JAKARTA, KOMPAS – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Penjelasan Pasal 169 Huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Majunya Kalla ini memperkuat permohonan uji materi sebelumnya yang diajukan oleh Partai Persatuan Indonesia atau Perindo dalam ketentuan yang sama.
Surat permohonan untuk menjadi pihak terkait itu diajukan Kalla melalui kuasa hukumnya Irmanputra Sidin, Jumat (20/7/2018), di Jakarta. Surat permohonan diterima oleh bagian Kepaniteraan MK sekitar pukul 14.00.
Dalam surat permohonannya, Kalla menyatakan dirinya tidak bisa menutup mata melihat perdebatan yang terjadi di publik terkait dengan penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan belum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahun".
Kalla dalam surat permohonannya menyebutkan tak bisa mengabaikan adanya dukungan dari sejumlah partai politik yang menginginkan dirinya kembali dipasangkan dengan Joko Widodo dalam Pemilu 2019.
Ketentuan itu dinilai Perindo membatasi syarat calon wakil presiden dan bertentangan dengan konstitusi. Sebab, detil rumusan mengenai “berturut-turut maupun tidak berturut-turut” itu tidak ada dalam konstitusi. Ketentuan itu juga tidak diatur di dalam Pasal 169 Huruf n UU Pemilu, tetapi muncul di bagian penjelasan.
Selain itu, Kalla dalam surat permohonannya menyebutkan tak bisa mengabaikan adanya dukungan dari sejumlah partai politik yang menginginkan dirinya kembali dipasangkan dengan Joko Widodo dalam Pemilu 2019.
“Kami mengajukan diri sebagai pihak terkait guna membantu Yang Mulia Hakim Konstitusi untuk segera bisa mengambil putusan atas perkara Perindo. Yang paling penting ialah Beliau (Kalla) ingin menjelaskan kepada mahkamah bahwa dirinya menjadi wakil presiden dua kali, dan satu kali sebagai cawapres, sementara pasal yang sedang dibahas di MK itu amat berkaitan dengan itu semua, sehingga sebagai negarawan Pak JK tidak bisa begitu saja menutup mata mengenai hal itu,” ujar Irman.
Dalam argumentasinya, Irman mempertanyakan apakah ketentuan masa jabatan dua kali seperti diatur di dalam Pasal 169 Huruf n dan penjelasannya itu berlaku juga bagi wapres. Sebab, bila merujuk kembali sejarah amandemen konstitusi Pasal 7 UUD 1945 dan munculnya frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” karena didasarkan pada realitas selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh seorang presiden. Adapun untuk jabatan wapres, selama 32 tahun, Indonesia ternyata memiliki tujuh wapres.
“Masa jabatan presiden dibatasi karena presiden memegang kekuasaan, berbeda dengan wapres yang sebenarnya adalah pembantu presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945. Sama halnya dengan menteri, yakni seperti disebutkan di dalam pasal 17 UUD 1945, menteri adalah pembantu presiden. Cuma bedanya, wapres diusulkan oleh parpol bersama dengan presiden, sehingga mereka haruslah dipilih sebagai pasangan,” kata Irman.
Relasi antara presiden dan wapres pun tidak kolektif kolegial, karena presidenlah yang memegang kekuasaan pemerintahan, sedangkan wapres tidak. Sebagai contoh, Presiden berwenang mengangkat duta besar, memberikan grasi, rehabilitasi, dan abolisi, serta membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Kekuasaan itu tidak dimiliki oleh wapres.
“Menteri bahkan lebih memiliki kekuasaan dibandingkan dengan wapres, karena menteri bisa membuat peraturan menteri, sedangkan peraturan wapres tidak ada,” katanya.
Pengecualian
Dengan alasan itu, menurut Irman, batasan masa jabatan wapres seharusnya dikecualikan dari penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu. Mahkamah diminta menyatakan penjelasan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi sepanjang dimaknai “termasuk wakil presiden.”
Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan, pihaknya telah mendapatkan informasi dari kepaniteraan mengenai adanya permohonan Kalla untuk menjadi pihak terkait. Permohonan itu boleh-boleh saja, dan tidak melanggar hukum acara.
“Memang boleh seseorang atau badan hukum mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam suatu perkara yang sedang berjalan di MK,” katanya.
Menurut hukum acara di MK, surat permohonan sebagai pihak terkait itu akan diperiksa terlebih dahulu, untuk memastikan apakah yang bersangkutan memang benar berkepentingan dengan perkara yang sedang berlangsung di MK. Permohonan sebagai pihak terkait itu akan dibawa ke rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk dibahas. Jika hakim mengabulkan permohonan sebagai pihak terkait, MK akan mengagendakan sidang untuk mendengarkan keterangan pihak terkait tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Perindo Ricky Margono mengatakan, permohonan Kalla sebagai pihak terkait itu mendukung substansi permohonan uji materi yang diajukan pihaknya. Dengan terlibatnya Kalla dalam permohonan ini, Perindo berharap ada argumentasi hukum yang lebih kuat bagi MK untuk mempertimbangkan permohonan uji materi tersebut.