JAKARTA, KOMPAS - Mayoritas warga Indonesia menilai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang layak bagi bangsa Indonesia. Namun, masyarakat cenderung masih pesimistis terhadap kepedulian pemerintah terhadap aspirasi dan pendapat mereka untuk perbaikan kebijakan publik.
Dalam hasil survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (P2P LIPI) berjudul ”Partisipasi Kepemimpinan Politik dan Masa Depan Demokrasi”, yang dipaparkan Kamis (19/7/2018), oleh ketua tim survei, yang juga peneliti P2P LIPI, Wawan Ichwanudin, terungkap bahwa 78 persen masyarakat menilai demokrasi adalah sistem yang paling cocok bagi negara Indonesia. Sementara itu, sebanyak 82 persen responden menilai, perjalanan bangsa Indonesia telah demokratis.
”Meskipun masih ada kelemahan dalam demokrasi, secara umum mayoritas responden atau sebanyak 73 persen juga setuju bahwa demokrasi masih lebih baik daripada sistem pemerintahan apa pun yang ada di dunia,” ujar Wawan di Jakarta, Kamis.
Hasil itu terangkum dalam survei yang melibatkan 2.100 responden dari semua provinsi di Indonesia. Survei dilakukan pada 26 April hingga 9 Mei 2018. Adapun penanggap atas hasil survei itu ialah Ketua P2P LIPI Firman Noor dan peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris.
Sebagai dampak dari kehidupan demokrasi, 73,9 persen responden menganggap pendapat mereka perlu didengar pemerintah dalam mengambil kebijakan negara. Di sisi lain, sebagian masyarakat justru pesimistis, pendapat mereka didengarkan dan dipertimbangkan pemerintah dalam mengambil keputusan. Sebanyak 49 persen responden menilai perhatian pejabat pemerintah cenderung kecil terhadap pendapat mereka.
Meskipun masih ada kelemahan dalam demokrasi, secara umum mayoritas responden atau sebanyak 73 persen juga setuju bahwa demokrasi masih lebih baik daripada sistem pemerintahan apa pun yang ada di dunia
Selain itu, sebanyak 74 persen masyarakat yakin, partisipasi mereka di dalam pemilu dapat berkontribusi pada terpilihnya pemimpin yang baik. Jumlah itu paralel dengan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dan pilkada serentak selama ini yang berkisar di sekitar 70 persen.
Ketertarikan politik
Dalam survei itu terungkap pula, mayoritas masyarakat Indonesia (55,1 persen) sebenarnya kurang tertarik terhadap berita politik atau pemerintahan. Sementara 41,3 persen berpendapat sebaliknya.
Bahkan, pembicaraan masalah politik juga cenderung rendah. Sebanyak 36,3 persen responden tidak pernah membicarakan masalah politik dengan keluarga, teman atau tetangga mereka. Hanya 18,4 persen masyarakat yang sering menjadikan persoalan politik sebagai topik pembicaraan dengan kerabat.
Firman menilai, hasil survei yang mengungkap rendahnya keterikatan politik bagi masyarakat bukan hal yang menggembirakan bagi pembangunan demokrasi. Namun, kepercayaan masyarakat bahwa aspirasinya dapat menentukan dalam pembuatan kebijakan pemerintah memberikan sinyal positif bagi kehidupan politik di Tanah Air. ”Politik mungkin dianggap tidak terlalu relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat,” kata Firman.
Meskipun reformasi telah berjalan 20 tahun, Firman berpendapat, kehidupan demokrasi di Indonesia masih bersifat parokial dan subyektif. Hal itu didasari tiga hal, yakni kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kehidupan politik, peranan partai politik yang belum meyakinkan, serta sedikitnya ketersediaan pimpinan politik yang tergugah dan cakap untuk membangun kehidupan politik yang rasional.
Menurut Syamsuddin, masih tingginya partisipasi politik masyarakat menunjukkan Indonesia masih memiliki optimisme terhadap pembangunan demokrasi pada masa depan. Ia menekankan, perkembangan demokrasi sangat ditentukan partisipasi publik.
”Jadi, silakan elite politik melakukan semaunya, sebab pada ujungnya keberlangsungan demokrasi sangat ditentukan partisipasi publik,” ujarnya.