Kita harus pandai membaca sinyal. Penangkapan anggota DPR Eni Maulani Saragih (Partai Golkar) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di Jakarta pada Jumat (13/7/2018), empat hari menjelang batas waktu penutupan pendaftaran bakal calon anggota legislatif Pemilu 2018 pada Selasa (17/7), bukan kebetulan. Penangkapan anggota DPR nomor 291 itu adalah ”kutukan” yang memberi peringatan agar partai politik bersungguh-sungguh mencalonkan orang-orang bersih untuk menjadi wakil rakyat periode 2019-2024. Jangan lagi memandang penangkapan itu hanya ”sial” saja.
Sejak kelahirannya, DPR adalah lembaga tinggi yang bermartabat dan wibawa, dengan tugas dan tanggung jawab yang mulia. DPR adalah lembaga terhormat, sebagaimana para anggotanya ingin dipanggil ”yang terhormat”. Sayangnya, sepertinya kita tengah berfantasi. Realitanya amat bertolak belakang: citra DPR terpuruk. Hasil survei Global Corruption Barometer yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), Maret 2017, DPR merupakan lembaga terkorup di Indonesia. Yang terakhir ini bukan fantasi.
Ada banyak bukti. Anggota DPR periode 2014-2019 saja sudah banyak yang tersangkut korupsi. Misalnya, adalah Adriansyah (PDI-P), Dewie Yasin Limpo (Hanura), Patrice Rio Capella (Nasdem), Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P), Budi Supriyanto (Golkar), I Putu Sudiartana (Demokrat), Andi Taufan Tiro (PAN), Yudi Widiana Adi (PKS), Musa Zainuddin (PKB), Aditya Anugrah Moha (Golkar), Eni Maulani Saragih (Golkar), bahkan pucuk pimpinannya yang terkenal politikus kuat dan licin Ketua DPR Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar.
Kasus-kasus korupsi besar pun muncul dari Senayan. Ada kasus alih fungsi hutan lindung dan pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan, kasus kuota impor daging sapi, kasus cek perjalanan pemilihan Dewan Gubernur Senior BI, kasus Wisma Atlet SEA Games, kasus Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah, korupsi proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesia Timur, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran, kasus pembangunan gedung Pusdiklat Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), kasus proyek Hambalang, dan kasus proyek KTP elektronik yang menggegerkan.
Rakyat pasti ingat kasus-kasus korupsi tersebut, kecuali para anggota DPR yang melupakan. Buktinya muncul terus kasus-kasus lain. Mereka tidak mengambil pelajaran. Inilah yang membuat negeri ini terus membusuk. Sebab, bagian ”kepala” negeri ini yang bermasalah terus-menerus. Ingat kan dengan pepatah tua: ”ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya” (a fish rots from the head down).
Ketika ada ikhtiar dari KPU untuk mencegah narapidana korupsi melenggang ke Senayan, perlawanannya cukup sengit. DPR dan pemerintah paling getol menolak ikhtiar itu karena menilai peraturan KPU Nomor 20/2018 bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Peraturan KPU jelas-jelas melarang bakal caleg yang mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi (Pasal 7). Sampai akhirnya Kementerian Hukum dan HAM pun terpaksa mengesahkannya agar tidak mengganggu tahapan Pemilu yang semakin dekat. Aneh juga pengesahan aturan itu pun bukan menyangkut esensi, tetapi soal teknis. Tak mengherankan, masalah korupsi semakin akut tak terobati.
Inilah yang seharusnya diperhatikan semua elemen di negeri ini. Bagaimana korupsi mau lenyap di negeri ini kalau semua langkah terobosan itu menemui kendala. Jika benar-benar serius mau memberantas korupsi bisa kok dicegah saat penyusunan UU Pemilu. Artinya, saat itu DPR dan pemerintah bisa membuat aturan untuk mencegah korupsi tumbuh beranak-pinak. Namun, tentu jika ada political will yang kuat. Jadi, cara berpikirnya jangan dibolak-balik.
Ingat, DPR itu lembaga terhormat. Apabila diisi orang-orang busuk, seterhormat apa pun akan menjadi busuk. Bau! Mumpung sekarang mulai pendaftaran bakal caleg, seharusnya tidak memberi jalan mereka yang tercela dan korup. Dan, parpol bukanlah pengepul para koruptor. Parpol seharusnya menjadi pilar utama—dengan fungsi perekrutan politik—yang menyaring para pemimpin berintegritas di negeri ini.
Jumat (20/7) sore, saya menyepi di perpustakaan DPR di Senayan, membaca buku tentang salah satu pendiri bangsa: Mr Sartono: Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia karya Daradjadi (2014). Sartono (1900-1968) amat pantas memimpin DPR periode 1949-1959. Sebab, jujur dan bersih. Dalam dirinya tertanam watak mulia karena sejak kecil mendengar nasihat ibunya bahwa mencuri adalah tindakan memalukan. Siauw Giok Tjhan, sahabat dekatnya, bilang, Mr Sartono adalah tokoh tua yang tidak meninggalkan kekayaan yang berarti. Perabot di rumah dinasnya tampak sangat sederhana. ”His honesty is unquestionable.” tulis Daniel S Lev (1933-2006), seorang indonesianis terkemuka.
Bacalah riwayat Sartono, ”Bapak Parlemen” yang terhormat itu. Korupsi itu mencuri dan mencuri itu memalukan, juga merendahkan manusia. Jadi, no way untuk caleg korup!