JAKARTA, KOMPAS - Pariwisata, sektor yang telah ditetapkan sebagai penghasil utama devisa, harus lestari. Oleh karena itu, perlu terobosan agar terus memberikan hasil yang menjanjikan untuk ekonomi, sosial, dan budaya.
"Terobosan itu bisa dilakukan dengan deregulasi. Pariwisata Vietnam dan Jepang meningkat secara signifikan karena melakukan deregulasi," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam jumpa pers mengenai ajang Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA) 2018 di Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Terobosan nyata di bidang pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) juga akan meningkatkan peringkat Indonesia dalam daya saing Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) World Economic Forum (WEF). "Walaupun di TTCI peringkat Indonesia secara keseluruhan berada di nomor 42 dari 136 negara, tetapi untuk pilar keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) masih rendah, yakni di peringkat 131 dari 136 negara," kata Arief.
Arief menjelaskan semula pilar akses internasional juga menduduki peringkat nomor 55. Namun, saat ini pilar tersebut menempati peringkat 17 karena pemerintah melakukan deregulasi dengan memberikan visa bebas kunjungan kepada lebih dari 150 negara. "Kita memerlukan terobosan nyata seperti itu," ujar dia.
Arief menjelaskan, dari seluruh aspek mengenai pariwisata yang berkelanjutan, ada tiga aspek yang membutuhkan banyak perbaikan. Ketiga aspek itu adalah satwa yang terancam punah, hutan yang semakin gundul, dan pengolahan limbah.
Mari Elka Pangestu dari UN Sustainable Development Solution Network mengatakan, persoalan kelestarian pariwisata tidak menjadi tanggung jawab Kementerian Pariwisata saja, tetapi tanggung jawab dari berbagai kementerian dan lembaga. "Oleh karena itu perlu adanya kerja sama dan koordinasi dengan kementerian lain seperti dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata Mari.
Dia mencontohkan untuk kelestarian terumbu karang. Apabila nelayan menangkap ikan dengan cara mengebom, maka terumbu karang akan rusak. Kalau terumbu karang rusak, maka ikan pun akan punah. Nelayan pun akan kesulitan mendapatkan ikan. "Tetapi jika terumbu karangnya dirawat, selain bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari ikan, juga bisa mendapatkan keuntungan dari wisata selam. Makin dilestarikan makin sejahtera," kata Mari.
David Makes dari Sustainable Management Group Menhangan Eco Resort Bali yang menjadi salah seorang juri ISTA mengatakan, persoalan kelestarian tidak hanya sekedar dengan upaya pencegahan, tetapi juga akan dilihat di lapangan. "Misalnya upaya yang dilakukan dianggap bagus, tetapi kenyataan di lapangan ditemukan banyak sampah, terutama sampah plastik, maka destinasi itu tidak akan lestari," kata David.
Dia juga menambahkan sudah waktunya Indonesia juga memiliki assessor (penilai) bersertifikat di bidang pariwisata yang berkelanjutan. Selama ini apabila akan menilai sebuah destinasi, maka Indonesia harus mendatangkan penilai dari Malaysia atau negara lain.