UU Rasialis Israel dan Buyarnya Kesepakatan Truman-Ben Gurion
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
TINDAKAN Knesset (parlemen Israel) pada hari Kamis (19/7/2018) mengesahkan undang-undang (UU) yang hanya memberi hak kepada rakyat Yahudi dalam menentukan masa depan negara Israel, merupakan pelanggaran dan pengingkaran Israel terhadap kesepakatan Presiden AS Harry S Truman (1945-1953) dan pendiri negara Israel, David Ben Gurion, tentang negara demokrasi Israel untuk semua rakyat yang berada di wilayah negara tersebut.
UU tersebut menegaskan, Israel adalah negara historis bagi rakyat Yahudi, dan masa depan negara Israel hanya ditentukan oleh rakyat Yahudi saja. UU itu juga menghapus bahasa Arab sebagai bahasa kedua Israel setelah bahasa Ibrani.
UU tersebut secara resmi mewujudkan impian pendiri gerakan Zionis, Theodore Herzl, pada tahun 1896 yang ingin melihat suatu waktu berdiri sebuah negara khusus untuk rakyat Yahudi.
Mantan Presiden Mesir Hosni Mobarak pasca tercapainya Kesepakatan Oslo tahun 1993 pernah memperlihatkan dokumen penting tentang isi persyaratan pengakuan AS terhadap negara Israel pada tahun 1948 kepada para pejabat Israel yang berkunjung ke Kairo saat itu.
Isi dokumen penting tersebut menegaskan, syarat yang diminta Presiden AS Harry S Truman kepada Ben Gurion, yaitu agar negara Israel yang akan dideklarasikan harus berupa negara demokrasi untuk semua rakyat yang berada di wilayah negara Israel itu. Ben Gurion saat itu menyetujui permintaan Presiden Truman sebagai syarat pengakuan AS terhadap negara Israel.
Palestina selama ini menolak mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi, tetapi hanya bersedia mengakui Israel sebagai negara demokrasi, dengan berdalih pada kesepakatan Truman-Ben Gurion itu. Pihak Palestina selalu menyebut, jika negara Israel disebut sebagai negara Yahudi saja, hal itu akan membahayakan eksistensi rakyat Arab Palestina di wilayah Israel saat ini.
Tercatat terdapat 20 persen atau 1,8 juta jiwa rakyat Arab Palestina di wilayah Israel dari keseluruhan jumlah 9 juta jiwa penduduk Israel saat ini. Sebanyak 1,8 juta jiwa rakyat Arab Palestina tersebut adalah mereka yang tidak ikut eksodus ke negara-negara Arab tetangga ketika terjadi petaka tahun 1948 pasca kekalahan Arab dalam perang Arab-Israel pertama pada tahun itu.
Rakyat Arab Palestina yang bertahan di wilayah negara Israel saat ini selalu mengeluhkan mereka diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh negara Israel.
Tentu saja tindakan Knesset mengesahkan UU tersebut mendapat reaksi keras dari pihak Palestina. Salah seorang tokoh PLO, Hanan Ashrawi menyebut, aksi Knesset mengesahkan UU itu semakin menunjukkan bahwa Israel adalah negara rasialis. Ia juga mengatakan, UU rasialis itu menghapus semua peluang solusi konflik Israel-Palestina saat ini.
Seperti diketahui, setelah semakin sulit mewujudkan solusi dua negara, opini tentang solusi satu negara untuk dua bangsa sebagai solusi konflik Israel-Palestina saat ini semakin berkembang. Namun, UU rasialis tersebut kini menghapus peluang solusi satu negara untuk dua bangsa itu.
Salah seorang anggota Knesset dari warga Arab, Ahmed Tibi menyebut, keluarnya UU rasialis itu adalah pertanda berakhirnya era demokrasi di Israel. Adapun salah seorang jubir Hamas, Fauzi Barhum, mengecam keras keluarnya UU rasialis itu yang akan mengancam masa depan keberadaan rakyat Arab Palestina.
Bagi pihak Palestina, pengesahan UU rasialis tersebut merupakan pukulan kedua setelah AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan kemudian memindahkan kantor kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem pada 14 Mei lalu.