JAKARTA, KOMPAS—Pertambangan emas skala kecil menimbulkan pencemaran merkuri ke lingkungan hidup. Pencemaran merkuri tersebut juga berdampak buruk bagi kesehatan dan penurunan kualitas generasi penerus bangsa.
Direktur Jenderal Pengolahan Sampah, Limbah, Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan, proses ekstraksi emas pada pertambangan emas skala kecil (PESK) di Indonesia umumnya memakai merkuri. Penggunaan merkuri memicu pencemaran lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan jangka panjang.
“Paparan merkuri dapat melalui kulit, udara yang dihirup, maupun endapan pada makanan. Dampaknya tak bisa langsung dirasakan, perlu waktu lebih dari sepuluh tahun,” kata Rosa pada acara temu media tentang pengolahan merkuri di Indonesia, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Menurut Kirana Pritasari, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, merkuri bisa memicu penyakit kronis, yaitu kerusakan sistem saraf, ginjal, paru-paru, hati, dan pencernaan.
Selain itu senyawa ini dapat menyebabkan penyakit akut, khususnya pada bayi, yaitu cacat mental, buta, kerusakan otak, dan gangguan pertumbuhan. “Ibu hamil yang terpapar merkuri berisiko melahirkan anak dengan tingkat intelijensia rendah ataupun keguguran,” kata Kirana.
Ibu hamil yang terpapar merkuri berisiko melahirkan anak dengan tingkat intelijensia rendah ataupun keguguran.
Penertiban
Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, Doni Monardo, , mengatakan, terdapat 850 kawasan PESK di 197 kabupaten atau kota dengan jumlah penambang lebih dari 250.000 orang. “Perlu dilakukan penertiban PESK sebelum kerusakan lingkungan akibat merkuri semakin meluas,” ujarnya.
Seluruh penggunaan merkuri di darat akan mengendap dan terakumulasi ke laut. Adanya rantai makanan membuat biota laut hingga ikan memiliki kandungan merkuri. Ikan dapat berenang pada perairan yang lebih luas sehingga pencemaran merkuri menyebar.
Doni mencontohkan, kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Gunung Botak, Pulau Buru akibat penggunaan merkuri pada PESK, yaitu sagu meranggas, pohon dan hewan mati, serta lingkungan menjadi kering. “Merkuri sudah tidak lagi menjadi ancaman. Kondisi Indonesia saat ini darurat merkuri,” ujarnya.
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) M Hendrasto mengatakan, pengendalian penggunaan merkuri hendaknya tidak berhenti pada penertiban PESK namun juga penertiban tambang batu cinnabar di Pulau Seram. Batu cinnabar merupakan bahan baku merkuri.
Menurutnya, kerja sama antara berbagai kementerian dengan pemerintah daerah diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Hal ini terkait izin pertambangan rakyat dan wilayah pertambangannya,” kata Hendrasto.
Melalui UU Nomor 11 Tahun 2017, pemerintah mengesahkan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri untuk menanggapi keadaan tersebut. Selain itu, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (Raperpres RAN-PPM) yang menjadi payung hukum pengendalian penggunaan PESK di sektor PESK, manufaktur, energi, dan kesehatan.
Hendrasto menambahkan rencana aksi nasional tentang pengurangan dan penghapusan merkuri hendaknya cepat direalisasikan. “Supaya jelas, siapa yang bertugas dan apa saja tugasnya, sehingga pencemaran merkuri dapat dihentikan,” ungkapnya.
Pemerintah bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meneliti teknologi ekstraksi emas ramah lingkungan. Selain itu teknologi pemulihan lahan yang telah tercemar merkuri tengah diteliti. Namun, teknologi itu belum bisa diterapkan karena waktu ekstraksi lama sehingga warga enggan menggunakannya.
Menurut Hendrasto, masalah PESK tidak hanya berdampak pada kesehatan akibat penggunaan merkuri tapi juga pada kehidupan sosial para penambang yang menjadikan PESK sebagai mata pencaharian. “Tambang sebaiknya tidak asal ditutup, para penambang juga perlu dicarikan solusi,” ucapnya. (DIONISIA GUSDA PRIMADITA PUTRI)