Keriuhan menjelang Pemilu 2019 semakin terasa. Partai politik sudah menyerahkan daftar nama calon anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum sesuai tingkatan pencalonan. Beberapa pekan mendatang, parpol bakal mendaftarkan presiden dan wakil presiden. Di tengah tekanan kerja yang akan kian berat itu, ada ”peringatan” dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Beberapa bulan mendatang, beban kerja penyelenggara pemilu, baik jajaran Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu, akan terakselerasi. Jajaran KPU, diawasi personel Bawaslu, memverifikasi calon di 80 daerah pemilihan DPR RI, 272 daerah pemilihan DPRD provinsi, serta 2.206 dapil DPRD kabupaten/kota. Kemudian, juga ada verifikasi terhadap pemenuhan syarat sekitar 800 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada 4-10 Agustus, KPU RI juga akan menerima pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Nantinya, setelah selesai dengan proses verifikasi terhadap calon anggota DPR, DPRD, DPD, serta pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, tahapan kampanye akan dimulai pada 23 September. Masa kampanye akan berlangsung hingga 13 April, hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara pada 17 April 2019.
Di tengah persiapan itu, data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bisa mengirim ”sinyal” peringatan bagi penyelenggara pemilu untuk lebih berhati-hati. Dibandingkan dengan total jumlah personel KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah, jumlah penyelenggara yang terkena sanksi etik relatif kecil. Namun, belakangan ini ada kecenderungan perkara yang disidangkan berujung pada sanksi.
Data DKPP dari 12 Juni 2017 hingga 25 Juni 2018, sejak anggota DKPP 2017-2022 dilantik, menunjukkan, dari 332 pengaduan yang masuk ke DKPP, 162 perkara atau 48,8 persen naik ke persidangan. Perkara yang disidangkan itu melibatkan 451 penyelenggara pemilu. Dari jumlah itu, 43,5 persen direhabilitasi, sedangkan 56,5 persen terbukti melanggar sehingga diberi sanksi, seperti teguran, teguran berat, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Sebelumnya, lebih banyak penyelenggara yang direhabilitasi ketimbang dikenai sanksi.
Pelanggaran etik yang terjadi cukup beragam, tetapi sebagian besar disebabkan aspek kelalaian prosedur kerja dan administrasi, kepemimpinan, perlakuan tidak adil, serta aspek kemandirian dan netralitas.
”Angka itu bisa menjadi bahan refleksi penyelenggara pemilu,” kata anggota DKPP, Ida Budhiati, dihubungi dari Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Sebagai pembanding, dari tahun 2012 hingga 2017, DKPP sudah menyidangkan 923 perkara dengan melibatkan 3.598 penyelenggara pemilu, baik dari jajaran KPU maupun Bawaslu sebagai teradu. Dari jumlah itu, penyelenggara yang direhabilitasi mencapai 55,3 persen atau 1.990 orang, sedangkan 44,7 persen dikenai sanksi.
Penguatan penyelenggara
Menurut Ida, meningkatnya persentase perkara yang terbukti bisa disebabkan banyak faktor, termasuk juga kualitas pengaduan. Masyarakat juga sudah punya pemahaman yang lebih baik mengenai ruang lingkup etik serta tata cara beperkara di DKPP. Terlepas dari faktor itu, Ida juga berharap tren pelanggaran etik itu dijadikan sebagai bahan refleksi bagi KPU dan Bawaslu dalam menyeleksi penyelenggara pemilihan di tingkat bawah agar menghasilkan sosok yang berintegritas, kapabel, berdedikasi, dan punya kepemimpinan.
KPU dan Bawaslu harus mampu memberikan pemahaman teknis yang memadai.
Selain itu, kata Ida, penyelenggara di tingkat pusat juga harus bisa memformulasikan regulasi yang tidak multitafsir sehingga memudahkan penyelenggara di provinsi, kabupaten, dan kota.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengingatkan, pergeseran tren putusan DKPP itu perlu dijadikan evaluasi internal secara serius oleh KPU dan Bawaslu. Kedua lembaga itu perlu memperkuat pengawasan internal, serta menjaga kesadaran akan pentingnya menjaga profesionalitas dan imparsialitas penyelenggara pemilu. Sebab, apabila kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu tergerus, kepercayaan terhadap proses pemilu juga akan ikut terkikis.
Fadli menuturkan, tantangan jelang Pemilu 2019 akan semakin besar. Pada tahap pencalonan anggota legislatif, penyelenggara harus mampu menjamin bahwa bakal calon yang tidak memenuhi syarat benar-benar tidak diloloskan. Begitu pun pada tahap kampanye.
”Ada banyak satuan tugas KPU dan Bawaslu sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan sehingga harus dipastikan mereka ini bukan merupakan bagian dari tim pemenangan peserta pemilu. Aspek profesionalitas juga harus dijaga betul,” kata Fadli.
Pertanyaannya, sudahkah ”sinyal” peringatan itu ditangkap penyelenggara pemilu?