Mereka yang Memutuskan Pindah Partai
Politik Indonesia menjelang Pemilu 2019 tak ubahnya seperti sepak bola. Menjelang dimulainya kompetisi, klub sepak bola biasanya gencar melakukan transfer pemain. Begitu pula partai politik, yang setiap mendekati pemilu, rajin merekrut kader partai lain. Bahkan, sampai muncul kabar ada biaya transfer di baliknya, sama seperti perpindahan pemain di sepak bola.
Artis Lucky Hakim menjadi satu di antaranya. Terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai Amanat Nasional (PAN), Lucky memilih menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Nasdem untuk Pemilu 2019.
Sejak terpilih jadi anggota DPR lewat Pemilu 2014, Lucky merasa tidak nyaman di PAN. Posisinya sebagai anggota DPR, menurut dia, terus dirongrong. Puncaknya, pada akhir Januari silam, dia diberhentikan dari PAN, dan posisinya di DPR diganti kader PAN lainnya.
Lucky juga mengaku tidak nyaman setelah melihat sikap politik PAN yang, menurut dia, mendua. Di satu sisi, PAN masuk dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, bahkan ada kadernya yang masuk di kabinet. Namun, di sisi lain, elite PAN sering mengkritik pemerintah. Sikap ini membuat dia sering dikritik konstituennya, di Kota Depok dan Kota Bekasi yang menjadi daerah pemilihan dirinya pada Pemilu 2014. ”Kekecewaan konstituen ini bisa membuat saya kehilangan suara,” katanya, Rabu (18/7/2018).
Lucky lalu pindah ke Nasdem dan menjadi caleg dari partai itu. Namun, lalu beredar kabar, ada biaya transfer yang membuat dia memilih pindah ke Nasdem.
”Dia SMS ke saya. Ada WA (Whatsapp)-nya. Selain (kecewa) karena di PAW, dia pindah karena dijanjikan uang Rp 5 miliar. Dari jumlah itu, dia sudah terima Rp 2 miliar,” kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, di Jakarta, Rabu (18/7/2018).
Ditanyakan dari siapa uang itu, Zulkifli mengaku tak mengetahuinya. ”Pokoknya, dia bilang ada transfernya,” katanya.
”Kalau semua diukur pakai uang, pilkada pakai uang, lalu pilihan DPR pakai uang, semua pakai uang, ya, kehancuran pasti datang, pasti korupsi merajalela. Jadi, betapa kerasnya kerja KPK, ya, tetap saja nanti masih banyak OTT (operasi tangkap tangan),” tambah Zulkifli.
Lucky membantah kabar ini. ”Itu hanya rumor yang sengaja dikembangkan untuk menjatuhkan saya dan Nasdem. Adanya pemberian uang tersebut jelas tidak masuk akal. Masak keluar dari DPR hanya untuk dapat uang segitu? Kalau saya bertahan di DPR, saya bisa dapat lebih banyak dari itu,” ujarnya.
Ketua DPP Nasdem Willy Aditya pun membantahnya. Menurut dia, masuknya Lucky dan sejumlah kader partai lain ke Nasdem karena partainya menawarkan program yang nyata. Nasdem juga tidak pernah meminta mahar dari mereka yang ingin jadi caleg.
Konflik
Tak hanya Lucky, sejumlah kader Partai Hanura juga pindah untuk Pemilu 2019. Dari total 16 anggota DPR dari Hanura pada saat ini, misalnya, setidaknya enam orang memilih pindah partai. Lima orang menjadi caleg dari Nasdem dan satu memilih maju dari PAN.
Anggota DPR dari Hanura yang memilih jadi caleg Nasdem, Dadang Rusdiana, mengatakan konflik di Hanura jadi pemicu dia dan lima anggota DPR Hanura lain memilih pindah. ”Kalau tak ada konflik, saya pasti tetap di Hanura,” ujarnya.
Dadang dan lima anggota DPR dari Hanura lainnya merupakan pendukung dari Musyawarah Nasional Luar Biasa Hanura yang menetapkan Daryatmo jadi Ketua Umum Hanura dan Sekjen Sarifuddin Sudding, 18 Januari lalu. Sementara yang diakui negara dan diterima sebagai peserta Pemilu 2019 adalah Hanura di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang dengan sekjen Herry Lontung Siregar.
Dinamika di Hanura tak hanya membuat Dadang tidak nyaman, Namun, juga dia nilai dapat mempersulit Hanura merebut suara di 2019 dan lolos ambang batas parlemen yang pada Pemilu 2019 besarnya 4 persen. Lagi pula, jika tetap di Hanura, dia yakin tak akan didaftarkan jadi caleg oleh kubu Oesman.
Di partai lain, seperti Golkar, juga ada mantan kadernya yang mencalonkan diri pada pemilu legislatif dari partai lain. Hal ini, antara lain, dipicu oleh hubungan dengan elite partai yang dirasakan sudah tidak kondusif atau kecewa dengan sikap politik partai maupun elitenya.
Hal itu, misalnya, tampak dari keluarnya Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto dan Syahrul Yasin Limpo dari Golkar untuk lalu jadi caleg dari Partai Berkarya dan Partai Nasdem. Sebelumnya, Syahrul sangat aktif di Golkar, bahkan pernah mencalonkan diri jadi ketua umum partai saat Musyawarah Nasional Luar Biasa 2016. Demikian pula Titiek yang pada Munaslub 2017 juga pernah berwacana mau maju jadi calon ketum partai.
Fenomena pindah partai yang juga telah terjadi di beberapa pemilu sebelumnya itu, tak hanya dipicu oleh kekecewaan sejumlah politisi atas kondisi di partai sebelumnya. Kontestasi pada Pemilu 2019 yang akan ketat juga membuat politisi mencari jalan yang lebih pasti untuk menang.
Syahrul mengatakan, keputusannya untuk pindah partai didasari kebutuhan akan panggung yang kondusif untuk pemikiran dan gagasannya.
Akhirnya, fenomena pindah partai yang juga telah terjadi di beberapa pemilu sebelumnya itu, tak hanya dipicu oleh kekecewaan sejumlah politisi atas kondisi di partai sebelumnya. Kontestasi pada Pemilu 2019 yang akan ketat juga membuat politisi mencari jalan yang lebih pasti untuk menang.
Hal ini lalu berkorelasi dengan kebutuhan partai pada Pemilu 2019. Partai dituntut untuk meraih suara besar, setidaknya untuk lolos dari ambang batas parlemen. Sementara pada saat bersamaan, partai juga tidak optimal melakukan kaderisasi sehingga terpaksa mengambil kader partai lain yang sudah memiliki modal jaringan dan popularitas sebagai anggota DPR petahana.
Saat kebutuhan politik praktis sejumlah politisi ini menyatu dengan kepentingan partai, akhirnya keduanya mungkin diuntungkan. Lalu, siapa yang dirugikan?