Musim Hujan Tiba, Pengungsi Rohingya Terancam Banjir dan Longsor
Oleh
RETNO BINTARTI
·4 menit baca
Hidup di pengungsian dengan naungan seadanya sudah dialami Mustawkima, perempuan Rohingya, serta ratusan ribu pengungsi di Bangladesh. Belakangan ketidaknyamanan itu masih harus ditambah dengan persoalan baru akibat turunnya hujan terus-menerus. Sejak Juni, sudah lebih dari 160 longsor terjadi di kamp-kamp pengungsian para warga Rohingya di Bangladesh, menelan korban jiwa seorang anak dan melukai sekitar 30 orang.
Mustawkima yang hidup dengan lima anaknya tak punya pilihan selain tetap berada di pengungsian di Ukhiya. Suaminya tewas pada Agustus 2017 setelah militer menyerang kampungnya di Myanmar. Perempuan ini bertahan di tempat pengungsian bersama sanak famili yang mengalami nasib serupa dirinya.
Pertama di pengungsian, Mustawkima dan anak-anaknya tinggal di sebuah area yang belakangan terpaksa dia tinggalkan karena tanah tempat tinggalnya tersapu banjir. Dia pindah di bukit lebih tinggi dengan mendirikan tenda berbahan terpal tipis di tepi jalan. Namun, saat hujan mulai turun pada bulan Juni, air dengan cepat mengguyur masuk tenda, membuat kotor dan becek tempat pengungsiannya.
Dia terpaksa menjual barang-barang bantuan, seperti beras, biji-bijian, dan minyak, agar bisa mendapatkan uang untuk membayar orang memberikan perlindungan yang lebih kuat dari sekadar tenda tipis. Bambu dan pasir dia peroleh dari badan-badan penolong.
Semua itu kemungkinan tak cukup, tetapi apa boleh buat, tidak ada uang lagi untuk membeli bambu. Mustawkima menuturkan, sanak familinya yang hidup dalam lima atap di bukit baru-baru ini dievakuasi. Dia berharap, saudaranya tetap bisa melindungi dirinya serta anak-anak jika hujan besar datang.
Sebanyak 900.000 warga Rohingya berada di Bangladesh akibat kekerasan yang mereka alami di Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah memfasilitasi perjanjian dengan Pemerintah Myanmar agar warga minoritas Rohingya bisa kembali pulang. Berkali-kali jadwal rencana pengembalian tertunda. Warga merasa ragu dengan keselamatan dan masa depan mereka jika kembali pulang.
Ancaman hujan deras
Setelah hampir setahun, kini ancaman baru muncul, berupa banjir dan tanah longsor di lokasi-lokasi pengungsian. Hujan paling intens diperkirakan akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Namun, sejak bulan Juni, kamp-kamp pengungsi sudah mulai diganggu hujan deras.
”Dalam waktu 24 jam sejak pertama hujan turun, kami melihat longsor kecil di mana-mana,” kata Daphnee Cook, juru bicara organisasi Save the Children. ”Saya sudah berada di sini selama tujuh bulan dan saya ngeri melihat bagaimana segala sesuatunya terjadi begitu cepat, memorakporandakan,” katanya.
Keganasan hujan dan daya rusaknya sangat menakjubkan. Dalam hitungan menit, curahan air hujan yang deras mampu membuat bukit menjadi air terjun. Air berlumpur mengalir di anak-anak tangga yang kotor.
Keadaan seperti ini memicu persoalan lain berupa penyebaran penyakit, terutama kolera. Bersamaan dengan datangnya lumpur, kakus di sekitar ikut tergenang. Pompa air umumnya berada hanya beberapa meter saja. Petugas pembantu sudah membersihkan ribuan kakus. Anak-anak diberi gelang khusus mengantisipasi terhadap kemungkinan mereka terpisah dari keluarnya saat banjir datang.
Topografi di tempat pengungsian menjadi persoalan tersendiri. Pohon-pohon yang dulu terhampar di bukit sudah ditebang agar memberi ruang untuk membuat tempat bernaung. Akar-akar pohon diambil untuk bahan bakar. Akibatnya, tanah menjadi rapuh dan berbahaya.
Luka sodet di kepala Mohamed Alom, seorang pengungsi, seperti mengingatkan tentang bahaya longsor tersebut. Pria berusia 27 tahun ini sedang lelap tertidur di tenda ketika semburan lumpur menerjang dinding plastik tempat tinggalnya. Alom dan keluarga bersama beberapa orang lainnya kini ditampung di sebuah ruang kelas sekolah.
Belum diketahui sampai kapan dia bisa mendapat tempat baru. Menurut Kelompok Koodinasi Inter Sektor (ISCG), lebih dari 200.000 orang hidup di wilayah yang berisiko terhadap banjir dan longsor. Sekitar 34.000 pengungsi telah direlokasi di area lain dengan tempat penampungan yang lebih kuat, jauh dari bukit.
Hotiza Begum (25), pengungsi lainnya, baru-baru ini pindah ke tempat penampungan baru bersama suami dan lima anaknya setelah lumpur menghantam atap tenda pengungsiannya. Untuk sementara, keluarganya aman meski dia harus hidup lebih berat karena semakin jauh mendapat kayu bakar dan semakin jauh dari pasar.
Hal serupa terjadi pada keluarga Abu Bakker. Ibu Bakker yang berusia 60 tahun sedang berupaya mengeluarkan lumpur dari dalam tempat pengungsiannya ketika longsor datang dan menimbun tubuhnya. Bakker berhasil mengangkat ibunya yang terkubur dalam kondisi ketakutan.
Untuk sementara entah sampai kapan, keluarga-keluarga warga Rohingya tetap memilih hidup di pengungsian. ”Di Myanmar menakutkan karena tidak ada jaminan untuk nyawa kali,” kata Alom. ”Di sini, kendati ada longsor, paling tidak kami tidak takut dengan militer.” (AP)