JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan pasokan energi yang stabil dalam merealisasikan peta jalan revolusi industri gelombang keempat atau Revolusi Industri 4.0. Pasokan energi melalui kelistrikan saat ini masih ditopang sebagian besar oleh batubara. Ketergantungan itu diperkirakan akan berlanjut hingga tiga dekade ke depan.
Batubara masih menjadi sumber energi termurah dibandingkan sumber energi lain. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, dalam diskusi ”Peran Sektor Energi di Era Industry 4.0” di Jakarta, Jumat (20/7/2018), mengatakan, tulang punggung dari realisasi program industri 4.0 adalah kelistrikan.
”Saat ini, batubara untuk pembangkit listrik merupakan sumber energi termurah dibandingkan lainnya, seperti gas alam,” ujarnya. Ia memprediksi, kebutuhan batubara Indonesia selama 30 tahun ke depan dapat dipenuhi.
APBI mencatat, produksi batubara Indonesia mencapai 485 juta ton pada 2018. Dari jumlah itu, kebutuhan domestik pada tahun ini diestimasi mencapai 114 juta ton dan ekspor 371 juta ton. Adapun cadangan batubara Indonesia hingga tahun 2018 sebesar 26,2 miliar ton.
Kendati demikian, masalah yang dihadapi pelaku usaha saat ini terkait regulasi yang dikeluarkan pada 2018.
Dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, harga batubara khusus untuk pembangkit listrik sebesar 70 dollar AS per ton. Aturan yang berlaku hingga 2019 ini akan membuat Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhemat sekitar Rp 18 triliun.
Harga itu sedikit rendah dari yang disampaikan pelaku usaha sebesar 85 dollar AS per ton. Apalagi, saat ini harga batubara di atas 100 dollar AS per ton.
Adapun dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Persentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri tahun 2018, perusahaan wajib menjual batubara untuk kepentingan dalam negeri sebesar 25 persen.
Menurut Hendra, pelaku usaha dinyatakan dapat kehilangan potensi pendapatan yang besar jika angka itu tidak dipertimbangkan kembali. ”Tetapi, kami juga masih melihat reaksi pasar,” ucapnya.
Ia menyatakan, APBI berencana menyampaikan saran kepada pemerintah terkait masalah tersebut dalam waktu dua minggu ke depan.
Advisor Asosiasi Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Nanang Basnawi menambahkan, sama seperti revolusi industri, energi juga memiliki era. Energi saat ini terbagi menjadi Energi 1.0 yang merupakan era sebelum minyak, Energi 2.0 era minyak, Energi 3.0 era energi terbarukan, serta Energi 4.0 yang merupakan era penggunaan energi terbarukan dan manufaktur cerdas.
”Indonesia masih berada dalam tahap Energi 3.0,” katanya. Bahkan, eksplorasi dan implementasi energi terbarukan di negeri ini masih belum berkembang.
Ia melanjutkan, implementasi energi terbarukan masih membutuhkan biaya besar. Pembangkit listrik tenaga surya, misalnya, masih terhitung mahal. Selain itu, instalasi solar panel cadangan juga diperlukan untuk berjaga-jaga di salah satu area yang tidak maksimal menyerap sinar matahari.
Presiden Direktur PT Cirebon Electric Power Heru Dewanto menyebutkan, Indonesia masih memerlukan batubara karena pasokan listrik belum menjangkau seluruh wilayah. Konteks kemampuan memasok energi sekarang masih belum mampu untuk mendorong implementasi pembangkit listrik energi terbarukan seperti negara maju.
Era berbagi
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng mengatakan, memasuki Revolusi Industri 4.0, Indonesia juga memasuki era berbagi energi.
Teknologi elektrifikasi yang berkembang pada masa revolusi ini mengubah konsumen listrik dapat berperan menjadi produsen listrik (prosumen). Fenomena ini mendorong penggunaan sumber energi terdistribusi (distributed energy resources).
Prosumen dapat berbagi energi atau jasa dengan dukungan smart meter. ”PLN harus segera menyesuaikan diri dalam menghadapi Listrik 4.0,” katanya.