Jejak Berdarah dalam Politik Pakistan
Saat British-India memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada Agustus 1947, ketegangan terus muncul antara komunitas Hindu dan Muslim, yang berujung pada pendirian dua negara merdeka: India dan Pakistan. Pemisahan ini memaksa jutaan orang Muslim dan Hindu meninggalkan kediaman mereka untuk bergabung dengan wilayah baru.
Ada sekitar 6,5 juta Muslim yang pergi dari India ke Pakistan Barat dan sekitar 4,7 juta Hindu dan Sikh yang pindah dari Pakistan Barat ke India. Proses migrasi ini merenggut ratusan ribu korban jiwa di kedua komunitas akibat aksi kekerasan.
Setahun kemudian, pada September 1948, pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah meninggal dunia. Sejak saat itu, kekerasan dan konflik terus bergulir di negeri ini. Selama hampir 70 tahun pemerintahan yang terpilih secara demokratis harus berjuang untuk menyelesaikan masa jabatannya karena terus dirongrong instabilitas yang berujung pada penggulingan kekuasaan oleh militer.
Hanya satu kali parlemen berhasil menuntaskan termin 5 tahun, yaitu masa pemerintahan Jenderal Pervez Musharraf yang menjabat sebagai presiden sekaligus panglima militer.
Instabilitas
Sejak kepergian Ali Jinnah, para pendiri Pakistan sepakat menetapkan Liaquat Ali Khan menjadi perdana menteri pertama Pakistan. Semasa kepemimpinannya, Khan memilih kebijakan luar negeri nonblok. Pada masa kepemimpinannya pula untuk pertama kali terjadi konflik di wilayah Kashmir dengan India.
Khan dan PM India Jawaharlal Nehru berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata pada 1 Januari 1949. Khan ditembak mati oleh Saad Bakbar pada 16 Oktober 1951 saat melakukan pertemuan warga di Rawalpindi. Nama tempat pertemuan itu kemudian diganti dengan nama Taman Liaquat.
Pemerintahan kemudian dijalankan oleh Khawaja Nazimuddin, yang menjadi PM Pakistan baru. Ia harus berjuang keras untuk meredam kerusuhan dan menegakkan hukum di dalam negeri. Nazimuddin kemudian menerapkan darurat militer untuk meredam kerusuhan di Lahore. Kepemimpinannya yang dianggap lemah membuat Nazimuddin diminta mundur. Mahkamah Agung kemudian memutuskan percepatan pemilu pada 1954, pemerintahan Nazimuddin pun berakhir. Pakistan akhirnya mengadopsi sistem presidensial.
PM berguguran
Kudeta dan konflik terus mewarnai kekuasaan politik di Pakistan. Presiden pertama Pakistan, Iskander Mirza, yang terpilih pada 1956 tak bisa bertahan lama karena instabilitas politik di dalam partainya dan kabinetnya. Hal ini ditandai dengan pergantian empat perdana menteri pada saat pemerintahannya (total ada enam perdana menteri yang naik dan turun sepanjang kurun 1947-1958).
Kekuasaan Mirza hanya bertahan dua tahun. Ia digulingkan panglima militer Ayub Khan, yang kemudian menjadi presiden pada 1958.
Di bawah kepemimpinan Ayub Khan, situasi politik dalam negeri relatif stabil. Khan menekankan kebijakan luar negeri pro-Amerika Serikat, yang menyebabkan relasi dengan Uni Soviet dan India memburuk. Pada 1965, perang Pakistan-India pecah lagi terkait isu Kashmir, disusul dengan kesepakatan damai melalui Deklarasi Tashkent. Di masa Ayub Khan, ekonomi Pakistan berkembang berkat kebijakan swastanisasi dan industrialisasi.
Ayub Khan mendapat tantangan berat dari politisi Fatima Jinnah, saudara kandung pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah. Dalam pemilu 1965, Fatima Jinnah memenangi popular vote, tetapi Khan memenangi electoral vote. Warga Pakistan yakin Khan dan mesin politiknya melakukan kecurangan di berbagai daerah.
Di era inilah pemimpin muda Zulfiqar Ali Bhutto yang membentuk Partai Rakyat Pakistan (PPP) memimpin demonstrasi memprotes kenaikan harga dan kelangkaan pangan. Di kubu lainnya, juga muncul politisi yang sedang naik daun, Mujibur Rahman. Ketidakmampuan Ayub Khan meredam kerusuhan membuka peluang bagi panglima militer Yahya Khan mengambil alih kekuasaan pada 1969.
Pada pemilu 1970, Zulfiqar Ali Bhutto memenangi suara di Pakistan Barat, sementara Liga Awami memenangi seluruh kursi di Pakistan Timur. Kedua kubu tidak bisa berkompromi, terjadilah perang antara India dan Pakistan terkait Pakistan Timur. Terjadilah pemisahan Pakistan Timur menjadi Bangladesh dan Mujibur Rahman menjadi presiden pertama. Yahya Khan lalu menyerahkan pemerintahan pada Bhutto, Desember 1971.
Pada masa pemerintahannya, Bhutto kembali mengubah konstitusi dan menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri. Di era kepemimpinan Bhutto, Pakistan memulai program nuklir. Ia juga melakukan nasionalisasi dan fokus pada layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, di masa kepemimpinannya ekonomi Pakistan mengalami stagnasi.
Pada 1977, meskipun partai yang dipimpin Bhutto memenangi pemilu, panglima militer Jenderal Zia ul-Haq melakukan kudeta militer. Bhutto kemudian diadili dengan tuduhan melakukan pembunuhan politik. Ia dihukum gantung pada 1979.
Kembalinya Bhutto
Saat Zia ul-Haq berkuasa, Uni Soviet menduduki Afghanistan. Pakistan yang didukung Amerika Serikat membantu perjuangan kelompok Mujahidin di Afghanistan. Uni Soviet menarik pasukan pada 1989 dan memicu perang saudara dan gelombang pengungsi. Jutaan warga Afghanistan memasuki Pakistan.
Zia dikenal sebagai diktator. Ia membungkam para pengkritiknya dan menutup kebebasan pers ataupun hak sipil. Namun, ekonomi Pakistan berkembang pesat. Zia tewas dalam kecelakaan pesawat di Bahawalpur bersama dengan dua diplomat AS dan sejumlah pejabat militer Pakistan.
Benazir Bhutto, putri dari Zulfiqar Ali Bhutto, memenangi pemilu 1988 dan menjadi perempuan pertama yang memimpin sebuah negara Muslim. Namun, gagasan-gagasan reformisnya mendapat tentangan dari kubu konservatif, termasuk dari kelompok militer dan Presiden Ghulam Ishaq Khan.
Ia dikalahkan dalam pemilu 1990 oleh Nawaz Sharif. Publik meyakini, pemilu telah dicurangi dengan menggunakan kekuatan militer dan intelijen.
Benazir kemudian memimpin kubu oposisi dan ia kembali menang dalam Pemilu 1993. Semasa berkuasa, Benazir menekankan pada swastanisasi ekonomi dan pemberdayaan perempuan. Namun, pemerintahannya juga mengalami ujian berat, di antaranya pembunuhan saudara laki-lakinya, Murtaza, dan percobaan kudeta. Skandal korupsi yang menerpa suaminya, Zardari, berujung pada kekalahan partai Benazir di pemilu 1997. Benazir mengasingkan diri ke Dubai.
Jenderal Pervez Musharraf mengambil alih kekuasaan dan menjadi presiden pada 2001. Di era kekuasaannya, Pakistan menarik dukungan terhadap rezim Taliban di Afghanistan, dan mendukung perang melawan teror yang dipimpin AS setelah tragedi Serangan 11 September 2001.
Hubungan India-Pakistan terus memburuk dan di ambang perang. Lewat kekuasaannya, Musharraf memenangi referendum untuk memperpanjang kepemimpinan selama lima tahun.
Atas inisiatif AS, Musharraf mengizinkan Benazir Bhutto pulang ke Pakistan pada Desember 2007. Benazir langsung berkampanye untuk bertarung dalam pemilu 2008. Ia membawa isu pemberdayaan sipil dan antikekerasan.
Tragedi terulang, Benazir tewas oleh ledakan bom di Rawalpindi, tepat di lokasi tempat PM pertama Pakistan Liaquat Ali Khan dibunuh 55 tahun sebelumnya. Kepemimpinan Benazir menginspirasi kaum perempuan Pakistan, di antaranya Malala Yousafzai yang menjadi penerima Nobel Perdamaian termuda sepanjang sejarah pada 2014.
Musharraf dimakzulkan pada 2008 dan parlemen memilih suami Benazir, Asif Ali Zardari, sebagai presiden.
Penuh teror
Parlemen Pakistan pada 2010 kembali mengalihkan kekuasaan eksekutif dari presiden ke kantor perdana menteri (Yousuf Raza Gilani). Hubungan Pakistan-AS renggang setelah pasukan khusus AS tanpa sepengetahuan Pakistan menyerbu tempat perlindungan Osama bin Laden di Abbottabad. Osama tewas. Di dalam negeri, hubungan pemerintah dengan militer juga memburuk. PM Gilani dimakzulkan dan Raja Pervez Ashraf diangkat sebagai perdana menteri.
Di era Ashraf, aksi-aksi teror yang dilancarkan rezim Taliban melalui serangan bom merebak di berbagai wilayah Pakistan. Mahkamah Agung pada Januari 2013 memerintahkan penahanan PM Ashraf terkait kasus korupsi semasa ia menjadi menteri.
Parlemen mengesahkan Nawaz Sharif sebagai perdana menteri setelah partainya, Liga Muslim, memenangi pemilu di bulan Mei. Mahkamah Agung juga mencabut larangan bepergian mantan presiden Musharraf pada 2016 sehingga ia bisa mendapat perawatan medis di Dubai.
Kekuasaan Nawaz Sharif berakhir pada Juli 2018, hanya beberapa pekan menjelang pemilu. Ia dan putrinya, Maryam, dijebloskan ke penjara karena tuduhan korupsi.
(AFP/BBC News/Al Jazeera/Reuters)