Ombudsman: Saber Pungli Tumpang Tindih dan Belum Efektif
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia menilai kinerja Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar atau Saber Pungli belum efektif dalam melakukan tugasnya. Perlu ada prosedur operasi yang lengkap, tidak tumpang tindih dengan lembaga negara lain, serta pemenuhan anggaran yang cukup agar bisa bekerja efektif.
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, Jumat (20/7/2018) di Jakarta, hal utama yang dapat meningkatkan efektivitas kinerja Satgas Saber Pungli adalah menyusun prosedur operasi standar (SOP) yang lengkap.
Adrianus mengatakan, dari hasil kajian Ombudsman RI dari April-Juli 2018, pihaknya menemukan para petugas anggota Unit Pemberantasan Pungli (UPP) di Provinsi dan Kabupaten/Kota belum mengetahui persis bentuk tindak lanjut penindakan terhadap suatu laporan masyarakat ataupun kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang terjadi.
”Kata-kata yang sering muncul adalah bingung mau diapain (laporan masyarakat),” kata Adrianus di depan media seusai penyerahan hasil kajian Ombudsman RI kepada Satgas Saber Pungli di Kuningan, Jakarta Selatan.
Asisten Bidang Pertahanan dan Keamanan Ombudsman RI Pramulya Kurniawan menjelaskan, para petugas tidak punya pegangan yang jelas tentang penindakan setiap kasus pungutan liar. ”Jika ada kasus pungli dengan jumlah kecil, mereka masih belum jelas apakah harus dibawa ke proses hukum atau hanya perlu pembinaan. Ini karena SOP-nya lemah,” kata Pramulya.
SOP yang lemah tersebut, menurut Pramulya, belum menjelaskan bagaimana pembagian tugas antara Satgas Saber Pungli dan lembaga negara lain yang juga mengurusi pelayanan publik, seperti Ombudsman RI. Mengenai pembagian tugas penindakan pungli antara Satgas Saber Pungli dan Ombudsman, Pramulya mengatakan bahwa hal tersebut belum ada aturannya. ”Dengan SOP sebetulnya bisa diatur,” katanya.
Berdasarkan data Ombudsman RI, sepanjang tahun 2017, dari 8.264 pengaduan yang diterima, ada 617 aduan berupa permintaan imbalan uang, barang, dan jasa.
Dalam melakukan kajian, Ombudsman mewawancarai dan meminta data dari Satgas Saber Pungli pusat, Unit Pemberantasan Pungutan Liar Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Ada 29 UPP Provinsi, 16 UPP Kota, dan 19 UPP Kabupaten.
Koordinasi lemah
Koordinasi yang lemah antarkementerian dan lembaga negara yang tergabung dalam Satgas Saber Pungli ini juga dinilai menghambat efektivitas kinerja lembaga yang baru berusia 2 tahun tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016, Satgas Saber Pungli memiliki anggota dari Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman RI, Badan Intelijen Negara, serta Polisi Militer TNI.
Namun, koordinasi yang kurang antarkementerian dan lembaga ini memberi kesan bahwa ini adalah tugas tambahan polisi dan hanya polisi yang bekerja. ”Harusnya ini kerjaan bersama-sama, hibrida, tetapi malah terkesan sebagai kerjaan barunya polisi,” kata Adrianus.
Saran perbaikan lain yang diusulkan Ombudsman RI adalah integrasi basis data pelaporan di UPP Satgas Saber Pungli Pusat. Dengan adanya basis data yang terpusat, fungsi kontrol dan pengawasan Satgas Saber Pungli dapat dijalankan lebih baik. Untuk itu, perlu adanya nota kesepahaman dengan setiap kementerian dan lembaga dalam rangka integrasi pengaduan masyarakat.
Dalam pandangan yang lebih luas, Adrianus mempertanyakan ranah kerja Satgas Saber Pungli. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa ada lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan yang sama.
”Niat baik pemerintah untuk menghapus pungli dan direalisasikan dalam bentuk satu satgas itu tidak gampang,” kata Adrianus.
Anggaran minim
Anggaran yang rendah menjadi hambatan yang dinilai anggota Satgas Saber Pungli dalam menjalankan tugasnya. Biaya pemindahan saksi dan tersangka dari daerah menuju kota untuk sidang tindak pidana korupsi yang belum diatur pembebanannya menjadi salah satu contoh permasalahan anggaran yang dihadapi.
”Sidang tipikor hanya di ibu kota provinsi. Kepolisian dan kejaksaan akan kesulitan membawa saksi dan tersangka ke sana untuk sidang. Siapa yang menanggung biayanya? Itu adalah salah satu kendalanya,” kata Ketua Pelaksana Satgas Saber Pungli, yang juga Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno.
Namun, Adrianus menilai, rendahnya anggaran tidak menjadi aspek mutlak yang menghambat efektivitas kinerja Satgas Saber Pungli. ”Masalah anggaran ini memang agak tricky. Daerah yang bersahaja malah bagus kinerjanya, tetapi yang anggarannya melimpah malah tidak bagus,” kata Adrianus.
Ia menunjukkan bahwa Provinsi Bangka Belitung dengan anggaran yang tidak besar (Rp 200 juta) dan jumlah anggota yang tergolong sedang (41 anggota) bisa menyita uang rampasan OTT cukup besar, Rp 645 juta. Dari 13 kasus OTT, 4 kasus telah dilimpahkan ke pengadilan (P21) dan 5 kasus lainnya telah berujung vonis.
Adapun Provinsi Jawa Barat, dengan 136 anggota Satgas Saber Pungli dan anggaran Rp 5 miliar, telah melakukan 216 OTT. Namun, hanya 4 kasus yang telah sampai pada vonis.
Sejak Satgas Saber Pungli berdiri pada 2016, Putut mengatakan, instansinya telah melakukan 2.921 kali OTT dengan jumlah tersangka 5.159 orang. Uang sitaan yang disita adalah Rp 320 miliar.