyak hal, termasuk di Indonesia. Disrupsi terjadi di berbagai bidang dan diprediksi meniadakan sejumlah pekerjaan. Namun, peluang besar menjadi negara maju juga terbuka lebar.
Hanya saja, untuk benar-benar bisa menangkap peluang tersebut dan beranjak ke level industri 4.0, penguatan pada tahapan sebelumnya mesti dilakukan selain pengembangan teknologi desain. Perguruan tinggi punya peran penting untuk mewujudkannya.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri Soerjono pada seminar nasional ”Peranan Perguruan Tinggi dalam Era Revolusi Industri 4.0” di Kampus Universitas Semarang di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (19/7/2018), mengatakan, suatu industri bisa beranjak ke tingkat 4.0 jika sudah menggunakan automation atau otomatisasi.
”Jika belum ada otomatisasi, tak bisa langsung loncat ke 4.0. Selanjutnya, yang perlu dikembangkan ialah masuk pada level teknologi desain karena selama ini kita baru pada teknologi proses. Di Batam ada pabrik smartphone, tetapi baru sebatas processing. Kuncinya (untuk sampai pada teknologi desain) ada di perguruan tinggi,” tutur Soerjono.
Dia menambahkan, membuat Indonesia masuk ke tahap 4.0 harus dimulai dari sektor-sektor industri prioritas, yakni makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, dan elektronik. Langkah mendesak antara lain melalui pemberian insentif teknologi, peningkatan keterampilan pada pendidikan vokasi, pembentukan pusat inovasi, dan dukungan untuk UMKM.
Oleh karena itu, lanjut Soerjono, pihaknya siap bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam membawa Indonesia menuju industri 4.0. ”Langkah ini harus dimulai. Jangan terlalu lama. Menteri Perindustrian menitipkan, apabila perguruan tinggi melakukan kegiatan yang sifatnya mengarah pada lima sektor tersebut, Kementerian Perindustrian supaya dilibatkan,” ujarnya.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menuturkan, Revolusi Industri 4.0 telah memberikan dampak, baik besar pada level global, nasional, maupun individual. Ia mencontohkan, di Amerika Serikat, 3.500 pekerjaan hilang, tetapi 19.000 pekerjaan baru tercipta. Namun, untuk tingkat dunia, 7,1 juta pekerjaan hilang dan hanya 1 juta pekerjaan baru tercipta.
Menurut Arif, menghadapi itu semua, perguruan tinggi tak boleh terus bernostalgia dengan masa lalu. ”Apabila terus berpikir masa lalu, kita akan ditinggal. IPB dan perguruan tinggi besar lainnya, misalnya, tak boleh lengah karena menganggap diri besar. Kampus-kampus besar harus terus bergerak,” ujarnya.
Ke depan, lanjut Arif, perguruan tinggi harus melihat dari sisi output atau hasil pendidikan tinggi, dengan menyesuaikan keterampilan yang diperlukan pasar. Pada era saat ini, hal-hal pokok yang harus dikuasai mahasiswa adalah kemampuan literasi yang tinggi, antara lain literasi digital, numerik, dan finansial.
Arif menambahkan, untuk mendukung itu, harus ada perubahan kurikulum, seperti yang dilakukannya di IPB. ”Tahun ini kami sedang proses, akan ada perubahan (kurikulum) besar-besaran. Ini juga agar mahasiswa menguasai kompetensi yang dibutuhkan masa depan, seperti berpikir kritis, kemampuan komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas,” tuturnya.
Sementara itu, berdasarkan Forum Ekonomi Dunia, lanjut Arif, tingkat IQ dan bersekolah di sekolah favorit bukan faktor-faktor utama kesuksesan. Adapun 10 faktor utama antara lain kejujuran, kedisiplinan, keterampilan interpersonal, kepribadian yang kompetitif, dan mencintai apa yang dikerjakan.
Ketua Pembina Yayasan Alumni Universitas Diponegoro Muladi mengemukakan, disrupsi teknologi merupakan bagian dari solusi menciptakan lapangan pekerjaan. Karena itu, menurut dia, hal itu tak perlu didramatisasi, justru diyakini akan lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan ketimbang pengangguran massal.