JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni lalu dinilai tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kondisi perekonomian di tingkat daerah. Hal ini diduga kuat terjadi karena adanya pergeseran model kampanye politik dari cara tradisional ke modern.
Berdasarkan catatan lembaga peneliti kebijakan publik The Indonesian Institute (TII), pilkada serentak 2018 telah menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 15,2 triliun. Angka tersebut hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan pilkada serentak tahun 2017 yang menyerap biaya Rp 4,2 triliun.
Peneliti pada Bidang Ekonomi TII, Riski Wicaksono, di Jakarta, Kamis (19/7/2018), menyampaikan, banyaknya jumlah anggaran pilkada membuat TII melakukan penelitian terkait dampak pilkada serentak 2018 terhadap ekonomi lokal.
”Dari 17 provinsi yang menjadi peserta pilkada, TII meneliti sebanyak tujuh provinsi dengan memperhatikan keterwakilan pulau dan keterjangkauan data. Ketujuh provinsi tersebut ialah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku,” tutur Riski saat diskusi Indonesia Forum.
Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat bagaimana pola konsumsi, produksi, dan aktivitas ekonomi lainnya pada masa Pilkada 2018 melalui lembaga nonprofit rumah tangga (LNPRT).
LNPRT merupakan salah satu sektor yang telah mengakumulasi aktivitas ekonomi lembaga nonprofit seperti partai politik. Selain itu, LNPRT juga digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia dalam mengkaji aktivitas ekonomi saat pilkada serentak 2018.
Hasil penelitian menunjukkan, saat Pilkada 2018, rata-rata nilai LNPRT di tujuh provinsi tersebut sebesar 1,32 persen. Meski aktivitas pilkada mampu mendorong laju pertumbuhan sektor LNPRT, angka tersebut masih sangat kecil kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurut Riski, rendahnya kontribusi sektor LNPRT diduga kuat terjadi karena adanya pergeseran model kampanye politik dari cara tradisional ke cara modern. Model kampanye modern tersebut adalah pemanfaatan teknologi digital, seperti media sosial.
Model kampanye lewat media sosial inilah yang dinilai Riski dapat memengaruhi penurunan potensi kontribusi belanja yang dilakukan partai politik di sektor riil.
Meski demikian, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 diproyeksikan dapat memberikan pengaruh terhadap perekonomian karena skala penyelenggaraan yang lebih luas. ”Penyelenggaraan pemilu pada 2019 berpotensi meningkatkan penerimaan negara, baik dari sisi produksi maupun konsumsi,” ucapnya.
Adapun sektor produksi yang diprediksi dapat terdorong pertumbuhannya antara lain sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor informasi dan komunikasi, serta sektor penyediaan akomodasi dan konsumsi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, pilkada serentak pada Juni lalu belum efisien dari sisi ekonomi. Hal ini karena Pilkada 2018 belum dilakukan bersamaan, mulai dari pemilihan gubernur, wali kota, hingga bupati.
”Dalam pandangan kami, pilkada lalu belum efisien karena keserentakan itu sendiri belum kita peroleh. Kita masih pra-efisiensi menuju keserentakan pilkada kabupaten/kota dengan provinsi. Anggaran pilkada serentak baru bisa dinilai lebih efisien saat penyelenggaraan Pilkada 2024,” tutur Titi.