Asal-usul Kawasan Penting Dikenali Sebagai Kearifan Lokal
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asal-usul wilayah Marunda di Jakarta Utara penting untuk dikenal masyarakat sebagai upaya pelestarian kearifan lokal. Hal itu juga didukung dengan kenyataan bahwa kawasan Marunda merupakan ikon kebudayaan Betawi di kawasan pesisir.
Hal tersebut dikatakan budayawan Yahya Andi Saputra dalam diskusi mengenai sejarah kawasan Marunda dan warga pesisir, Sabtu (21/7/2018) di Wall of Frame Betawi, Kampung Betawi Pasar Seni Ancol. Ia mengatakan, Marunda hingga saat ini masih banyak menyimpan sejarah yang belum diketahui publik.
”Beberapa bangunan khas, seperti Masjid Al-Alam dan Rumah Pitung, asal-usul informasi sejarahnya masih membingungkan di masyarakat,” kata Yahya.
Ia kemudian menambahkan, banyak yang belum tahu bahwa Masjid Al-Alam tersebut sudah ada sejak 1926 dan berkaitan dengan pendudukan Kerajaan Mataram. Sementara Rumah Pitung yang masyarakat kenal sebagai kediaman Pitung, menurut Yahya, sebenarnya hanyalah rumah yang pernah disinggahi Pitung saat pelariannya dari kejaran penjajah tahun 1890-an.
Mengenai asal-usul wilayah dan penamaan, kawasan Marunda juga memiliki beragam versi, baik dari literatur maupun cerita tutur masyarakat. Tokoh masyarakat Marunda, Suaeb Mahbub, mengatakan, istilah ’Marunda’, menurut masyarakat, berasal dari ragam bahasa Betawi tutur, yaitu kata ’Meronda’.
”Ada banyak versi terkait hal ini. Kalau mengacu dari literatur yang dibaca Bang Yahya, Marunda mengacu pada nama tanaman, Gunda, yang banyak ditemukan di daerah tersebut,” ujar Sueb.
Dilihat dari penataan wilayah, Sueb juga mengatakan, Marunda pada awalnya adalah bagian dari kawasan Bekasi. Hingga diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1974 tentang penataan wilayah, Sueb mengatakan hal tersebut berdampak pada banyaknya perubahan, terutama di Jakarta Utara.
”Kawasan Marunda, Cilincing, dan Koja yang awalnya dari Bekasi jadi masuk wilayah Jakarta Utara. Pada tahun 1990, Kelapa Gading juga turut masuk wilayah Jakarta Utara,” kata Sueb.
Terkait penataan wilayah tersebut, Asep Setiawan dari Humas Wall of Frame Betawi mengatakan, sebagian besar kampung di Jakarta pada era sekarang mengalami pemekaran wilayah dan membentuk nama-nama baru. Hal tersebut menjadi membingungkan sebagian orang Jakarta di era sekarang.
”Kawasan, seperti Cempaka Putih yang terpotong dengan jalan saja menjadi kawasan baru, yaitu Cempaka Baru. Kadang sebagian kawasan seperti ini hanya diberi istilah ’baru’ untuk membedakan dengan kawasan yang sebelumnya,” kata Asep.
Sebagai perwakilan kawasan Betawi di pesisir, Yahya merasa waswas apabila kawasan Marunda tidak dijaga keberadaannya oleh pemerintah. ”Banyak kawasan yang hilang begitu saja, seperti Kampung Petunduan dan Kampung Pencandran, karena tergerus pembangunan di kawasan Senayan,” kata Yahya.
Yahya juga mencontohkan, kawasan Ancol saat ini hanya dikenal sebagai tempat rekreasi. ”Padahal, Ancol di masa lalu terdiri atas beberapa kampung, seperti Ancol Kiji dan Ancol Tamiang, juga merupakan salah satunya,” ujar Yahya.
Membahas hal tersebut, Yahya berharap ada sedikit ruang bagi pengenalan kampung yang menjadi lanskap penanda kawasan Betawi. ”Setidaknya Marunda memiliki ruang tersebut, sebagai kawasan kampung pesisir yang dikenal selalu terbuka bagi para pendatang di masa lalu,” kata Yahya. (Aditya Diveranta)