Usulan Diskresi bagi Korban Zonasi Penerimaan Siswa Baru di Yogyakarta
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Yogyakarta didorong membuat keputusan diskresional bagi sejumlah siswa sekolah dasar yang tak diterima di sekolah menengah pertama negeri karena tinggal di wilayah titik kosong atau blank spot. Diskresi atau kebijakan khusus pemegang otoritas dalam menghadapi situasi tertentu bisa dijadikan langkah jangka pendek sambil memikirkan solusi sistematis agar tidak terulang.
Sejumlah siswa SD itu tidak diterima di SMP negeri mana pun melalui jalur zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP di Kota Yogyakarta, 25 Juni-7 Juli 2018. Dalam sistem itu, sekalipun nilai ujian akhir mereka tinggi, mereka tidak diterima karena tinggal di wilayah yang jauh dari sekolah negeri mana pun sehingga kalah bersaing dengan mereka yang lebih dekat (Kompas, 18/7/2018).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masturi mengatakan, anak-anak itu menjadi korban blank spot karena persebaran sekolah yang tidak merata. ”Karena mereka adalah korban harus ada pembagian risiko sehingga pemerintah harus mengambil solusi,” kata Budhi usai rapat Sekretariat Bersama Pos Pengaduan PPDB DIY 2018 di Yogyakarta, Kamis (19/7/2018).
Ia menyatakan, pihaknya bersama Sekretariat Bersama Pos Pengaduan PPDB DIY 2018, yang terdiri dari Ombudsman RI Perwakilan DIY, Lembaga Ombudsman DIY, dan Forum Pemantau Independen (Forpi) Yogyakarta, mendorong pemerintah mengambil langkah diskresional.
”Masih mungkin dibuat solusi diskresional. Bisa melihat tempat-tempat yang masih kosong untuk menerima mereka kembali atau memprioritaskan kepindahan sekolah swasta ke negeri. Anak-anak ini punya peluang. Mereka tidak diterima bukan karena kesalahan mereka, melainkan ada kontribusi sistem,” ujar Budhi.
Kejadian ini memberikan gambaran bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akan beraudiensi dengan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk mencari solusi terbaik bagi anak-anak korban sistem itu pada Jumat (20/7/2018).
Wakil Ketua Bidang Aparatur Pemerintah Daerah Lembaga Ombudsman DIY Suki Ratnasari menyampaikan, penyelesaian persoalan itu tak boleh dilakukan kasuistik. Persoalan itu harus diselesaikan secara sistematik sehingga bisa mencegah kejadian serupa terjadi di kemudian hari.
”Ini harus diselesaikan secara sistematik. Tidak hanya penyelesaian kasus saja, tetapi harus dicari solusi yang juga bisa bermanfaat bagi anak-anak lain yang belum melapor kepada kami,” ujar Suki.
Kepastian solusi
Suki mengharapkan agar solusi bagi anak-anak korban blank spot sudah bisa didapatkan Senin depan. Sejumlah opsi masih didorong, yaitu memprioritaskan anak-anak itu diterima di sekolah negeri berdasarkn peringkat nilainya di sekolah-sekolah yang masih ada kursi kosong. Hingga Rabu, ada sekitar delapan kursi kosong di 16 SMP negeri di Kota Yogyakarta.
”Solusinya memang tidak akan bisa memuaskan sekali. Namun, kejadian ini memberikan gambaran bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan. Dari segi teknis, kebijakan itu harus matang betul. Kalau tidak, psikologi anak menjadi korban,” ujar Suki. Ada anak yang tidak mau sekolah lagi karena tidak diterima di sekolah ia inginkannya akibat sistem itu.
Suki menduga masih ada siswa-siswa lain yang juga jadi korban, tetapi belum melapor. Sejauh ini, baru ada dua orangtua siswa yang melapor sebagai korban blank spot. Data siswa korban masih dikumpulkan.
Koordinator Forpi Yogyakarta, FX Harry Cahya, mengatakan, masih banyak siswa yang belum mengadu sebagai korban blank spot, terutama di Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Di wilayah itu hanya ada satu SMP, yaitu SMPN 9. Itu pun jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik Kelurahan Pandeyan. Sementara, jarak rumah terjauh dari siswa yang sudah diterima hanya sekitar 600 meter.
Harry menyampaikan, jika ditelusuri, sebenarnya tidak hanya dua siswa yang menjadi korban blank spot karena tidak semua mengadu. Alasan dari siswa-siswa lain yang tidak mengadu adalah putus asa dan takut.