Kenaikan pajak bumi dan bangunan PBB di beberapa wilayah DKI Jakarta tahun 2018, mencapai dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kenaikan pajak ini perlu diimbangi dengan penggunaan anggaran yang optimal.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kenaikan pajak bumi dan bangunan hingga 100 persen terjadi apabila ada kenaikan tarif pada aset. Kenaikan nilai jual objek pajak juga dihitung berdasarkan harga survei pasar dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Kenaikan PBB ini merupakan dampak dari kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) 2018 yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2018 tentang penetapan NJOP tahun 2018.
Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta Faisal Syafruddin, Kamis (19/7/2018), mengatakan, kenaikan NJOP diberlakukan terutama di zona komersial.
Di Jagakarsa, misalnya, tumbuh dari sisi ekonomi. Ini ditandai dengan munculnya klaster baru di lahan kosong. Untuk itu, NJOP disesuaikan dengan nilai di daerah perbatasannya, contohnya Cilandak dan Pasar Minggu. “Nah itu kami survei berdasarkan harga pasar, plus perkembangan ekonomi daerah. Jadi jangan sampai orang yang punya tanah di situ, tanahnya dalam zona komersial tapi NJOP masih rendah. ‘Kan tidak fair ya,” kata Faisal.
Penghitungan, menurut Faisal, menerapkan prinsip keadilan sehingga tak semua naik.
Citra Lestari (25), warga Jakarta Timur, mengatakan, PBB kerabatnya di kawasan Jalan Prumpung Tengah, Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur, tahun ini naik menjadi sekitar Rp 4,3 juta per meter persegi untuk lahan seluas 540 meter persegi. Tahun sebelumnya, PBB sekitar Rp 2 juta.
Menurut Citra, ia sempat bertanya pada ketua RT setempat mengenai kenaikan ini, namun jawaban yang diperoleh hanya karena tanah luas.
Menurut Citra, kendati persentase kenaikan hampir sama dengan tahun sebelumnya yaitu sekitar 100 persen, namun dari sisi nominal terasa lebih berat.
Keluhan serupa sempat beredar di media sosial mengenai kenaikan PBB di Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang naik dari Rp 15,95 juta tahun 2017 menjadi Rp 32,98 juta pada 2018.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, kenaikan NJOP sekitar 19,54 persen tak akan membebani sebagian besar warga. Sebab, kenaikannya hanya akan dirasakan warga kelas atas yang memiliki bangunan dengan NJOP di atas Rp 1 miliar.
Hal ini karena PBB atas rumah dan bangunan dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar tetap dibebaskan seperti diatur dalam Peraturan Gubenur DKI Jakarta Nomor 25 Tahun 2018. NJOP juga dinaikkan karena selama ini terlalu jauh dengan harga pasar.
Saat ini, pemasukan daerah dari PBB DKI berkisar Rp 1,5 triliun atau 17,99 persen dari target Rp 8,5 triliun. Warga yang keberatan dengan PBB bisa mengajukan pengurangan PBB yang akan dikabulkan dengan menilik kemampuan wajib pajak.
Imbangi
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan pajak harus diimbangi peningkatan belanja publik yang terlihat dari serapan belanja modal di APBD DKI. Alokasinya harus meningkatkan kesejahteraan warga, terutama yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, batas untuk pembebasan pajak untuk NJOP senilai Rp 1 miliar perlu dinaikkan. Sebab, dengan kenaikan NJOP, ada kelompok yang sebelumnya bebas PBB jadi harus membayar karena NJOP di kawasannya naik lebih dari Rp 1 miliar.
Dengan total anggaran pendapatan dan belanja daerah 2018 sebesar Rp 77,117 triliun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menggenjot pemasukan daerah. Salah satunya dengan mengoptimalisasi pemasukan dari pajak.