Jembatan di Garut, ASEAN dan Tugas Diplomat
Jumat (13/7/2018) pekan lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi meresmikan Jembatan Diplomasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dengan panjang sekitar 80 meter dan lebar 1,5 meter, jembatan biru itu menghubungkan Desa Cibunar dan Desa Mangkurayat.
Jembatan itu merupakan hasil sumbangan ASEAN Charity Golf, kegiatan yang diinisiasi Jakarta Ambassador Golf Association (JAGA), bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan ASEAN Secretariat.
Warga Garut membutuhkan jembatan itu karena jembatan yang lama terputus akibat banjir bandang Sungai Cimanuk pada 2016. Sebanyak 53 orang meninggal dan 1.300 rumah tidak bisa diakses karena bencana tersebut.
Menlu Retno dalam pidato peresmiannya memaknai jembatan tersebut sebagai simbol diplomasi, sesuai namanya. ”Jembatan ini menjembatani tali silaturahim warga,” katanya.
Ketika warga mulai malas menjalin tali silaturahim karena akses yang terbatas, komunikasi akan terputus. Komunikasi yang terputus membuat konflik rentan terjadi.
Tugas seorang diplomat, lanjutnya, sama seperti jembatan tersebut. Diplomat berkewajiban menjembatani negara, bridge the differences, guna mencegah dan menyelesaikan konflik internasional.
Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri dan Ketua Bersama JAGA, Mayerfas, menceritakan, Jembatan Diplomasi adalah bentuk nyata kolaborasi antarnegara menggunakan konsep diplomasi yang membumi. Diplomasi membumi adalah diplomasi yang memahami kebutuhan dan memberikan hasil yang nyata kepada rakyat.
Seperti yang diketahui, jembatan itu dibiayai dari ASEAN Charity Golf Tournament yang digelar setiap tahun guna mengumpulkan donasi pembangunan daerah di Indonesia
Banyak diplomat lokal dan asing yang terlibat, beberapa di antaranya berasal dari Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Korea Selatan. Rata-rata, setiap kegiatan donasi dapat mengumpulkan Rp 700 juta-Rp 1 miliar. Besaran sumbangan berdasarkan kerelaan masing-masing diplomat.
Tidak hanya di Garut, kolaborasi antarnegara dengan hasil nyata semakin dibutuhkan sekarang. Kerja sama multilateral dapat mewujudkan stabilitas, perdamaian, dan keamanan yang menjadi faktor penentu pertumbuhan regional dan global.
ASEAN dapat mengadopsi sistem kolaborasi yang solid itu dalam mengatasi isu Laut China Selatan (LCS) yang telah menjadi momok selama bertahun-tahun. Isu LCS berpotensi besar membuat bentrok antara China dan empat anggota ASEAN, yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Terancamnya keamanan keempat negara anggota ASEAN itu akan dengan mudah ikut mengancam keamanan kawasan.
Tugas seorang diplomat sama seperti jembatan. Diplomat berkewajiban menjembatani negara, bridge the differences, guna mencegah dan menyelesaikan konflik internasional.
Dalam 31st ASEAN Summit Meetings di Manila, Filipina, November 2017, pemimpin ASEAN dan China sebenarnya sepakat bernegosiasi terkait kode etik yang akan diterapkan di wilayah tersebut. Hanya saja, kode etik tersebut dikhawatirkan berbagai pihak hanya berperan sebagai tata cara berperilaku bagi negara-negara yang terlibat karena tidak mengikat secara hukum.
Belum lagi, China cenderung bergerak diam-diam. Pada Mei 2018, misalnya, China mendaratkan pesawat pengebom H-6K, yang mampu meluncurkan rudal nuklir, di Pulau Woody yang berada dalam gugusan Kepulauan Paracel di LCS. China sedang mengembangkan kawasan tersebut untuk menjadi pangkalan militer.
Negara ASEAN perlu semakin padu dalam berkomunikasi dengan China. Apalagi, Mahkamah Arbitrase Internasional, atas pengaduan Filipina, memutuskan klaim China atas LCS berdasarkan basis sejarah tidak terbukti.
Perang dagang
Selain digunakan dalam menghadapi isu LCS, kolaborasi juga diperlukan dalam menghadapi perang dagang internasional yang telah bergaung pada awal tahun 2018.
Amerika Serikat (AS) menerapkan kenaikan tarif impor barang kepada sejumlah negara. Hampir semua mitra dagangnya terkena kebijakan itu, seperti Vietnam, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, India, Kanada, Uni Eropa, dan China.
Kenaikan tarif dinyatakan AS sebagai salah satu langkah untuk memangkas defisit neraca perdagangan yang terus dialami negara itu.
Dikutip dari Bloomberg, AS, misalnya, menaikkan tarif impor baja 25 persen dan aluminium 10 persen dari Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa pada 23 Maret 2018. Keputusan itu pun membuat berang negara-negara tersebut. AS menetapkan kenaikan tarif impor 25 persen untuk komoditas China senilai 34 miliar dollar AS pada 6 Juli 2018.
Aksi balas-membalas pun dimulai. Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa ikut menaikkan tarif impor barang dari AS. China pun tidak ketinggalan. Alhasil, perekonomian global pun terganggu.
Menurut Direktur Departemen Riset Dana Moneter Internasional (IMF) Maurice Obstfeld, dikutip dari situs IMF, ancaman terbesar pertumbuhan ekonomi global dalam jangka pendek adalah perang dagang. ”Perang dagang mengganggu rasa kepercayaan, harga aset, dan investasi,” katanya.
Negara-negara harus berhenti membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan sendiri dalam membuat kebijakan. Perang dagang mengganggu negara-negara dengan ekonomi terbuka yang masuk dalam jaringan produksi global (global value chain/GVC). Oleh karena itu, kolaborasi antar-negara menjadi sangat penting.
Antar-manusia
Mayerfas menyampaikan, diplomasi merupakan upaya bernegosiasi dan berkolaborasi antar-manusia. Bukan antara manusia dan lembaga, ataupun antara lembaga dan lembaga. Semua upaya diplomasi dilakukan melalui dan untuk manusia.
Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan juga harus menjunjung etika dan sesuai dengan konteks.
Menlu Retno menambahkan, diplomasi menjembatani rasa tidak cocok satu sama lain. Diplomasi harus diterapkan di tingkat dunia ataupun lokal. ”Selama diplomasi kita jalan, kita dapat menghindar dari konflik,” katanya.