Pasien Hanya Punya Waktu 6 Detik Jelaskan Penyakit Kepada Dokter
Oleh
Subur Tjahjono
·4 menit baca
Komunikasi dokter dan pasien adalah faktor penting bagi dokter untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien. Namun, seringkali waktu yang tersedia tidak banyak karena kesibukan dokter. Hasil riset di Amerika Serikat menunjukkan, rata-rata pasien hanya punya waktu 6 detik untuk menjelaskan riwayat penyakit mereka.
Penelitian berjudul “Memperoleh Agenda Pasien: Analisis Sekunder Rekaman Rekam Medis” itu dimuat dalam Journal of General Internal Medicine yang juga dipublikasikan sciencedaily.com 19 Juli 2018. Ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini di antaranya Naykky Singh Ospina dari Universitas Florida dan Megan E Branda dari Klinik Mayo, AS.
Dalam dunia medis, salah satu alat untuk mengetahui riwayat penyakit pasien adalah anamnese yaitu hasil wawancara dokter dengan pasien tentang riwayat penyakitnya. Anamnese menjadi alat bantu untuk menentukan diagnosis penyakit selain hasil laboratorium terkait.
Singh Ospina dan kawan-kawan bahkan menyebut wawancara medis adalah pilar pengobatan. Wawancara juga memunculkan dan memahami agenda pasien. Pengaturan agenda adalah strategi percakapan yang memungkinkan dokter dan pasien untuk bernegosiasi dan berkolaborasi untuk memperjelas kekhawatiran penyakit dan harapan kedua belah pihak. Ini menghasilkan aliansi konstruktif yang mengarah ke perawatan yang fokus, efisien, dan berpusat pada pasien.
Konsep perawatan yang berpusat pada pasien itu dikenal sebagai pembuatan keputusan bersama atau shared decision-making (SDM), yang adalah proses yang memungkinkan pasien berpusat pada pasien. Namun, seringkali proses ini tidak berjalan karena dokter lebih banyak melakukan interupsi ketika pasien sedang berbicara.
Studi awal tentang pentingnya komunikasi dokter-pasien ini dilakukan Beckman HB dan Frankel RM yang dimuat dalam jurnal Annals of Internal Medicine tahun 1984.
Menurut Beckman dan Frankel, menemukan alasan utama pasien untuk mencari perawatan adalah sangat penting dalam pertemuan medis yang sukses. Untuk mempelajari peran dokter dalam meminta dan mengembangkan kekhawatiran pasien atas penyakitnya pada awal pertemuan klinis.
Waktu itu, mereka meneliti 74 kunjungan pasien ke dokter. Hasilnya, hanya 17 (23 persen) dari kunjungan itu di mana pasien diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pernyataan kekhawatiran atas penyakitnya. Dalam 51 (69 persen) dari kunjungan, dokter menginterupsi pernyataan pasien dan mengarahkan pertanyaan ke arah kekhawatiran penyakit tertentu. Hanya 1 dari 51 kunjungan ini adalah pasien diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pernyataan pembukaan.
“Dokter memainkan peran aktif dalam mengatur kuantitas informasi yang diperoleh pada awal pertemuan klinis, dan menggunakan pertanyaan tertutup untuk mengendalikan pembicaraan. Konsekuensi dari gaya yang dikendalikan dokter ini adalah gangguan dini pasien, yang mengakibatkan hilangnya potensi informasi yang relevan dengan penyakit,” demikian Beckman dan Frankel menyimpulkan.
Tiga puluh empat tahun kemudian, penelitian serupa. Tujuan penelitian oleh Singh Ostina dan kawan-kawan adalah untuk menentukan frekuensi pertemuan dokter dalam memperoleh agenda pasien, proporsi dan waktu jawaban pasien yang terputus karena interupsi dokter, dan efek penerapan konsep SDM.
Dalam penelitiannya, Singh Ospina dan kawan-kawan melakukan analisis sekunder dari pertemuan klinis dicatat dengan video antara tahun 2008 dan 2015. Uji coba ini dilakukan dalam praktik dokter umum di Minnesota dan Wisconsin dan di Klinik Mayo, Rochester, Minnesota, dan klinik berafiliasi. Pengujian dengan konsep SDM mencakup percakapan terkait opsi pengobatan untuk penyakit Grave, depresi, osteoporosis, diabetes, dan penggunaan obat statin untuk pencegahan penyakit jantung. Sekitar 300 dokter dengan akses ke catatan medis elektronik dan 700 pasien yang terdaftar. Sebanyak 66 dokter senior dimasukkan dalam analisis sekunder ini.
Hasilnya, di klinik perawatan primer, agenda pasien tersebut diperoleh dalam 49 persen pertemuan dokter-pasien, lebih banyak dibandingkan di klinik perawatan khusus yang sebesar 20 persen. Dari 30 pertemuan perawatan primer di mana agenda pasien itu diperoleh, dokter menyela pasien sebanyak 19 kali (63 persen). Dari 10 pertemuan dalam perawatan khusus di mana agenda pasien itu diperoleh, dokter menyela pasien sebanyak delapan kali (80 persen).
Dalam penelitian itu diperoleh data, dokter menginterupsi pasien sebanyak 27 dari 40 (67 persen) pertemuan di mana agenda paseien itu diperoleh. Waktu rata-rata untuk interupsi dokter ketika pasien mulai berbicara adalah 11 detik, dengan kisaran 3 detik hingga 234 detik. Ketika tidak terganggu, pasien menyelesaikan pembicaran agenda mereka rata-rata 6 detik dengan kisaran 2 detik sampai 108 detik. Paling sering, dokter menginterupsi perkataan pasien dengan mengajukan pertanyaan tertutup (59 persen), diikuti dengan membuat pernyataan (30 persen), melengkapi kembali pernyataan (7 persen), atau mengelaborasi pernyataan (4 persen).
“Kami menemukan bahwa interupsi terjadi sangat awal dalam kata-kata pasien dan pasien hanya diberi beberapa detik untuk menceritakan kisah mereka,” tulis Singh Ostina dan kawan-kawan dalam jurnal.
Peneliti juga menemukan penyebab mengapa dokter hanya sebentar berkomunikasi dengan pasien. Hambatannya adalah kendala waktu, pendidikan terbatas tentang keterampilan berkomunikasi dengan pasien, atau kelelahan dokter. Tim peneliti menemukan bahwa dokter perawatan primer lebih cenderung memperoleh agenda pasien daripada dokter spesialis. Penyebabnya mungkin karena dokter spesialis berfokus pada masalah tertentu, misalnya, alasan pasien adalah pasien rujukan, sehingga melewatkan langkah komunikasi ini.
“Hasil kami menunjukkan bahwa kita (dokter di AS) jauh dari mencapai perawatan yang berpusat pada pasien,” kata Singh Ostina.
Bagaimana dokter-dokter di Indonesia berkomunikasi dengan pasiennya? Kita sendiri pernah mengalaminya. Silakan menilai sendiri.